ANKARA (Arrahmah.com) – Presiden Recep Tayyip Erdogan mengatakan 300.000 pengungsi Suriah telah kembali ke negara mereka yang masih dilanda perang, ketika dia menghidupkan kembali pembicaraan untuk menciptakan “zona aman” bagi jutaan orang lainnya.
Sementara pejabat Turki belum memberi perincian tentang dimana zona tersebut akan ditempatkan atau bagaimana mereka akan dikelola, para pengamat mengatakan kemungkinan para pengungsi akan ditempatkan di daerah Suriah utara di bawah kendali Turki, lansir Al Jazeera (30/1/2019).
Turki saat ini menampung lebih dari 3,6 juta pengungsi Suriah yang terdaftar, menurut Badan Pengungsi PBB (UNHCR).
Ketegangan antara penduduk setempat dan warga Suriah telah meningkat selama perang hampir delapan tahun, yang diperparah oleh persaingan untuk pekerjaan dan sumber daya saat Turki menghadapi resesi.
Sejak meluncurkan operasi Perisan Eufrat di Suriah utara pada Agustus 2016, Ankara telah mendorong para pengungsi untuk tetap tinggal di kamp-kamp yang dekat dengan perbatasan, hanya menyambut mereka yang paling rentan ke Turki.
Operasi dan kampanye Cabang Zaitun pada tahun lalu menyaksikan Turki merebut daerah kantong Kurdi di Afrin, telah meninggalkan petak wilayah Suriah di bawah kendali pejuang Suriah yang didukung Turki.
“Setelah Afrin dan tempat-tempat lain berada di bawah kendali kelompok yang didukung Turki, beberapa warga Suriah kembali ke daerah-daerah ini tetapi ini merupakan isu kontroversial,” ujar Nihat Ali Ozcan, seorang analis di Yayasan Riset Kebijakan Ekonomi Turki.
“Erdogan bersikeras bahwa warga sipil Suriah akan kembali, namun meskipun ini tampaknya ide yang baik, itu bisa menciptakan masalah besar.”
“Orang-orang yang tinggal di sana pada awalnya sangat beragam -suku Kurdi, Arab, dan sebagainya. Saya pikir itu akan menciptakan masalah keamanan yang besar dan bisa melihat konfrontasi antara kelompok-kelompok ini,” lanjutnya.
Masalah jangka panjang
Kamal Alam, seorang rekan tamu di Royal United Service Institute di London mengatakan pendudukan orang-orang di bawah otoritas Turki adalah “langkah sementara sebelum pemerintah Suriah memperbaiki keadaan”.
“Itu masalah jangka panjang dan bukan solusi jangka pendek,” ujar Alam.
Setelah serangan militer, badan-badan pembangunan Turki telah pindah ke Suriah untuk membangun kembali infrastruktur air, transportasi, dan energi serta layanan publik seperti sekolah dan rumah sakit.
Di Aleppo utara, investasi Turki telah menyediakan lapangan pekerjaan bagi penduduk setempat sementara dewan kota dijalankan dengan dukungan Turki.
Anak-anak mempelajari bahasa Turki di sekolah dan barang-barang dari seberang perbatasan mengisi rak-rak toko. Petugas polisi Turki terlatih berpatroli di jalan-jalan kota seperti Azaz, Al-Bab dan Jarabulus.
Menurut Badan Kerjasama dan Koordinasi Turki, Turki telah menghabiskan 33 milyar USD untuk pengungsi Suriah sejak awal perang dan mengantisipasi pengeluaran 8,2 milyar USD lagi tahun ini.
“Turki telah berinvestasi besar-besaran di bidang keuangan dan sumber daya manusia di Suriah utara, yang terlihat seperti negara di dalam negara,” klaim Alam.
“Suriah secara tepat menyebut ini sebagai pelanggaran terhadap piagam intervensi PBB, baik sebagai kekuatan militer dan menciptakan struktur negara paralel.”
Meskipun terjadi pembangunan kembali, masih harus dilihat apakah Aleppo utara dapat menampung jutaan warga sipil Suriah di Turki, atau bagaimana mereka akan dikelola.
“Siapa yang tahu,” ujar Mitat Celikpala, seorang profesor hubungan internasional di Universitas Kadir Has, Istanbul, ketika ditanya tentang bagaimana zona akan diatur.
“Ini adalah masalah untuk bernegosiasi dengan kekuatan lain,” ujarnya kepada Al Jazeera.
Refoulement
Kelayakan mengembalikan penduduk Suriah ke zona perang juga diragukan.
Turki telah memberikan kewarganegaraan kepada lebih dari 55.000 pengungsi Suriah sejak awal perang. Bulan lalu, Menteri Dalam Negeri Suleyman Soylu mengatakan kepada parlemen bahwa ia ingin melihat 380.000 warga Suriah yang lahir di Turki sejak 2011 diberikan kewarganegaraan.
Rencana untuk memukimkan kembali pengungsi juga bisa melanggar hukum internasional karena mengirim pengungsi kembali ke zona perang -yang dikenal sebagai refoulement- dilarang.
“Warga Suriah tidak siap untuk kembali secara sukarela dan Turki tidak dapat memaksa orang kembali ke Suriah sebelum tingkat keamanan yang disepakati secara internasional dibentuk,” ujar Metin Corabatir, Presiden Pusat Penelitian Asylum dan Migrasi yang bebasis di Ankara.
“Saya kira kembalinya massa tidak akan terjadi pada saat ini. Setiap solusi keamanan harus memiliki PBB atau elemen internasional karena daerah-daerah ini masih belum sepenuhnya aman. Tidak kondusif bagi warga sipil untuk kembali ke daerah mana pun di Suriah.”
Perdebatan seputar zona aman pengungsi, yang pertama kali disarankan oleh Menteri Luar Negeri Turki Ahmet Davutoglu pada 2012, telah menjadi lebih membingungkan sejak pengumuman penarikan pasukan AS dari timur laut Suriah.
Ini telah mengarah pada pembentukan zona aman yang disarankan, antara perbatasan Turki dan di wilayah yang dikontrol oleh milisi yang didukung AS yang dianggap oleh Turki sebagai kelompok teroris.
Tidak jelas apakah Ankara akan mempertimbangkan daerah ini cocok untuk pemukiman kembali pengungsi. (haninmazaya/arrahmah.com)