SURIAH (Arrahmah.com) – Bagi para perindu khilafah, deklarasi pendirian sebuah khilafah tentu menjadi penantian yang istimewa. Beragam reaksi luar biasa muncul ke permukaan saat deklarasi Daulah Al-Baghdadi atau dikenal sebagai ISIS terjadi.
Apa dan bagaimana pembahasan deklarasi khilafah secara detil, berikut Tim Arrahmah sampaikan hasil diskusi ilmiah yang disampaikan oleh Yayasan Nukhbah Al-Fikr dalam publikasi Muqawamah Media pada Ahad (16/11/2014).
بسم الله الرحمن الرحيم
YAYASAN NUKHBAH AL-FIKR
mempersembahkan :
“KESIMPULAN TERHADAP DISKUSI SEPUTAR DEKLARASI KHILAFAH”
Oleh : Syaikh Muhammad bin Shalih Al-Muhajir
– Hafizhahullah –
Segala puji bagi Allah. Shalawat dan salam mudah-mudahan selalu tercurahkan kepada nabi kita Muhammad shalallahu’alayhi wasallam. Juga kepada keluarga dan semua sahabatnya. Amma ba’du:
Sebagaimana yang kita ketahui bersama, fenomena deklarasi khilafah yang dilakukan oleh saudara-saudara kita di ISIS disusul dengan lahirnya kekacauan, sikap membabi buta, dan tidak adanya kajian yang 100% syar’i, bebas dari fanatisme yang membutakan mata dari kebenaran dan tidak memecah belah barisan kaum muslimin.
Sebagaimana yang kita tahu, masalah khilafah adalah masalah syar’i. Oleh karena itu tidak ada ruang bagi perasaan, hawa nafsu, dan pandangan pribadi (untuk ikut menghukumi). Yang harus dilakukan oleh setiap muslim yang tidak memiliki cukup ilmu yang mampu mengantarkannya kepada kebenaran adalah berhenti dari sikap fanatik dalam hal yang tidak dia ketahui. Sebagian orang saat ditanya tentang khilafah dari a-z seperti cara tegaknya khilafah menurut syariat, kewajiban-kewajiban Imam terhadap rakyat, kewajiban rakyat terhadap imam dan lain sebagainya mereka tidak tahu menahu sedikitpun tentang masalah tersebut. Meskipun demikian, anda bisa saksikan, mereka berbicara dan membuat keputusan-keputusan dalam persoalan yang untuk membahasnya dahulu Umar bin Khaththab radhiayallahu ‘anhu mengumpulkan orang-orang muhajirin, Anshar, dan orang-orang yang masuk Islam saat perang fathu Makkah untuk meminta pendapat mereka dalam persoalan yang lebih kecil dibandingkan masalah khilafah.
Hendaknya setiap muslim sadar bahwa kelak dia akan dimintai pertanggungjawaban atas semua kata yang dia ucapkan tanpa rasa takut kepada Allah dan setiap vonis yang dia lontarkan tidak semata-mata karena kebenaran. Seorang muslim juga harus sadar bahwa perasaan dan semangat bukanlah dalil yang melegitimasi dukungan atau penolakan terhadap deklarasi tersebut. Oleh karena itu hendaklah dia takut kepada Allah dan bersungguh-sungguh mencari kebenaran serta dalilnya tanpa sedikitpun terpengaruh oleh perasaan, latar belakang, dan hukum-hukum yang sebelumnya. Atau dengan kata lain hendaklah dia menyerahkan masalah-masalah ini kepada ahlinya kemudian mengikuti pandangan ulama umat yang jujur serta memiliki integritas dan otoritas. Allah berfirman: “Bertanyalah kepada ahlu dzikri jika kalian tidak mengetahui”.
Para ulama adalah orang-orang yang pandangan mereka diakui sebelum adanya fenomena ini. tidak sepatutnya kita menipu diri kita kemudian mencari-cari pandangan yang sesuai dengan hawa nafsu kita kemudian kita katakan: Saya mengikuti pandangan si fulan! Padahal sebelumnya dia tidak pernah melirik sedikitpun dan tidak pernah menganggapnya sebagai sebuah pandangan yang benar. Bahkan ada kemungkinan orang yang dia akui tersebut tidak seratus persen sama akidah dan manhajnya.
Hendaklah dia sadar bahwa dia akan dimintai pertanggung jawaban pada hari kiamat jika tetap tidak mengikuti kebenaran. Dia tidak mungkin akan ditanya kenapa engkau tidak mengikuti perasaan, hawa nafsu, dan kesukaanmu? Namun jika anda tidak mengikuti kebenaran, justru akan ditanya, kenapa kamu tidak mengikuti kebenaran? Kenapa engkau mengikuti hawa nafsumu dan meninggalkan kebenaran? Hendaklah semua muslim bersemangat untuk mendoakan kebaikan bagi para mujahidin secara khusus dan bagi umat Islam secara umum, mudah-mudahan mereka diberi hidayah dan taufik. Dan hendaklah dia banyak-banyak mengucapkan:
اللهم رب جبرائيل وميكائيل واسرافيل فاطر السموات والارض عالم الغيب والشهادة أنت تحكم بين عبادك فيما كانوا فيه يختلفون اهدني لما اختلفوا فيه من الحق بإذنك أنك تهدي من تشاء ألى صراط مستقيم
Insyaa Allah kami akan berusaha sekuat tenaga untuk memaparkan permasalahan deklarasi khilafah secara obyektif tanpa ada rasa fanatik kecuali kepada dalil dan bersih dari klaim-klaim dan tuduhan-tuduhan dari pihak manapun, kami memohon kepada allah agar memberikan taufik dan petunjuk.
