Oleh: Syahrul Efendi D
(Mantan Ketua Umum PB HMI MPO)
(Arrahmah.com) – Satu watak kapitalisme ialah tidak pernah berhenti, dan selalu menemukan cara untuk mengakali, memanipulasi, dan mengeksploitasi publik demi pertumbuhan kapital. Dan itulah yang mereka lakukan kepada publik Muslim dewasa ini. Publik Muslim dengan tololnya menerima begitu saja kriteria-kriteria syariah versi kapitalisme.
Setelah mereka berhasil memanipulasi bank syariah sebagai instrumen kapitalisme, kini yang teranyar mereka pun tengah memanipulasi even kontes kecantikan perempuan dengan label World Muslimah. Pembandingnya tentulah Miss Wold yang terkenal itu. Seolah mereka hendak menyampaikan pesan: “Tidak perlu repot-repot. Anda tetap dapat menikmati indahnya perempuan, tanpa harus melanggar syariat.” Persis seperti yang mereka buat terhadap Bank Syariah. Masalahnya, benarkah hal itu tidak melanggar syariat?
Bank Syariah misalnya, saya kira gagal memenuhi standard syariah, kecuali hanya memenuhi syariah compliant yang bersifat permukaan. Padahal syariah sejatinya bermaksud membawa sifat transaksi keuangan tidak saja sekedar menegakkan aqad dan prinsip tanpa riba, tapi juga bertujuan agar bisnis benar-benar menjamin kesejahteraan secara merata. Pertanyaannya, apakah keberadaan bank syariah telah berhasil mengikis kesenjangan dan meratakan kesejahteraan masyarakat? Saya kira tidak. Bank tetaplah bank. Bank senantiasa melayani pemiliknya dan kemudian nasabahnya yang paling menguntungkan bank tersebut. Itulah sebabnya dalam kebijakan bank ada yang disebut nasabah prioritas karena menyimpan deposito besar pada bank tersebut. Walhasil bank-bank syariah yang ada tak ada bedanya dengan bank-bank umum lainnya, kecualicasingnya saja.
Demikian pun dengan World Muslimah yang diadakan di Indonesia dewasa ini. Kita bisa pastikan bahwa motif kontes tersebut semata-mata bisnis, tapi dengan seenaknya memanipulasi simbol-simbol Islam untuk meraih perhatian publik. Kalau bukan bisnis, tentulah mereka tidak akan mencari-cari sponsor dan menonjolkan logo sponsor itu di setiap media yang mereka gunakan. Prinsip sponsor ialah hanya akan mendukung suatu acara, jika benar-benar memberikan keuntungan, baik terhadap citra lembaga mereka, maupun lainnya. Mereka para perancang acara tersebut mengira akan menuai untung sekaligus amal dengan menggelar acara kontes kecantikan perempuan berbalutkan hijab. Padahal esensi hijab itu ialah menutup celah agar nafsu syahwat laki-laki tidak terbakar ketika melihat si perempuan. Tapi ini malah melenggak-lenggok menebar pesona ragawi kepada penontonnya, dan bahkan sengaja dipublikasikan secara luas. Apakah demikian yang dimaksud dengan hijab?
Memang tampaknya ada kesan, Indonesia hendak dijadikan proyek percontohan mengenai perkawinan ajaran batil dari Barat dengan ajaran Islam yang berakar kuat di negeri ini. Setelah perkawinan demokrasi berjalan, kini berlanjut pada perkawinan kapitalisme agresif dengan syariah di Indonesia. Mereka hendak menghiasi musang dengan bulu ayam supaya mata publik melihat di depan mereka hanya ayam yang jinak, nyatanya musang yang berbahaya.
(arrahmah.com)