Istilah jihad, barangkali satu di antara ajaran Islam yang paling ditakuti sekaligus disalahpahami oleh musuh-musuh Islam. Bahkan tidak jarang direkayasa, menjadi proyek Islamophobia untuk kepentingan politik kekuasaan.
(Arrahmah.com) – AL-JIHAD, dalam bahasa Arab memiliki makna bahasa dan makna syar’i. Secara bahasa, jihad bermakna mengerahkan segala kemampuan dan tenaga, baik dengan perkataan maupun perbuatan. Sementara dalam pengertian syar’i, umumnya para fukaha mendefinisikan jihad sebagai upaya memerangi orang-orang kafir untuk membela agama Allah. (Fayruz Abadi, Kamus Al-Muhith)
Pengertian inilah yang dipahami oleh para ulama berdasarkan dalil Al-Qur’an dan Hadits, termasuk yang dipahami oleh ulama-ulama mazhab Hanafi, Maliki, Syafi’i, Hambali, seperti yang dituturkan dalam kitab Al-Mughniy, karya Ibn Qudamah.
Namun di Indonesia, BNPT (Badan Nasional Penanggulangan Terorisme) memaknai jihad menurut versinya sendiri yang tidak dikenal dalam khazanah Islam. BNPT menganggap jihad sebagai sumber kekerasan, dengan memasukkannya sebagai ciri kaum radikal, yang kemudian mengundang kontroversi karena tidak memiliki dasar hukum.
Menurut BNPT, ada empat kriteria radikal, termasuk sebuah situs web media dinilai radikal, yakni: 1. Ingin melakukan perubahan dengan cepat menggunakan kekerasan atas nama agama 2. Takfiri; mengkafirkan orang lain 3. Mendukung, menyebarkan, dan mengajak bergabung dengan ISIS/IS 4. Memaknai jihad secara terbatas.
Bangsa Indonesia tidak perlu terikat dengan kriteria yang tidak sesuai dengan konstitusi. Bukan hak BNPT untuk membuat ketentuan hukum, apalagi kriteria yang bersifat anarkis, anti Islam, dan diskriminatif. Kriteria radikal yang dibuat BNPT menggunakan parameter komunisme yang membenci ajaran agama, seperti iman, hijrah, jihad, khilafah, termasuk bendera yang bertuliskan kalimat tauhid. Sebab, menurut mereka, semua itu diasumsikan sebagai ajaran radikal ISIS.
Mujahid Muda Berjihad
Bagi para mujahid, baik yang berjihad di Afghanistan melawan tentara komunis Uni Soviet, maupun yang berjihad di Irak melawan agresi militer Amerika. Dan para mujahid yang berjuang untuk menumbangkan kekuasaan rezim Syi’ah di Suriah, memandang jihad bagai wisata rohani, jalan menuju pendakian spiritual, untuk menegakkan keadilan dan membebaskan masyarakat dari kezaliman.
Para mujahid yang syahid di medan jihad, sesungguhnya tetap hidup dan amalnya lestari hingga hari kiamat. Bahkan ruhnya pun terbang dan hinggap di pohon-pohon surga. Hal itu diterangkan dalam Al-Qur’anul Karim:
“Wahai kaum Mukmin, sekali-kali kalian jangan beranggapan bahwa para mujahid yang terbunuh ketika membela Islam itu mati. Mereka itu hidup di sisi Tuhan mereka, dan selalu memperoleh rahmat.” (Q.s. Ali Imran [3]:168-169)
Spirit jihad yang termaktub dalam ayat di atas, itulah yang memotivasi para mujahid di seluruh dunia untuk berjihad melawan musuh-musuh Islam di Suriah, Yaman, Somalia, Afghanistan, Irak, Kashmir. Mereka rela menyabung nyawa demi membebaskan manusia dari penindasan, sebagai wujud solidaritas iman dan jihad untuk kaum muslimin di manapun berada, ketika negara-negara di dunia bungkam membiarkan kemungkaran.
Keadaan mereka seperti firman Allah Swt, “Orang-orang yang mengutamakan pahala akhirat daripada kehidupan dunia, hendaklah mereka berperang untuk membela Islam. Siapa saja yang berperang untuk membela Islam, baik ia terbunuh atau menang, Kami akan memberikan pahala yang sangat besar kepadanya di akhirat.