Pertama-tama kami sampaikan, sebagaimana yang kita tahu, ahlusunnah wal jama’ah memandang bahwa proses pengangkatan imam (pemimpin) dilaksanakan dengan dua cara yang syar’i, tidak ada cara ketiga. Yaitu dengan pemilihan dan wasiat kepada pengganti. Sedangkan cara ketiga adalah tidak syar’i, yaitu menggulingkan dan mengkudeta. Agar kita bisa mengetahui apakah kekhilafahan dinyatakan sah dengan deklarasi semacam ini ataukah tidak, maka kita harus bertanya atau bertanya-tanya: melalui cara yang mana khilafah yang kita saksikan hari ini didirikan?
Sebelum kita memikirkan jawaban bagi pertanyaan di atas serta argumentasinya, kami akan kutipkan terlebih dahulu statemen-statemen para ulama tentang cara pengangkatan khalifah yang legal dari sisi kuantitas ahlul halli wal aqdi. Setelah itu kami akan sebutkan pandangan yang rajih dalam persoalan tersebut, yaitu pandangan jumhur ahli sunnah wal jama’ah. Dan baru setelah itu kami coba terapkan pada kondisi real deklarasi khilafah yang ada hari ini. Insyaa Allah, kami memohon bantuan kepada Allah. Kami sampaikan:
Dalam permasalahan pengangkatan seorang pemimpin, umat Islam terbagi menjadi tiga kelompok:
Pertama: Kelompok yang mengharuskan adanya kesepakatan total dari umat (ijma’) atas seorang khalifah pilihan yang dipilih oleh ahlul halli wal aqdi. Al-Asy’ari mengasosiasikan pandangan ini kepada Al-Asham, salah seorang pengikut sekte Mu’tazilah.
Kedua: Kelompok yang mengharuskan adanya kesepakatan total dari seluruh jajaran ahlul halli wal aqdi. Pandangan ini dipilih oleh Abu Ya’la dalam kitab beliau yang berjudul Al-Mu’tamad Fi Ushul Ad-Din.
Setelah kita analisa dua pandangan di atas, keduanya tidak bisa diterima:
Pertama: Pendapat pertama mengharuskan adanya persetujuan dari manusia-manusia bodoh yang sama sekali tidak penting, hal ini tentu bertentangan dengan syariat dan logika. Bertentangan dengan syariat sebab tidak ada satupun dalil yang mengharuskan hal tersebut. Selain itu realita membuktikan bahwa hal tersebut justru tidak dibenarkan. Di lain sisi, hal tersebut sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Hazm adalah: Intruksi (taklif) yang di luar kemampuan, tidak mungkin bisa dilakukan, sangat memberatkan, padahal Allah tidak membebani jiwa melainkan dengan kadar kesanggupanya. Allah berfirman: “Dia sekali-kali tidak menjadikan untuk kamu dalam agama suatu kesempitan (kesulitan yang memberatkan)”.
Persyaratan tersebut tidak logis karena orang-orang bodoh sudah bisa dipastikan mengekor pada kelompok (dominan) yang ada di tengah-tengah mereka dan gampang diprovokasi. Artinya, mereka tidak bisa memutuskan sesuatu dengan perlahan, matang, dan penuh pemikiran dalam memilih seorang pemimpin yang adil. Akibatnya pesoalan yang sangat krusial ini menjadi kacau, yaitu persoalan pemilihan seorang Imam yang memenuhi syarat-syarat yang syar’i. Karena itulah, anggota ahlul halli wal aqdi adalah orang-orang garda depan yang memiliki kesadaran dan orang-orang pilihan dari kalangan ahli ijtihad umat Islam yang pantas untuk memilih seorang Imam. Sebab mereka akan memikul dosa pemimpin apabila tidak berusaha sekuat tenaga saat memilih. Dan mereka akan menjadi bersama-sama dengan pemimpin tersebut dalam semua perbuatan dosa dan kezhaliman yang dia lakukan.
Adapun pendapat kedua, maka juga tidak bisa diterima berdasarkan fakta sejarah yang terjadi pada masa sahabat, seperti proses pembai’atan Abu Bakar Ash-Shiddiq. Tidak semua ahlul halli wal aqdi bersepakat dalam pembai’atan tersebut. Sa’d bin Ubadah RA dan sahabat lain tidak bersepakat dalam pembai’atan tersebut. Meskipun demikian, toh bai’at juga tetap terlaksana tanpa kehadiran dan afirmasi dari Sa’d bi Ubadah. Hal ini merupakan bukti bahwa kesepakatan total seluruh ahlul halli wal aqdi bukanlah sebuah keharusan. Selain itu hal tersebut juga sangat sulit dan menyusahkan.
Kelompok kedua: Mereka menentukan jumlah minimal ahlul halli wal aqdi. Pengusung pendapat ini mayoritas adalah ahlul kalam sebagaimana yang disebutkan oleh Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah. Mereka berbeda pendapat mengenai penentuan jumlah minimal tersebut menjadi beberapa kelompok:
Kelompok yang mengatakan: jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi adalah empat puluh orang, jika kurang dari empat puluh, maka tidak sah. Sebab rumus pengangkatan pemimpin adalah sama dengan rumus pelaksanaan shalat Jum’at. Shalat jumah tidak sah jika jumlah personalnya kurang dari empat puluh.
Kelompok yang lain memandang bahwa jumlah minimal anggota ahlul halli wal aqdi adalah lima orang. Kelima-limanya bersepakat mengangkat seorang pemimpin atau salah satu dari anggota memilih dan kemudian disetujui oleh empat anggota lainnya. Mereka berargumentasi dengan fakta sejarah bahwa Abu Bakar dinyatakan sah menjadi pemimpin hanya dengan pengangkatan yang dilakukan oleh lima orang. Fakta sejarah lainnya, Umar memilih enam orang untuk memusyawarahkan pengangkatan khalifah baru. Pendapat ini diasosiasikan kepada guru-guru besar sekte Mu’tazilah pengikut Al-Juba’i dan Al-Qadhi Abdul Jabbar.
