JAKARTA (Arrahmah.com) – Dewan Da’wah Islamiyah Indonesia menggelar workshop masjid di Aula Masjid Al Furqon Jl Kramat Raya 45 Jakarta Pusat, Sabtu (25/4). Acara bertema Optimalisasi Peran dan Fungsi Masjid sebagai Pembina Umat dan Penyelamat Generasi, itu diikuti para pengurus dari 50 masjid di wilayah Jakarta dan sekitarnya. Misalnya Masjid Al Munawwaroh Tanah Abang (Jakarta Pusat), Al Anshor Astra Sunter (Jakarta Utara), At Taqwa Pulogadung (Jakarta Timur), Waddah Al Bahr (Tambun), At Taqwa Jatibening (Bekasi), Masjid Al Iman Perum Antara, dan lain-lain.
Dalam laporannya Wakil Sekretaris Umum Dewan Da’wah selaku ketua panitia workshop mengungkapkan, Dewan Da’wah sejak tahun 1970-an sudah menjadi ”rumah” bagi kerjasama antar-masjid guna menghadapi tantangan dakwah saat itu. Namun belakangan ini, kerjasama tersebut mengendur walaupun komunikasi masih terjaga.
”Untuk itulah Dewan Da’wah menyelenggarakan workshop masjid sebagai ajang silaturahim dan kerjasama yang lebih intensif,” kata Solihin.
Wakil Ketua Umum Dewan Da’wah KH Abdul Wahid Alwi dalam sambutannya mengingatkan kembali wasiat Dr Mohammad Natsir untuk menghidupkan tiga pilar da’wah. Ketiganya adalah masjid, kemudian pesantren, lalu kampus. ”Ini tentu tanpa menafikan kantong-kantong kegiatan umat muslim lain seperti majelis taklim,” tutur Abdul Wahid.
Ia lalu memaparkan problema dan tantangan umat Muslim kontemporer. ”Masalah umat Islam bersifat internal dan eksternal. Jadi jangan hanya menyalahkan pihak lain, karena kita juga punya masalah,” katanya.
Masalah eksternal secara umum berupa ghazwul fikri (agresi pemikiran), tsaqofi (agresi budaya), iqtishady (agresi ekonomi) dan ghazwul siyasi (agresi politik). Termasuk di dalamnya isu teorisme yang kini dikemas dalam isu ISIS.
Masalah internal umat yang pertama adalah degradasi tauhid (ubudiyatul khaliq) yang bergeser ke hedonisme (ubudiyatul makhluq). ”Tauhid terwujud dalam rasa cinta, takut, dan harap hanya kepada Allah SWT. Namun kini tauhid cenderung bergeser kepada rasa cinta, takut, dan harap kepada makhluk atau dunia,” jelas Abdul Wahid.
Untuk itu, imbuhnya, masjid harus mengenalkan, menanamkan, dan menyegarkan tauhid bagi jamaahnya.
Merujuk kepada Ibnul Qayyim, umat Islam saat ini mengalami ”sakit” berupa kedangkalan pemahaman (marodhu syubhat) dan penurutan hawa nafsu (marodhu syahwat).
Untuk mengobatinya, diperlukan tarbiyah (pendidikan) yang komprehensif yang berbasis masjid, pesantren, dan kampus. Selain itu, masjid harus menggemakan amar ma’ruf nahi munkar guna menanggulangi gerakan-gerakan syahwat merdeka seperti free-sex, narkoba, dan ”sipilis” (sekulerisme, pluralisme, liberalisme).
Penyakit umat yang ketiga adalah superiorisme (ghurur). Yakni merasa benar padahal salah, kuat padahal lemah atau bodoh. Berikutnya adalah penyakit terbaratkan (westernalized), yang melanda kalangan intelektual dan tokoh-tokoh Muslim yang fikrahnya menggunakan western-frame of thought. Mereka itulah yang kemudian mengkampanyekan paham ”sipilis”.
Pemakalah kedua adalah Ustadz Misbach Malim yang memaparkan materi Misi Penyelamatan Generasi Muda. Ia mengatakan, masjid harus berbenah diri agar semakin menarik bagi jamaah kalangan remaja dan anak muda.
”Selama ini pada umumnya masjid hanya fokus pada jamaah kanak-kanak dan tua. Kini saatnya juga berfokus pada generasi muda untuk menyelamatkan mereka dan masa depan bangsa,” tandas Ketua Bidang Pemberdayaan Daerah Dewan Da’wah itu.
Berdasarkan uraian pemateri, fasilitator Ustadz Avid Solihin kemudian mengajak peserta workshop untuk memetakan profil masjid masing-masing dengan pendekatan teori SWOT atau kekepan (kekuatan, kelemahan, peluang, ancaman). Hasilnya menjadi dasar untuk merumuskan program-program pemberdayaan masjid.
Laporan: zuhdi babur/nurbowo
(azm/arrahmah.com)