(Arrahmah.com) – “Kamu tahu ga, mereka cari apa? Mereka cari-cari selongsong peluru, tau,” kata Ratna Sarumpaet.
“Ah masa sih, mbak?” balas saya tidak percaya.
“Kalo ga cari selongsong peluru, apa perlunya polisi-polisi itu naik kesini terus bongkar ini-itu,” kata Ratna lagi.
“Selongsong peluru, masa sih?” tukas saya lagi, masih tidak percaya
“Kamu ga denger tadi mereka buang tembakan?
“Ga mbak. Tapi kalau benar mereka melepas tembakan, siapa sasarannya? Masak sih kita? Wuih, ngeri kali…,” ujar saya.
Kalimat-kalimat yang di atas itu adalah petikan dialog saya dengan Ratna Sarumpaet. Waktu itu kami masih berada di atas mobil komando, saat orasi pada Musyawarah Besar Warga Jakarta di sekitar Musium Fatahillah, Kota Tua, Jakarta Barat. Aksi digelar Ahad, 18 September 2016. Sedianya, aksi berlangsung mulai pukul 08.00-10.30. Namun apa daya, polisi akhirnya membubarkan paksa ketika jam belum lagi menunjukkan pukul 10.00. Padahal, karena berbagai hambatan teknis (terutama larangan dari polisi) aksi baru bisa dimulai menjelang pukul 09.00.
Ahad pagi itu, massa aksi dari berbagai wilayah Jakarta sudah mulai berdatangan sekitar pukul 07.00, termasuk di antaranya warga Kampung Akuarium, Pasar Ikan, Jakarta Utara. Mereka datang bersama Ratna Sarumpaet, aktivis senior yang selama berbulan-bulan mendampingi mereka, tidur dan makan bersama mereka di lokasi bekas area yang digusur paksa oleh Ahok, sang gubernur ganas.
Koordinator Lapangan Mubes, Budhi Setiawan sempat bernegosiasi dengan Kapolres Jakbar Kombes Roycke Harry Langie. Negosiasi gagal. Polisi tetap melarang aksi digelar di halaman Musium Fatahillah. Alasannya, kata Kapolres, ada Pergub yang melarang lokasi wisata dijadikan tempat aksi.
Saya yang datang belakangan sempat bernegosiasi juga dengan Kapolsek Taman Sari AKBP Nasriyadi. Kepala Pengamanan unjuk rasa Mubes itu mengerahkan 300 personel untuk mengamankan jalannya Mubes. Hasilnya setali tiga uang, tidak boleh demo di halaman museum.
Namun akhirnya bisa dicapai kompromi, aksi bisa digelar di luar pagar halaman museum. Alhamdulillah… Jadilah kami menggelar berbagai poster dan spanduk. Pesan inti yang disampaikan adalah, warga Jakarta menolak Ahok!
Ketika itu mobil komando belum datang. Orasi disampaikan oleh ustadz Haikal Hassan. Ulama asli Betawi kelahiran Condet, Jakarta Timur yang berpakaian serba-hitam, ini menyuarakan hal yang sama. Setelah itu saya sampaikan orasi. Oya, sekadar info, baik saya maupun ustadz Haikal berorasi sama sekali tidak menggunakan pelantang suara apa pun. Jadi kami terpaksa teriak-teriak sebisanya. Akibatnya, walau hanya orasi sekitar lima menit, tenggorokan saya rasanya jadi gimanaaa gitu, deh…
Polisi sahabat rakyat
Tidak beberapa lama kemudian, mobil komando datang. Kami memarkir di sudut sisi kanan museum. Saya pun segera naik ke bagian atas. Setelah itu naik pula ustadz Mustaqiem Dahlan yang juga Ketua Forum Mitra RT/RW DKI Jakarta. Anak muda yang hari itu mengenakan kaus merah dan peci hitam itu adalah juga aktivis Walhi DKI. Alan, biasa kami panggil begitu, memang punya seabrek aktivitas. Antara lain ICMI Jakarta dan salah satu pendekar Tapak Suci, organisasi bela dirinya Muhammadiyah.
Mulailah kami berdua bergantian berorasi. Namun polisi sepertinya tidak happy dengan orasi kami. Maka mobil mereka perintahkan jalan, bergerak menuju masjid Istiqlal, Jakarta Pusat. Karena tidak tega melihat Ratna ikut berjalan di belakang, saya minta mobil berhenti agar dia bisa ikut naik ke atas. Jadilah kami bertiga di mobil komando. Sementara di ruang kemudi ada sopir dan seorang asistennya.