Kelompok yang lain memandang bahwa pengangkatan seorang pemimpin (imam) dinyatakan sah cukup dengan kesepakatan empat orang saja, sebagaimana jumlah maksimal saksi dalam pembuktian kasus-kasus kriminal.
Kelompok yang lain memandang bahwa jumlah minimal ahlul halli wal aqdi adalah tiga orang, sebab tiga orang sudah bisa disebut sebagai jama’ah dan tidak boleh diselisihi.
Kelompok yang lain memandang bahwa pengangkatan pemimpin dinyatakan sah berdasarkan persetujuan dua orang atas satu orang. Sebab, dua adalah bilangan minimal sebuah jama’ah. Posisi keduanya seperti seorang hakim dan dua saksi, sebagaimana prosesi pernikahan yang terlaksana dengan keberadaan seorang wali dan dua saksi. Al-Mawardi mengasosiasikan pandangan ini kepada ulama Kufah. Sedangkan Al-Baghdadi mengasosiasikannya kepada Sulaiman bin Jarir Az-Zaidi dan sekelompok orang dari sekte Mu’tazilah.
Ada juga kelompok yang menyatakan bahwa pengangkatan pemimpin dinyatakan sah dengan pengangkatan satu orang saja. Mereka berdalil dengan tindakan Al-Abbas yang mengatakan kepada Ali: “Ulurkan tanganmu, aku akan membai’atmu”. Kemudian dia berkata: “Apakah semua orang diwakili paman Rasulullah?”. Kemudian dia membai’at keponakannya, “jangan sampai ada dua orang yang berselisih tentangmu”. Fakta sejarah lainnya, tatkala Umar membai’at Abu Bakar, para sahabat juga mengikuti dan menyetujui hal tersebut. Sebab bai’at yang dilakukan oleh Umar adalah hukum, dan hukum dari satu orang dinyatakan berlaku. Diantara kelompok yang memiliki pandangan semacam ini adalah kelompok Asy’ariyah, pendapat ini dianut oleh sekte Zaidiyah.
Mayoritas pengikut madzhab Syafi’iyah memandang bahwa seorang pemimpin dinyatakan sah jika diangkat oleh beberapa orang yang terkategorikan sebagai ulama, tokoh, dan pemimpin yang memenuhi kriteria saksi adil yang bisa hadir dan memilih saat prosesi pembai’atan. Bahkan kalau sekiranya hanya dilakukan oleh satu orang saja, maka sudah cukup.
Setelah kita perhatikan dan kaji, pendapat dan pandangan di atas tidak bisa diterima karena beberapa hal berikut:
- Menyamakan jumlah ahlul halli wal aqdi dengan jumlah minimal personal shalat jum’at dan jumlah saksi, atau jumlah saski dalam pernikahan dan lain sebagainya tidak bisa diterima. Sebab hal tersebut menyamakan sesuatu yang memiliki perbedaan. Selain itu, tidak sah hukumnya pengangkatan yang dilakukan oleh beberapa orang saja dalam perkara yang berhubungan dengan sluruh umat Islam. Kecuali jika jumlah ahlul halli wal aqdi memang sedikit sekali. -Namun hal ini sangat tidak mungkin terjadi atau mustahil akan terjadi- jika kondisinya memang demikian, maka kondisi menuntut untuk mengambil pandangan dari sejumlah kecil ahlul halli wal aqdi yang ada pada waktu itu. Selain itu, pendapat yang mengatakan bahwa kepemimpinan dinyatakan sah dengan pilihan dua orang lebih baik daripada yang menyatakan empat orang. Tidak juga yang menyatakan empat orang lebih baik daripada sekelompok orang.
- Adapun berdalil dengan prosesi pembai’atan Abu Bakar dan Umar, maka juga tidak benar. Sebab pembai’atan Abu Bakar tidak hanya sah karena pembai’atan lima orang yang mereka sebutkan saja. Pembai’atan abu bakar terlaksana berkat pembai’atan para senior muhajirin dan anshar sebagaimana yang disebutkan dalam hadits “saqifah (balairung) Bani Sa’idah”. Ibnu Taimiyah berkata saat mengomentari pendapat seorang syiah rafidhah: “Mereka mengatakan, Pemimpin setelah Rasulullah adalah Abu Bakar berdasarkan bai’at yang dilakukan oleh Umar dan disetujui oleh empat orang. Maka komentar kami: Tidak seperti itu pandangan ulama sunni. Meskipun beberapa orang ahlul kalam mengatakan bahwa kepemimpinan dianggap sah dengan bai’at dari empat orang, sebagaimana ada juga yang mengatakan: pengangkatan dianggap sah dengan adanya bai’at dari dua orang. Sebagian mereka juga mengatakan: pengangkatan dianggap sah dengan bai’at yang dilakukan oleh satu orang. Semua pendapat ini bukanlah pendapat ulama sunni. Menurut pandangan sunni, kepemimpinan dinyatakan sah jika mendapat persetujuan dari para pemilik kekuatan (ahlu syaukah). Seseorang tidak sah menjadi pemimpin sampai mendapatkan persetujuan dari para pemilik kekuatan yang apabila mereka ditaati maka tujuan adanya pemimpin bisa terwujud”, –dan seterusnya hingga beliau mengatakan – : “Kalau seandainya Umar dan kelompok orang membai’atnya –membai’at Abu Bakar- sedangkan para sahabat yang lain tidak mau membai’at, maka Abu Bakar tidak sah menjadi pemimpin dikarenakan hal tersebut. Beliau menjadi pemimpin yang sah berkat bai’at yang dilakukan mayoritas sahabat yang merupakan representasi dari pemegang kekuasaan dan kekuatan”. Selesai.