Wahai kaum mukmin, mengapa kalian tidak mau berperang untuk membela Islam? Padahal kaum laki-laki, perempuan dan anak-anak yang tertindas telah berdoa: “Wahai Tuhan kami, keluarkanlah kami dari negeri yang penduduknya berbuat zalim. Berikanlah kepada kami seorang penolong dari sisi-Mu. Berikanlah kepada kami seorang pembela dari sisi-Mu.” (Q.s. An-Nisa’ [4]: 75-76)
Motivasi ini pula yang menguatkan misi Majelis Mujahidin untuk mengirim para pemuda pemberani sebagai relawan kemanusiaan, seperti Ridwan dan kawan-kawannya, untuk membantu mengurangi derita saudara muslim yang ditindas penguasa Basyar Asad di Suriah.
Sang mujahid muda, Ridwan Abdul Hayyie, nama lengkap yang diberikan orang tuanya, adalah putra ke enam dari 11 bersaudara buah pernikahan antara Fihiruddin Muqthi bin Awwas dan Herlina alias Hj. Fatimah Zahrah binti H. Mukeri.
Pada 1984 kedua orangtuanya merantau ke Malaysia, dan memilih tinggal di Banting, Selangor Darul Ehsan, Malaysia. Selama di Malaysia, bekerja sebagai guru ngaji dan pendakwah. Di kota inilah Ridwan, yang lahir pada 16 Juni 1993, menghabiskan masa kanak-kanak bersama orang tua dan saudara-saudaranya, yaitu Muhammad Jibril, Ahmad Israfil, Zahratul Ulya, Mikail Abdurrahman, Wardatul Lathifah, Muhammad Rakib, Ahmad Atid, dan Shalahuddin.
Pada usia 6 tahun Ridwan kecil masuk Madrasah Ibtidaiyyah, kelas 1 sampai 3 di Sekolah Islam Luqmanul Hakiem (SILH), Ulu Tiram, Johor Bahru. Ketika SILH ditutup oleh Kerajaan Malaysia pada 2002 karena alasan keamanan, Ridwan diterima di kelas 4 sampai pertengahan kelas 6 di Sekolah Agama Banting, Selangor, Malaysia.
Ketika situasi politik di Indonesia berubah, dari masa represif ke masa reformasi, maka tahun 2005, Ummi Fatimah memboyong anak-anaknya kembali ke Indonesia. Semua proses kepulangannya, dengan membawa serta semua putra-putrinya, dilakukan sendiri. Karena kala itu, suaminya Fihiruddin alias Moh. Iqbal yang lebih dikenal dengan panggilan Abu Muhammad Jibriel Abdul Rahman—karena putra pertamanya bernama Muhammad Jibriel—ditangkap aparat keamanan Malaysia 21 Juni 2001, ketika hendak menyampaikan ceramah pengajian di Shah Alam, Selangor. Ia dituduh melakukan kegiatan yang membahayakan keamanan dalam negeri Malaysia karena aktif dalam kelompok Mujahidin Malaysia, yang ditengarai terkait Jama’ah Islamiyah (JI).
Abu Muhammad Jibriel, mubalig Islam kelahiran Lombok Timur, Nusa Tenggara Barat, 17 Agustus 1957 sempat ditahan berdasarkan Akta Keamanan Dalam Negeri Internal Security Act (ISA) Malaysia di Penjara Kemunting, Perak. Tuduhan itu ternyata tidak terbukti dan akhirnya ia dibebaskan pada 18 Agustus 2003, namun kembali ditahan pihak imigrasi Damansara tiga hari kemudian. Ia ditahan di Depo Tahanan Aji di negara bagian Trengganu 27 September 2003 dan akhirnya dideportasi ke Indonesia. Belakangan, setelah di deportasi, melalui peradilan in absentia (pemeriksaan suatu perkara tanpa kehadiran terdakwa) pemerintah Malaysia merehabilitasi nama baik Mohammad Iqbal alias Abu Muhammad Jibriel karena tidak terbukti terlibat dalam kasus yang dituduhkan.
Di Indonesia, sejak 14 Mei 2004 Abu Jibril ditahan, dan kemudian disidang dalam kasus pelanggaran imigrasi. Dia dianggap bersalah karena memberikan identitas palsu saat membuat paspor di Kantor Imigrasi KBRI Kuala Lumpur pada November 1999. Ia dinyatakan bersalah melanggar Pasal 55 huruf c UU No. 9/1992 tentang keimigrasian.
