JAKARTA (Arrahmah.com) – Pakar hukum tata negara Yusril Ihza Mahendra mengatakan penerbitan Perppu Ormas berpotensi menimbulkan tindakan refresif pemerintah.
Menurutnya, Perppu yang dianggap ujungnya untuk membubarkan Hizbut Tahrir Indonesia (HTI) itu mirip ketika era Demokrasi Terpimpin Soekarno dengan jargon politik ‘Nasionalisme, Agama, dan Komunisme’ alias Nasakom.
“Pada masa Bung Karno, pernah dikatakan, barang siapa menentang Nasakom itu anti-Pancasila, jadi sekarang tafsirannya bisa lain lagi. Dan kekhawatiran kita adalah pemerintah yang dipimpin Pak Jokowi tafsirkan Pancasila dengan versi mereka,” ungkap Yusril dalam konferensi pers di kantor HTI, Jakarta, Kamis (13/7/2017), sebagaimana dilansir Teropong Senayan.
Yusril menjelaskan, penafsiran dalam Perppu tersebut akan disisir satu per satu secara mendalam oleh pihaknya untuk dilakukan uji materi ke Mahkamah Konstitusi (MK), terutama tentang tumpang tindih pasal.
“Siapa pun yang berkuasa dengan rezim yang sekarang ini bisa juga melakukan hal yang sama. Kalau berbeda penafsirannya bisa mereka bubarkan. Pasal-pasal seperti ini yang akan kami sisir satu demi satu, akan kami dalami,” kata dia.
Lebih lanjut, Ia mengatakan, rencana pihaknya untuk melayangkan uji materi atau Judicial Review ke Mahkamah Konstitusi secara mantap dilakukan pada Senin (17/7/2017).
Dia menilai, ada beberapa tumpang tindih pasal yang perlu disempurnakan agar tidak melanggar hak berserikat bagi ormas lainnya.
“Jadi misalnya, pengaturan dalam pasal 59 itu berkaitan dengan suku agama, ras dan lain-lain, sebenarnya itu juga diatur dalam pasal 156 dari KUHP, tapi sanksi hukumnya berbeda, Jadi nanti kalau diterapkan mana yang mau dipakai, dan ini tidak menjamin adanya suatu kepastian hukum,” paparnya.
Kedua, imbuhnya, dalam pasal 59 Perppu tersebut ada pelarangan penyebaran paham yang bertentangan dengan pancasila melalui ormas. Namun, Hal itu tumpang tindih terkait dengan sanksinya dengan Pasal 82, apakah hukum tersebut berlaku bagi setiap anggota saja atau pimpinan ormas.
Di pasal 59, ungkapnya, itu disebutkan bahwa sanksi pidana bagi pimpinan lembaga tersebut. Sedangkan di pasal 82, sanksi pidana dikenakan untuk orang yang menjadi anggota organisasi itu.
“Bisa dibayangkan, kalau yang punya 1 juta anggota, apakah satu juta orang itu akan dituntut di pengadilan, ini kan menjadi tidak jelas. Jadi, ini membuka peluang penerapan hukum yang semena-mena nantinya. Dan itu menjadi dasar bagi kami melakukan pengujian terhadap Perppu ini,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)