Dalam bagian orasi, kepada massa aksi dan masyarakat yang menonton di pinggir jalan saya sampaikan antara lain; yang kita lawan adalah gubernur tukang gusur, gubernur beringas yang ganas, gubernur sok bersih padahal banyak terlibat kasus korupsi. Warga Jakarta ingin punya gubernur yang mencintai dan dincitai warganya, gubernur yang menyayangi dan disayang warganya, gubernur yang sopan dan tidak hobi memaki rakyat sendiri…
Kepada massa aksi juga saya sampaikan, kita berterima kasih kepada polisi yang telah membantu mengamankan acara ini. Polisi bukan lawan rakyat, polisi justru teman dan pengayom rakyat. Polisi pelindung rakyat, karena gaji polisi dibayar dengan uang rakyat, seragam polisi dibeli dengan uang rakyat, sepatu polisi berasal dari uang rakyat, bahkan senjata polisi dan pelurunya juga dibeli dengan uang rakyat…
Entah apa sebabnya, rupaya materi orasi saya itu telah membuat berang polisi. Kapolres Jakbar Roycke dan Kapolsek Taman Sari Nasriyadi yang ikut jalan di belakang mobil marah besar. Mereka berteriak-teriak sambil mengacung-acungkan tongkat komandonya minta saya diam dan turun. Muka keduanya yang memang berkulit putih bersih merah padam. Padahal, waktu bernegosiasi dengan saya tadi, Nasriyadi sangat ramah. Kami bahkan sempat beberapa kali bercanda.
Keruan saja sikap para petinggi polisi itu memicu sikap serupa anak buahnya. Mungkin bagi mereka, kemarahan Kapolres dan Kapolsek adalah perintah untuk bertindak. Maka hanya dalam hitungan detik, sejumlah polisi muda merangsek ke mobil komando. Mereka berupaya naik untuk menarik saya turun.
Untungnya, teman-teman panitia yang memang berjaga-jaga di seputar mobil berusaha mencegah polisi-polisi yang mulai beringas. Tak pelak lagi, bentrokan terjadi. Saling sikut dan tendang di antara mereka tak terhindarkan. Namun karena perlawanan teman-teman panitia itu pula, polisi tidak berhasil menurunkan saya. Alhamdulillah…
Melihat kejadian itu, dari atas mobil, dengan menggunakan mikrofon, minta saya bentrokan dihentikan. Kepada teman-teman panitia sama minta mengalah, karena sejak awal memang kami men-setting aksi damai, bukan anarkis. Syukurlah, baik teman-teman maupun polisi mau mendengarkan anjuran saya. Bentrokan berhenti.
Nah, saat bentrokan terjadi itulah, Ratna mengatakan mendengar suara tembakan dilepas beberpa kali. Entah oleh siapa dan kemana sasarannya, Ratna sendiri tidak tahu. Itulah sebabnya dia yakin bahwa beberapa polisi yang bergantian naik ke atas mobil komando itu tengah mencari selongsong peluru.
“Mereka berusaha menghilangkan barang bukti, Ed,” ujar Ratna. Mungkin karena bentrokan dan masih berorasi dari atas mobil, saya tidak mendengar suara tembakan yang dimaksud Ratna.
Selepas bentrokan, polisi memerintahkan mobil bergerak cepat. Tentu saja massa jadi tertinggal jauh di belakang. Ustadz Alan yang juga masih di atas mobil berteriak-teriak minta mobil dihentikan. Namun sepertinya sopir lebih takut kepada polisi ketimbang mau mendengarkan teriakannya.
Setelah melawati Stasiun Kota, mobil dipaksa belok ke kiri ke arah pasar pagi Mangga Dua. Beberapa puluh meter kemudian, mobil melambat dan akhirnya berhenti. Saat itu ustadz Dahlan melompat turun dan berlari menuju massa aksi yang tertinggal di belakang.
Apa yang kau cari, pak polisi?
Yang menarik, saat mobil masih berjalan, seorang anak muda berkaus hitam berlari kencang mengejar mobil. Dia mengejar mobil sejak masih berada di depan Bank BNI di samping stasiun Kota. Setelah mobil berhenti, dia bergegas naik ke atas mobil dan sibuk mencari sesuatu. Nafasnya masih terengah-engah. Pandangannya tertuju ke dek yang dialasi karpet hijau dan plastik bekas aneka spanduk. Matanya jelalatan liar. Tangannya bergerak cepat ke sana-sini. Hasilnya, nihil. Dia tidak menemukan apa-apa…
Usai dia turun, naik seorang polisi lain, juga berpakaian preman. Kali ini usianya lebih tua. Mungkin 30an tahun. Badannya kekar. Rambutnya lurus agak panjang dan dikuncir di bagian belakang. Dia pun sibuk mencari ini-itu. Dia malah beberapa kali mengangkat-angkat karpet dan bekas spanduk. Hasilnya sama, nihil…
Setelah si gondrong turun, naik polisi yang lain. Kali ini berturut-turut dua orang, semuanya tidak berseragam. Juga sibuk mencari-cari. Karena heran, saya bertanya ke mereka, apa yang dicari. Tapi tidak satu pun dari polisi-polisi itu yang mau membuka mulut.
Seperti kurang puas, si gondrong sekali lagi naik dan mencari-cari.