Pada 19 Oktober 2004, Pengadilan Negeri Jakarta Pusat menjatuhkan hukuman lima bulan lima belas hari penjara, dipotong masa tahanan. Abu Jibril sendiri tetap beranggapan dirinya tidak bersalah, semua tuduhan itu hanya rekayasa, dan melalui kuasa hukumnya menolak penetapan hukuman tersebut.
Dalam situasi penuh ujian, Ridwan ke Indonesia saat berumur 9 tahun, kemudian menyelesaikan SD kelas 6 di SDIT As-Salamah Pamulang, Tangerang Selatan, dengan prestasi memuaskan. Selanjutnya ia diterima menjadi siswa Madrasah Tsaniwiyah (MTs) di Pondok Pesantren Islam Al-Mukmin Ngruki selama 3 tahun. Kemudian masuk Aliyah di Ma’had Tahfizhul Qur’an Isy Karima, Karanganyar selama 4 tahun (Takhassus 1 tahun, Aliyah 3 tahun hingga hafidz Al-Qur’an 30 Juz).
Sejak kelas 4 SD, Ridwan sudah menyukai olah raga, terutama sepak bola, karena itu fisiknya kuat dan pemberani. Makanan kesukaannya perkedel dan minum susu. Saat masih bayi, hanya 4 bulan dia minum ASI, setelah itu Umminya tidak lagi mengeluarkan ASI.
Ridwan, pemuda yang memiliki jiwa sosial sejak kecil, suka bantu Umminya, tanpa disuruh. “Setiap malam Ummi diminta istirahat tak usah kerja, yang nyuci piring, cuci pakaian, semuanya Ridwan. Pagi-pagi Ummi bangun, rumah sudah bersih,” kenang Umminya.
Pendidikan karakter yang ditanamkan orang tuanya, nampaknya berpengaruh besar pada diri Ridwan. Ayahnya, Abu Muhammad Jibriel, alumni Sekolah Tinggi Perkebunan (STIPER) Jogjakarta, pernah menempuh pendidikan “Tarbiyah Jihadiyah” di Akademi Jihad (Al-Jamiah Al-Harbiyyah Al-Ittihad Al-Islamiyyah) di perbatasan Pakistan dan Afghanistan, 1986, dengan dosen utama Dr. Abdullah Azzam. Juga mengikuti kuliah mulazamah di Universitas Ummul Qura, Makkah, di bawah bimbingan antara lain Syekh Muhammad Quthub dan Syekh Sayyid Sabiq. Ia bertutur, dalam keluarganya ada empat hal yang selalu ditekankan dalam mendidik anak-anaknya.
“Ayah saya seorang petani sederhana, punya putra-putri 12 orang. Di masa kecil, setiap selesai makan malam bersama, kami diberi nasihat. Selain menekankan pentingnya ibadah dan belajar agama, beliau menasihatkan 4 hal yang selalu diulang-ulang. Yaitu, jujur, berani, makan yang halal, dan tidak merokok,” demikian Abu Jibriel menerangkan pendidikan karakter orang tuanya, yang juga diterapkan pada anak-anaknya.
Usai menamatkan pelajaran tahfizh Al-Qur’an di ‘Isy Karima, Ridwan mengikuti program pengabdian masyarakat, menjadi Imam masjid dan guru ngaji di Masjid Al-Falah, Darul Muttaqin Pekanbaru selama hampir setahun. Imam masjid dan guru ngaji di Masjid Raya Ar-Rasul Kotagede, Yogyakarta. Kemudian sebagai guru ngaji di Parung selama beberapa waktu, dan Imam Tarawih Ramadhan 1433-35 H (2012-2014) di Masjid Al-Munawwarah, Pamulang.
Pada Agustus 2013, Ridwan melanjutkan studi S1 di Fakultas Ushuluddin, Perguruan Tinggi Ilmu Al-Qur’an (PTIQ) Jakarta hingga semester 2. Kemudian, pada 2014, ia minta cuti 2 semester menjadi relawan kemanusiaan Majelis Mujahidin ke Suriah. Sebagai mahasiswa, Ridwan suka mengendarai motor besar. Dan yang paling mengesankan, kata Umminya, “Jika berangkat kuliah, Ridwan selalu pakai parfum yang wanginya tercium seisi rumah. Lalu dia peluk dan cium kening Ummi dengan rasa sayang dan hormat.”