- Begitu juga dengan tindakan Umar bin Khaththab yang menyerahkan pengangkatan khalifah kepada enam orang sahabat. Saya sampaikan, pertama, Umar memilih mereka karena para sahabat selaku ahlul halli wal aqdi meminta kepada Umar agar memilih beberapa orang untuk mewakili mereka. Dengan demikian keenam orang tersebut adalah representasi dari para sahabat itu sendiri, dengan kata lain, umar memilih berdasarkan permintaan mereka sendiri. Kedua, enam bukanlah jumlah minimal ahlul halli wal aqdi yang memiliki legalitas untuk memilih dan berpendapat dalam menentukan pilihan, namun keenam sahabat tersebut adalah memang orang yang dipilih untuk bermusyawarah. Mereka semua adalah kandidat khalifah dan salah satu dari mereka akan dipilih menjadi khalifah. Ibnu Taimiyah mengatakan: “Utsman tidak serta merta menjadi pemimpin hanya dengan pilihan sebagian dari enam orang kandidat, namun berdasarkan bai’at yang dilakukan oleh umat Islam. Seluruh umat Islam membai’at utsman dan tidak ada satupun yang tidak membai’atnya”.
Imam Ahmad juga menyebutkan hal tersebut, bai’at kepada Utsman terlaksana secara konsensus. Terbukti Abdurrahman bin Auf selama tiga hari tidak sempat merasakan tidur nyenyak karena bermusyawarah dengan para senior muhajirin dan anshar, beliau meminta pandangan umat Islam waktu itu tentang Utsman dan Ali. Pandangan umat Islam diwakili oleh pendapat para pimpinan dan tokoh-tokoh di tengah-tengah mereka, baik secara keseluruhan maupun terpencar-pencar diberbagai wilayah, satu-satu ataupun dua-dua, mereka semua sepakat tidak ada satupun yang menolak kepemimpinan Utsman.
- Adapun berdalil dengan apa yang dilakukan Umar yang mana beliau membai’at Abu Bakar, kemudian disusul oleh para sahabat dan kemudian disetujui oleh mereka, maka argumentasi semacam itu sama sekali tidak benar. Sebab faktor yang menyebabkan para sahabat mengikuti Umar dan ridha kepada pilihan Umar adalah bukan karena Umar mewajibkan para sahabat untuk mengikuti apa yang dilakukannya. Sebab, jika memang seperti itu kesimpulannya, maka apabila yang membai’at bukan umar, berarti kepemimpinan Abu Bakar secara khusus tidak sah. Padahal, Umar adalah orang yang mengatakan: “Barang siapa yang membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, maka orang tersebut dan orang yang dibai’at tidak boleh diikuti. Keduanya sengaja menyetorkan nyawa kepada Ummat”. Adapun perkara Umar menjadi orang yang terlebih dahulu melakukan bai’at, maka setiap prosesi bai’at sudah barang tentu ada yang memulai, sebagaimana yang disampaikan oleh Ibnu Taimiyah.
- Adapun berdalil atas sahnya bai’at yang dilakukan oleh satu orang dengan fakta sejarah bahwa Al-Abbas mengatakan kepada Ali bin Abi Thalib setelah Nabi wafat: “Ulurkan tanganmu, aku akan membaiatmu”, maka orang-orang berkata: “Paman Rasulullah telah membai’at keponakannya…dst”, maka sama sekali tidak benar karena beberapa hal berikut:
- Kita harus membuktikan kebenaran kisah tersebut, dan hal tersebut sangat mustahil, sebab perawi yang mengatakan hal tersebut tidak mencantumkan sanad dan sumbernya, dan saya sama sekali tidak menemukan sanadnya.
- Kalau seandainya shahih, maka pengangkatan tersebut tetap tidak berlaku, dan beliau memang tidak melakukannya sama sekali.
- Kalaupun beliau melakukan hal tersebut, maka tujuannya adalah untuk memberikan motivasi dan dorongan bagi orang lain agar ikut melakukan bai’at. Hal ini sangat jelas sekali dari redaksi: “Maka orang-orang berkata: Paman Rasulullah telah membai’at keponakannya”. Artinya, Al-Abbas memulai pelaksanaan bai’at dengan harapan umat Islam yang lain mengikuti langkah tersebut.
- Adapun pendapat yang dianut oleh Jumhur madzhab syafi’i yang menyatakan bahwa kepemimpinan dianggap sah dengan adanya bai’at dari sekelompok orang ahlul halli wal aqdi yang bisa hadir dalam prosesi pembai’atan, maka pendapat ini bisa diketahui kelemahannya apabila anda mengetahui pandangan yang rajih dalam masalah ini berikut dalil-dalilnya. Nanti akan dijelaskan Insya Allah. Adapun pendapat bahwa kepemimpinan dinyatakan sah dengan bai’at yang dilakukan oleh satu orang jika jumlah ahlul halli wal aqdi memang hanya satu orang, maka sebagaimana yang disampaikan oleh Dr. Ra’fat Utsman: “Tidak pernah ada ceritanya jumlah ahlul halli wal aqdi hanya satu orang dalam setiap masa, dan sangat jarang sekali hal tersebut terjadi. Sesuatu yang jarang berarti tidak ada hukumnya”.
Di antara bukti kelemahan pendapat-pendapat tersebut secara umum adalah apa yang akan saya jelaskan dalam pembahasan pendapat yang rajih, juga riwayat yang bersumber dari Umar bahwa Nabi bersabda:“Barangsiapa yang menginginkan tinggal di tengah-tengah surga maka hendaklah dia selalu berjama’ah, sebab setan bersama orang yang sendirian, setan sedikit menjauh dari dua orang“. Umar berkata: “Barangsiapa yang membai’at seseorang tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan umat Islam, maka dia tidak boleh diikuti dan orang yang dibai’at juga tidak boleh diikuti, keduanya sengaja menyetorkan nyawa kepada umat Islam (minta dibunuh)”.
