(Arrahmah.com) – Dunia ini diciptakan dengan harmoni. Dalam buku ”The Series Of The Scientific Miracles In Quraan” karya Dr. Tariq Al Suwaidan, ditunjukkan ”matematika Qur’an” yang menunjukkan harmonisasi Kitab Suci. Misalnya, ada sejumlah kata yang disebut sama banyak dengan lawan katanya. Misalnya ”dunia” disebut 115 kali sebagaimana kata ”akhirat”. Demikian juga ”malaikat” dan ”iblis” disebut masing-masing 88 kali. Hidup-mati (145 kali). Beruntung-merugi (50 kali); Harapan-kekhawatiran (8 kali). Pria-wanita (24 kali).
Pernahkah kita merenung, mengapa ada segolongan orang yang mempunyai kelebihan rezeki yang sangat besar dibanding yang lain. Sementara yang lain walaupun sudah membanting tulang, kepala di bawah, kaki di atas, tetap hidupnya pas-pasan. Sunnatullah ini direkam dalam firman Allah Swt:
“Dan Dia-lah yang menjadikan kamu penguasa-penguasa di bumi dan Dia meninggikan sebagian kamu atas sebagian (yang lain) beberapa derajat, untuk mengujimu tentang apa yang diberikan Nya kepadamu. Sesungguhnya Tuhanmu cepat siksaan-Nya dan sesungguhnya Dia Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS Al -An’am [6]: 165)
Jadi sesungguhnya kelebihan dalam urusan ilmu, harta maupun kekuasaan itu adalah merupakan ujian apakah seseorang itu akan tetap beriman dan bersyukur dengan kelebihan tersebut. Karena apabila tidak, maka siksa Allah itu demikian cepat (segera).
Kemudian lebih lanjut:
“Dan Allah melebihkan sebagian kamu dari sebagian yang lain dalam hal rezeki, tetapi orang-orang yang dilebihkan rezekinya itu tidak mau memberikan rezeki mereka kepada budak-budak yang mereka miliki agar mereka sama (merasakan) rezeki tersebut. Maka mengapa mereka mengingkari nikmat Allah?” (QS An Nahl [16] :71)
Ketidaksamaan rezeki antar sesama manusia ini akan mempengaruhi kesempatannya dalam melakukan aktifitas ekonomi dalam kehidupannya. Peran serta mereka pun menjadi berbeda satu sama lain. Secara kolektif dan parsial, perbedaan di atas berkembang menjadi perbedaan antar kelompok manusia yang satu dengan yang lainnya.
Islam mengakui adanya hak milik perseorangan dan sepanjang hal itu membawa manfaat bagi orang lain. Dalam islam, penumpukan kekayaan atau pun kekuasaan yang berlebihan harus dihindarkan dan hal itu dilakukan dengan mendistribusikan aliran kekayaan tersebut kepada anggota masyarakat atau saudara-saudara kita yang belum beruntung.
Dalam surat Al Hasyr : 7, Allah berfirman: “Supaya harta itu jangan hanya beredar di antara golongan kaya saja di kalangan kamu” (QS Al Hasyr [59]: 7)
Pendistribusian itu dapat dilakukan dengan zakat infaq shadakah dan wakaf. Namun juga dapat dilakukan dengan melakukan investasi melalui pembukaan usaha baru yang otomatis membuka lapangan kerja sebagai lahan rezeki bagi mereka yang belum mempunyai pendapatan yang cukup. Tentu investasi yang baik, islami dan sebaiknya menggerakkan sektor riil perekonomian kita.
Posisi fakir miskin dalam fungsi dan perannya di muka bumi, sederajat dengan para cerdik cendekia, para elite pemimpin, para hartawan. Bersama para fakir miskin, mereka menopang tegaknya dunia, sebagaimana disabdakan Nabi Muhammad saw, bahwa tegaknya dunia (qawamud dunya), oleh empat perkara (bi arba’ati asya-a), yaitu dengan ilmunya ulama (bi ilmil ulama), keadilan pemimpin (bi adlil umara), kedermawanan kaum hartawan (bi sakhawatil aghniya) dan doanya kaum fakir miskin (bi do’ail fuqara).
Oleh karena itu untuk mewujudkan harmonisasi kehidupan ibukota, Jakarta butuh pemimpin yang ramah pada semua kalangan masyarakat, terutama kaum dhuafa. Bukan pemimpin yang menghina ulama, membinasakan kaum miskin, dan lebih berpihak kepada kaum kapitalis. Bukan!
(*/arrahmah.com)