“Apa yang kau cari?” tanya Ratna.
“Ga cari apa-apa, bu,” jawab si gondrong, matanya masih jelalatan. Jawaban yang bodoh!
“Mana mungkin kau ga cari apa-apa. Apa yang kau cari?” tukas Ratna lagi dengan suara keras.
Saya yang di atas mobil juga tidak habis mengerti apa yang mereka cari. Tadinya saya berpikir, polisi-polisi itu mencari apa saja yang mungkin bisa dan biasa digunakan para demonstran. Mulai dari batu-batu, tongkat dan kayu, senjata tajam, sampai bom molotov. Eit, nanti dulu ah, bom Molotov? Mosok seserius itu, sih?
Nah, usai adegan pencarian yang ganjil dan nihil itulah, terjadi dialog saya dan Ratna seperti di awal tulisan ini. Sampai sekarang, terus terang, saya masih belum yakin kalau para polisi itu mencari selongsong peluru. Namun penjelasan Ratna dikombinasi adegan polisi-polisi yang tergopoh-gopoh mencari sesuatu tadi rasanya cukup masuk akal. Apalagi, menurut Ratna, asisten si sopir mobil komando itu sempat melihat selongsong peluru jatuh di dekat mobil saat bentrokan berlangsung…
Di sisi lain, lagi-lagi saya berpikir, masak iya polisi melepas tembakan? Ke arah mana? Siapa sasarannya? Mungkinkah sasarannya saya, karena materi orasi saya dianggap memprovokasi? Maaf, ini bukan ge-er, tapi lebih karena takut juga, lho… Faktanya, polisi memang naik darah saat saya berorasi di atas mobil yang bergerak pelan. Apalagi baik Roycke, Nasriyadi maupun banyak polisi lain yang marah itu, berteriak-teriak agar saya tidak menyebut-nyebut polisi dalam orasi.
Padahal dengan menggunakan materi polisi sebagai teman, sahabat, dan pengayom rakyat tadi, saya bermaksud mengingatkan massa aksi, agar tidak terpancing emosi dan memusuhi polisi. Maklum, dalam apel pagi, polisi memang diperintahkan untuk menghalau massa. Bahkan perintah itu ditambahi embel-embel “ini tugas negara.” Dalam bahasa pesantren, frasa itu (sudah) setara dengan “jihad fii sabilillah.” Artinya, harus dilakukan apa pun risikonya!
Kembali ke mobil komando, akhirnya kami digiring ke masjid Istiqlal. Di depan ada satu mobil patroli. Di belakang, ada 2-3 mobil lain yang ikut mengawal dengan menyalakan lampu hazard. Keren juga, sih…
Matahari kian terik. Juga karena di atas tidak stabil dan cukup berbahaya, saya minta Ratna turun. Dia setuju bergabung di kabin, duduk bertiga dengan supir dan asistennya. Tinggalah saya sendiri di atas mobil. Untungnya di situ ada boks plastik bekas minuman ringan yang bisa saya pakai duduk. Lumayan. Mobil kembali melaju, menuju masjid Istiqlal. Tentu saja, masih dengan pengawalan polisi.
Kapolsek bohong?
Jadi tidak benar, kalau Kapolsek Tamansari Nasriyadi kepada wartawan mengatakan, orator dan korlap aksi kabur saat diajak komunikasi oleh polisi.
“Kasihan itu, Ratna Sarumpaet ditinggal di atas mobil. Saat kami dekati, mereka semua operator dan Korlap kabur. Hasilnya, Ratna, sama massa aksi yang ibu-ibu dan anak-anak juga ditinggal,” terang Nasriyadi.
Massa aksi tersebut, lalu dinaikkan oleh polisi ke bus. Kemudian Ratna Sarumpaet sempat bersitegang. “Kami sempat tawarkan taxi malahan. Tapi ibu Ratna gak mau, ya kami biarkan. Kalau massa aksi yang lainnya sudah kami naikkan ke bus, sudah kami suruh pullang,” ucap Nasriyadi.
Kalau benar Nasriadi berkata begitu, ini jelas pembohongan publik. Lha wong saya bersama-sama Ratna dikawal sampai di masjid Istiqlal. Sedangkan Budhi, sampai jam 11an masih di café Batvia, ngobrol dengan beberapa polisi.
Oya, sekadar info saja. Di café Batavia itu pula Budhi melihat dan berjabat tangan dengan Wakapolda Metro Jaya, Brigjen Pol Suntana. Jadi, rupanya, diam-diam Mubes Warga Jakarta ternyata berhasil menarik perhatian para petinggi Polri. Bayangkan, bukan hanya Kapolsek dan Kapolres, bahkan Wakapolda pun memerlukan ikut hadir. Bukan main… (*)
Jakarta, 19 September 2016
Edy Mulyadi, Inisiator dan Ketua Panitia Musyawarah Besar Warga Jakarta
(*/arrahmah.com)