Kelompok ketiga: Pendapat yang rajih, madzhab Ahlusunnah Wa Al-Jama’ah
Madzhab ke tiga memiliki pandangan yang pertengahan dalam menentukan jumlah anggota ahlul halli wal aqdi, mereka tidak mengharuskan adanya ijma’ (konsensus) sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab pertama, dan tidak juga mengharuskan jumlah-jumlah tertentu sebagaimana yang dinyatakan oleh madzhab kedua, tapi mereka mengharuskan adanya kesepakatan mayoritas ahlul halli wal aqdi dan para pemilik power, serta orang-orang berpengaruh yang bai’at mereka mampu mewujudkan tujuan dari adanya pemimpin. Berdasarkan pendapat ini maka ketidaksetujuan sebagian ahlul halli wal aqdi sama sekali tidak mencederai sah-tidaknya pengangkatan khalifah. Sebagaimana juga persetujuan segelintir ahlul halli wal aqdi juga tidak bisa menjadi sarana yang syar’i untuk menduduki kekuasaan. Sebab ketidaksetujuan segelintir ahlul halli wal aqdi sama sekali tidak berpengaruh terhadap tujuan adanya pemimpin. Dan persetujuan segelintir ahlul halli wal aqdi juga sama sekali tidak bisa mewujudkan tujuan dari adanya pemimpin. Yang jadi standar adalah persetujuan mayoritas (jumhur) sebab dengan persetujuan mereka tujuan kepemimpinan bisa terwujud yaitu kekuasaan penuh yang termanifestasikan dalam sosok khalifah.
Al-Mawardi berkata: “Ada kelompok yang mengatakan: pemimpin tidak dinyatakan sah kecuali jika diangkat oleh mayoritas ahlul halli wal aqdi di masing-masing negara. Tujuannya adalah agar semua orang benar-benar rela dan kepemimpinannya bisa diterima oleh semua orang. Di antara mereka yang berpendapat seperti ini adalah Abu Ya’la dalam kitab Al-Ahkam As-Sulthaniyah, beliau menyatakan: adapun rumus bahwa pengangkatan imam dianggap tidak sah kecuali jika dilakukan oleh ahlul halli wal aqdi, maka maksudnya, status kepemimpinannya dianggap tidak sah kecuali jika yang mengangkatnya adalah mayoritas ahlul halli wal aqdi. Ahmad berkata dalam riwayat Ishaq bin Ibrahim, seorang pemimpin yang disepakati oleh seluruh ahlul halli wal aqdi, maka ini adalah imam. Abu ya’la berkata: secara redaksional dapat dipahami bahwa kepemimpinan dinyatakan sah apabila dipilih oleh sekelompok orang dari kalangan ahlul halli wal aqdi”.
Syaikhul Islam Ibnu Taimiyah juga menjelaskan hal tersebut, beliau mengatakan dalam Minhaju Sunnah An-Nabawiyah saat mengomentari ucapan orang syiah rafidhah: “Mereka mengatakan: pemimpin umat setelah Rasulullah SAW adalah Abu Bakar berdasarkan bai’at yang dilakukan Umar dan persetujuan empat orang sahabat. Komentar: bukan seperti itu pandangan ulama Ahlusunnah (sunni), meskipun beberapa orang ahlul kalam mengatakan, kepemimpinan sah dengan bai’at dari empat orang, sebagaimana ada juga yang mengatakan: sah dengan adanya bai’at dari dua orang. Sebagian mereka juga mengatakan: sah dengan bai’at yang dilakukan oleh seseorang. Semua pendapat ini bukanlah pendapat ulama sunni. Kepemimpinan menurut pandangan sunni dinyatakan sah jika mendapat persetujuan dari pemilik kekuatan dalam persoalan kepemimpinan. Seseorang tidak sah menjadi pemimpin sampai mendapatkan persetujuan dari pemilik kekuatan yang jika mereka ditaati maka tujuan adanya kepemimpinan bisa terwujud. Diantara hal yang menunjukkan bahwa yang termasuk pilar-pilar utama dari kepemimpinan adalah adanya kekuatan dan proteksi (perlindungan) terhadap rakyat yang berada di bawah kekuasaan seorang pemimpin adalah sabda Rasulullah:Pemimpin adalah tameng, umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya”.
Ibnu Taimiyah juga mengatakan: “Kalau seandainya Umar dan sekelompok orang yang bersamanya membai’at Abu Bakar sedangkan para sahabat yang lain tidak membai’atnya, maka Abu Bakar tidak sah menjadi pempimpin umat. Beliau menjadi imam berkat bai’at yang dilakukan oleh mayoritas sahabat yang merupakan pemilik kekuasaan dan kekuatan. Oleh karena itu tindakan Sa’d yang tidak mau berbai’at, sama sekali tidak memiliki efek apapun terhadap keabsahan Abu Bakar, sebab tindakan Sa’d sama sekali tidak mencederai tujuan pengangkatan pemimpin. Tujuan adanya kepemimpinan adalah memperoleh kekuasaan dan kemampuan yang dengan keduanya akan lahir mashlahat sebuah kepemimpinan. Hal tersebut telah terwujud dengan adanya persetujuan dari mayoritas sahabat. Siapa yang menyatakan bahwa Abu Bakar menjadi imam karena persetujuan satu orang, dua orang, atau empat orang yang mana mereka sama sekali tidak memiliki kemampuan dan kekuatan, maka dia telah salah. Begitu juga orang yang menganggap bahwa ketidaksetujuan satu orang, dua orang, atau sepuluh orang bisa membatalkan kepemimpinan, maka dia telah salah”.
