JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan Menteri Hukum dan HAM Yusril Ihza Mahendra membantah Undang-Undang Terorisme yang dibuat pada saat ia menjabat memiliki kelonggaran soal aturan interogasi.
Menurut Ahli Hukum tata negara ini, anggapan kelonggaran aturan interograsi yang bisa diterjemahan Densus 88 Antiteror Mabes Polri sebagai penyiksaan bukan salah undang-undang, tetapi penerapan di lapangan oleh Densus sendiri.
“Gak ada yang salah dalam undang-undangnya. Gak ada yang perlu diuji materi. Kalau memang terjadi penyiksaan itu masalah penerapan saja. Itu perilaku mereka (Densus) yang salah,” kata Yusril seperti dilansir Republika, Selasa (19/3)
Yusril mengatakan, Undang-Undang Terorisme itu awalnya adalah Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perpu) untuk mengatasi masalah bom Bali pada 2001. Ia menyusun aturan-aturan itu dengan cara yang paling aman dan sangat menjunjung tinggi HAM.
Soal pemeriksaan dan interograsi pun, tetap mengacu kepada KUHAP. Sehingga, tegasnya, tidak mungkin ada kelonggaran pada undang-undang yang membuat pihak penegak hukum melakukan penyiksaan
Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM) telah selesai melakukan sebuah investigasi pada video dengan aksi kekerasan yang diduga dilakukan Detasemen Khusus (Densus) 88. Video berdurasi delapan menit ini menampilkan adegan kekerasan sejumlah oknum Polri saat melakukan penangkapan terduga teroris pada tahun 2007.
Hasilnya, Komnas HAM menegaskan, oknum aparat keamanan yang berada dalam video tersebut adalah Densus 88. Kesimpulan dari Komnas HAM ini seketika mematahkan pernyataan Polri yang menegaskan dalam video tersebut tak ada anggota Densus 88 yang terlibat. (bilal/rol/arrahmah.com)