Beliau juga berkata tentang pembai’atan Utsman: “Seluruh kaum muslimin membai’at Utsman bin Affan, tidak ada seorangpun yang tidak berbai’at. Tatkala para pemilik kekuatan dan kekuasaan membai’atnya, maka jadilah dia seorang pemimpin. Kalau seandainya Abdurrahman membai’atnya sedangkan Ali dan sahabat pemegang kekuatan lainnya tidak membai’atnya, maka dia tidak sah menjadi pemimpin”.
Umar berkata, saat itu beliau berada di atas ranjangnya: “Pelan-pelan! Jika terjadi apa-apa dengan diriku maka hendaklah Shuhaib mantan budak Bani Jad’an mengimami shalat selama tiga hari, kemudian pada hari ketiga kumpulkanlah orang-orang terhormat dan para komandan pasukan, lalu pilihlah salah seorang dari kalian bermusyawarah dengan mereka berenam, barang siapa yang menjadi pemimpin tanpa didahului musyawarah maka penggallah lehernya”.
Ibnu Taimiyah juga berkata: “Apabila dia dibai’at dengan bai’at yang mampu menghasilkan kekuatan dan kekuasaan maka dia sah menjadi pemimpin umat. Oleh karena itu Ulama sunni mengatakan: Barangsiapa yang kekuatan dan kekuasaan menjadi miliknya, dengan kekuatan dan kekuasaan tersebut dia bisa menjalankan tujuan adanya kepemimpinan maka dia adalah ulil amri yang allah perintahkan untuk ditaati. Selama mereka tidak memerintahkan untuk melakukan maksiat. Imamah adalah kerajaan dan kekuasaan, seorang raja tidak sah menjadi raja hanya dengan persetujuan satu orang, dua orang, atau empat orang, kecuali jika persetujuan mereka menuntut persetujuan dari selain mereka”.
Al-Juwaini berkata: “Dalam pencopotan dan pengangkatan Imam harus memperhatikan pemilik kekuatan”.
Ash-shawi berkata: “Pendapat yang terpilih dalam masalah tersebut adalah apa yang dikemukakan oleh Abu Ya’la, Ibnu Taimiyah, dan yang mengikuti mereka berdua, yaitu kepemimpinan dinyatakan sah dengan persetujuan mayoritas ahlul halli wal aqdi yang mana bai’at yang mereka lakukan menunjukkan kerelaan seluruh kaum muslimin terhadap pemimpin tersebut, mereka pada saat yang sama adalah pemilik kekuatan dan dominasi yang tidak mungkin tujuan-tujuan kepemimpinan bisa terlaksana tanpa kekuatan tersebut. Sebab, tidak diragukan lagi mengharuskan terjadinya ijma “kesepakatan total” adalah hal yang sangat sulit, sedangkan jika hanya mengikuti persetujuan satu orang, maka hal tersebut merupakan bentuk usaha yang tidak serius”.
Oleh karena itu bai’at yang syar’i terhadap khalifah dan Imam haruslah memenuhi dua hal berikut:
Pertama: Persetujuan mayoritas ahlul halli wal aqdi terhadap kepemimpinannya yang mana bai’at yang mereka lakukan merupakan representasi dari persetujuan mayoritas umat Islam sebagaimana yang tertera dalam shahih Bukhari bahwa Umar RA berkata: “Barang siapa yang membai’at seseorang tanpa melalui musyawarah dengan kaum muslimin, maka orang tersebut tidak boleh diikuti dan juga yang dibai’at. Keduanya sengaja menyetorkan nyawa kepada umat Islam”.
Juga pesan beliau kepada enam anggota musyawarah: “Barang siapa yang menjadi pemimpin tanpa didahului musyawarah maka penggallah lehernya”. Diriwayatkan oleh Ibnu Sa’d dengan sanad yang shahih, sebagaimana yang dinyatakan oleh Ibnu Hajar di dua tempat dalam Fathul Bari.
Ma’rur bin Suwaid juga meriwayatkan: “Saya mendengar Umar berkata: Barang siapa yang mengkampanyekan kepemimpinan yang tanpa didahului musyawarah dengan umat Islam maka penggallah lehernya”.
Kedua: Mereka adalah pemilik kekuatan dan dominasi yang mana tujuan-tujuan adanya pemimpin tidak mungkin terlaksana kecuali dengan persetujuan mereka. Hal tersebut merupakan penerapan dari sabda Rasulullah: “Sesungguhnya pemimpin adalah tameng, umat berperang di belakangnya dan berlindung dengannya“. (Muttafaqun alaih)
Setelah pemaparan ini maka kami sampaikan, jika kita renungkan deklarasi khilafah yang ada hari ini, kemudian kita urai seperti uraian di atas, setelah itu kita perjelas lagi, maka kita bisa menyimpulkan bahwa deklarasi tersebut kehilangan dua hal yang menjadi standar sah tidaknya sebuah kepemimpinan.
Di satu sisi, mereka –yang mendeklarasikan khilafah- tidak bermusyawarah dengan mayoritas ahlul halli wal aqdi dari umat Islam. Bahkan mereka tidak bermusyawarah dengan ahlul halli wal aqdi di luar kelompok mereka yang terdiri dari para komandan jihad yang mana mereka adalah manusia-manusia yang sangat pantas masuk dalam jajaran ahlul halli wal aqdi, baik yang berada di Khurasan, Pakistan, Yaman, Somalia, Al-Jazair, Nigeria, Kaukasus, Mali, Tunisia, Sina, Palestina atau mujahidin-mujahidin di tempat lainnya. Hal ini saja tidak mereka lakukan, apalagi bermusyawarah dengan seluruh komponen ahlul halli wal aqdi dari umat Islam. Perlu diketahui, ketika kami mengatakan ahlul halli wal aqdi maka kami tidak memaksudkan para ulama thaghut, agen barat, dan pengekor barat dengan berbagai modelnya, atau ulama-ulama menyimpang baik karena syahwat ataupun syubhat. Maksud kami adalah ulama-ulama yang memenuhi kriteria ahlul halli wal aqdi yang disebutkan oleh para ulama seperti: berakidah lurus, berilmu, adil, bisa berfikir dan berpendapat, bijak, punya kekuatan, dan lain sebagainya. Saya pikir tidak ada satu wilayahpun yang tidak memiliki ulama yang memenuhi kriteria seperti itu, Alhamdulillah.
Dan secara khusus bumi-bumi jihad yang kami sebutkan tersebut. Alangkah banyaknya jumlah para pemimpin, ulama, masyayikh, komandan yang memiliki aqidah yang lurus, ilmu, pandangan, dan kekuatan di wilayah yang mereka tempati. –Di antara mereka ada yang terkenal dan ada juga yang tidak, ketidak masyhuran mereka bukan berarti menggugurkan hak mereka untuk ikut menjadi anggota ahlul halli wal aqdi- mereka telah berjihad dan melakukan pembelaan terhadap umat Islam selama berpuluh-puluh tahun, mudah-mudahan Allah membalas jasa mereka terhadap Islam dan kaum muslimin. Mereka sebagaimana yang kami sampaikan, adalah manusia yang paling berhak untuk masuk dalam jajaran ahlul halli wal aqdi, saya pikir tidak mungkin ada orang waras dan obyektif yang meragukan hal tersebut.
Di sisi yang lain, mereka –yang mendeklarasikan khilafah- tidak memiliki kekuasaan dan kekuatan yang mampu mereka gunakan untuk menjaga kaum muslimin dan melemahkan siapa saja yang berada di luar wilayah yang dikuasainya di Irak dan Syam, untuk mewujudkan tujuan dari adanya khilafah. Sebagaimana sabda Rasulullah: “Sesungguhnya pemimpin itu adalah tameng, umat berperang dibelakangnya dan berlindung dengannya”. (Muttafaqun alaih)
Agar gambarannya semakin jelas maka kami katakan: Kekuasaan Daulah terhadap wilayah-wilayah yang dikuasainya di Irak dan Syam adalah sama dengan kekuasaan Taliban di Afghanistan, baik sebelum mereka memerangi Afghanistan –thaliban saat itu memiliki seluruh pilar-pilar negara serta komponen-komponen kerajaan yang dibutuhkan seperti kementerian-kementerian dan institusi-institusi negara yang benar-benar nyata adanya, tidak ada komponen yang kurang sama sekali. Bahkan mereka memiliki mata uang sendiri, dan lain sebagainya. Atau saat ini, sebagaimana yang sudah kita tahu Thaliban saat ini berhasil menguasai pos-pos penting di Afghanistan. Begitu juga dengan gerakan Thaliban di pakistan, mereka memiliki kekuasaan terhadap beberapa wilayah di waziristan bahkan sempat menguasai ibu kota pada tahun 2008. Begitu juga dengan kekuasaan gerakan Ash-Shabab Somalia, juga kekuasaan Anshar Syariah di Yaman yang berhasil menguasai wilayah Abyan dan Syabwah. Juga Ansharud Din tatkala berhasil menguasai Mali, tidak ada hak bagi salah satu dari mereka untuk untuk mendeklarasikan khilafah tanpa terlebih dahulu bermusyawarah dengan kaum muslimin lainnya. Sebab apabila mereka ‘nekat’ mendeklarasikan khilafah, maka mereka tidak memiliki dua hal, pertama: Syura. Maksudnya, mengangkat pemimpin dengan musyawarah bersama kaum muslimin. Kedua: kekuatan (power/syaukah), mereka tidak memiliki kekuatan kecuali hanya pada wilayah yang dikuasai saja. Seperti itulah status deklarasinya jika kita anggap mereka berkuasa di wilayah yang mereka tempati dan tidak memiliki kekuatan di wilayah lainnya.
Pada poin ini kami akan merenungkan kembali jawaban-jawaban bagi pertanyaan yang disampaikan didepan sehingga gambarannya semakin jelas.
Maka kami katakan, jawaban terhadap pertanyaan tersebut tidak mungkin keluar dari salah satu cara dari tiga cara yang disebutkan oleh Ahlu Sunnah, yaitu pemilihan atau wasiat kepada pengganti atau jalur yang tidak syari’, yaitu kudeta dan revolusi, namun cara tersebut dinilai sah karena kondisi yang sangat mendesak meskipun sebenarnya tidak boleh.
Jika ada yang mengatakan: Sesungguhnya khilafah yang ada hari ini adalah sah karena diangkat dengan cara pemilihan. Maka kami katakan, hal ini tidak benar berdasarkan penjelasan di depan. Daulah sendiri menyatakan bahwa dirinya tidak mengajak seorangpun untuk bermusyawarah. Yang mengangkat khalifah adalah Majlis Syura Daulah sendiri. Orang-orang yang dipilih Syaikh Abu Bakar Al-Baghdadi sebagai Majlis Syura lah yang mengangkatnya menjadi khalifah bagi kaum muslimin.
Jika ada yang mengatakan, kekhilafahannya sah karena Syaikh Abu umar Al-Baghdadi telah menunjuk Abu Bakar Al-Baghdadi. Saya katakan, Pertama, Daulah sendiri sama sekali tidak pernah mengklaim bahwa Abu Umar adalah khalifah sehingga dia boleh menunjuk pengganti. Kalau seandainya diasumsikan bahwa beliau mengklaim sebagai khilafah –dan hal tersebut tidak terbukti- maka mereka klaim juga tetap bermasalah. Sebagaimana yang telah kita diskusikan di depan, renungkanlah. Bahkan kalau seandainya Abu Umar benar-benar khalifah dan menunjuk pengganti maka syarat untuk menunjuk pengganti adalah persetujuan ahlul halli wal aqdi sebagaimana Abu Bakar mengajak para sahabat untuk bermusyawarah tatkala hendak menunjuk Umar, bahkan merekalah yang sejak awal meminta Abu Bakar untuk menunjuk pengganti. Oleh karena itu, Ibnu Taimiyah berkata: “Begitu juga dengan Umar, tatkala Abu Bakar menunjukknya sebagai pengganti, beliau sah menjadi pemimpin umat tatkala para sahabat membai’atnya dan memberikan ketaatan kepadanya. Kalau seandainya tidak melaksanakan wasiat Abu Bakar dan tidak membai’atnya maka dia tidak sah menjadi pemimpin umat Islam”.
Renungkanlah! Sebenarnya Abu umar adalah pemimpin untuk wilayah yang dia kuasai di Irak saat itu, posisinya seperti Abu Zubair di Somalia, Mula Muhammad Umar di Afghanistan dan pemimpin-pemimpin wilayah lainnya yang berkuasa di wilayah-wilayah mereka sendiri. Di sini kami ingatkan bahwa pengakuan dari guru-guru besar Jihad semisal Syaikh Usamah dan Syaikh Aiman Azh-Zhawahiri terhadap kepemimpinan Abu Umar Al-Baghdadi adalah pengakuan terhadap kepemimpinanya atas Irak bukan sebagai khalifah. Siapa yang merenungkan hal ini tentu bisa memahami bahwa maksud penyebutan Abu Umar dengan Amirul Mukminin bukanlah berarti khalifah bagi seluruh umat Islam. Statusnya seperti Mula Muhammad Umar hafizhahullah, beliau disebut amirul mukminin sebelum Abu Umar Al-Baghdadi, meski demikian dia bukanlah khalifah dan tidak pernah mengklaim sebagai khalifah. Penamaan tersebut hanyalah julukan yang dipakai keduanya. Yang menjadi standar penilaian selalunya adalah fakta dan maksud bukan nama dan redaksi.
Jika ada yang mengatakan bahwa khilafah bisa terwujud dengan melalui cara ketiga yang tidak syar’i, yaitu dengan mengalahkan dan memaksa. Maka jawabannya, hal tersebut juga tidak benar dan sama sekali tidak terjadi. Dan sebagaimana yang kami sampaikan semua orang yang berakal pasti tahu dan yakin bahwa Abu Bakar Al Baghdadi tidak menaklukkan Khurasan, Somalia, dan wilayah-wilayah lainnya dari wilayah kaum muslimin. Selain itu para pemimpin di wilayah-wilayah tersebut juga tidak mendominasi dan berkuasa di wilayah yang dikuasai oleh Daulah di Irak dan Syam. Dia memiliki kekuatan dan dominasi seperti halnya Abu Zubair di Somalia, Amir Thaliban di Khurasan dan semua amir di wilayah kekuasaannya. Perlu diketahui bahwa kami mengatakan seperti ini dalam rangka memperjelas masalah dari sisi syar’inya sebab kami menghormati mereka semua karena mereka memiliki obsesi untuk mendirikan kerajaan dan kekuasaan, bahkan obsesi mereka setahu kami adalah menolong Agama Allah dan meninggikan kalimat Allah meskipun ada di antara mereka ada yang melakukan kesalahan. Dari sini jelas sekali bahwa klaim adanya dominasi dan kekuasaan yang memungkinkan baginya menjalankan posisi sebagai khalifah bagi seluruh kaum muslimin adalah tidak benar.
Di sini kami juga bertanya, apakah dengan kemampuan yang dimiliki untuk melantik khalifah, mereka bisa mengirimkan pasukan untuk membebaskan ribuan tawanan kaum muslimin baik laki-laki maupun perempuan yang dia jadikan sebagai rakyat dan dia nobatkan dirinya sebagai imam bagi mereka di timur dan barat. Sama saja baik mereka berada dalam genggaman murtaddin atau genggaman bangsa-bangsa kafir semisal Rusia, Cina, Amerika, dan lain sebagainya. Apakah hanya dengan kemampuan menolong seorang syaikh yang rumahnya dihancurkan di palestina atau mampu mengembalikan harta seorang muslim di Mauritania maka statusnya menjadi seperti tameng pelindung? Apalagi kalau kami tanyakan apakah dia telah atau dia mampu memenuhi semua kebutuhan kaum muslimin di wilayah-wilayah mereka, baik berupa keamanan, manfaat, makanan, perbaikan jalan sebgaiamana pernyataan Umar bin Khaththab RA saat di madinah: “Demi Allah, kalau seandainya ada seekor bighal yang tersandung batuan di tanah Irak, niscaya saya akan ditanya di hadapan Allah, kenapa saya tidak memperbaiki jalan untuk bighal tersebut?”.
Terakhir, saya memohon kepada Allah karunia dan kemurahannya agar menyatukan kaum muslimin semuanya di atas kalimat tauhid, dan mudah-mudahan Allah menjaga para mujahidin dari kejahatan nafsu mereka dan kejahatan konspirasi setan, dan mudah-mudahan Allah mengembalikan kekhilafahan yang lurus yang berhukum dengan kitabullah dan sunnah Rasulullah kepada umat Islam.
Alhamdulillahi rabbil ‘aalamin.
Ditulis oleh Muhammad bin Shalih Al-Muhajir
Diterjemahkan oleh :
MUQAWAMAH MEDIA TEAM
(adibahasan/muqawamahmedia/arrahmah.com)