Ridwan Abdul Hayyie, yang dikenal oleh teman di masa sekolahnya sebagai pribadi yang baik, sopan, enerjik, dan humoris, gemar sepak bola, menjemput maut di usia muda, 22 tahun, tepatnya 21 tahun 9 bulan.
“Ridwan Abdul Hayyie, murah senyum, humoris, suka bergaul, dan selalu yang pertama mengajak teman asramanya untuk bermain bola hampir setiap hari. Dia adalah seorang hafiz bersuara merdu nan tampan, tegas, dan tidak pilih-pilih orang dalam berteman. Namun dari itu semua, sifat yang tergambar jelas dalam dirinya, dia seorang yang pemberani,” kenang teman sekelasnya di Isy Karima yang ditulis pada Fb-nya.
Pada Kamis Jumadil Akhir 1436 H bertepatan dengan 26 Maret 2015 M, ba’da Fajr waktu setempat, Ridwan gugur sebagai syahid di medan jihad, terkena serpihan peluru akibat tembakan tank saat bertempur melawan tentara Basyar Asad di kota Idlib, bumi Syam yang diberkahi.
Suratan takdir Ilahi selalu datang tepat sasaran, tepat waktu, dan tak pernah salah alamat. Kematian itu misteri, datang tak diundang pergi pun tak pamitan. Khalifah Abu Bakar Ash-Shiddiq r.a. berkata: “Ihrish ‘alal mauti, tuuhab lakal hayat,” songsonglah kematian niscaya ‘kan kau dapatkan kehidupan.
Perjalanan ke Suriah
Tragedi kemanusiaan yang menimpa rakyat Suriah, disebut-sebut merupakan konflik terpanjang dan paling mematikan dalam gerakan masyarakat sipil melawan penguasa zhalim yang mulai meluas di dunia Arab sejak tahun 2011.
Semenjak itu, negeri Suriah terus terkoyak. Siapa pun yang menyaksikan tragedi yang menimpa kaum muslimin Sunni di sana pasti takkan kuasa menahan air matanya. Menyaksikan kekejaman tentara Basyar Asad, anak-anak mati bergelimpangan akibat menghirup gas beracun mematikan dari bom senjata kimia, sungguh memilukan. Sebagian besar korban itu adalah wanita dan anak-anak. Mayat-mayat mereka digeletakkan di lantai sebuah ruangan klinik. Wajah anak-anak yang polos dan tanpa dosa itu diam tak bernyawa. Sama sekali tidak ada luka-luka pada tubuh anak-anak itu, yang membuktikan bahwa mereka mati akibat senjata kimia berupa gas beracun.
Kini, perang antara rakyat muslim melawan rezim Syi’ah di Suriah telah memasuki tahun kelima. Kondisi para pengungsi perang Suriah semakin memilukan. Sedikitnya 4,5 juta warga Suriah melarikan diri ke luar negeri. Sekitar satu juta di antaranya, adalah pengungsi anak-anak. Mereka menyelamatkan diri dan minta perlindungan ke Yordania, Lebanon, Turki dan Irak.
Jumlah korban tewas akibat konflik Suriah setidaknya mencapai 150.344 jiwa. Data yang dilansir Syrian Observatory for Human Rights, jumlah sesungguhnya bisa sekitar 220.000. Sejak Juli 2013, perhitungan korban dihentikan, karena tidak memungkinkan untuk estimasi akurat di lapangan.
Kenyataan tragis inilah yang mendorong umat Islam di berbagai belahan dunia bersimpati, dan ingin membantu saudaranya yang menderita. Tak cukup hanya linangan air mata dan doa. Maka, ketika percikan api jihad membakar dan berkobar di bumi Syam, Maret 2011, Majelis Mujahidin bersiap mengirim relawan jihad sesuai misinya, “membantu setiap perjuangan penegakan syariat Islam oleh kaum muslimin di belahan bumi lain dengan segenap kemampuan yang dimiliki.”
Menjelang akhir bulan Juli 2014, barulah Majelis Mujahidin mengirim relawan jihad pertama ke Suriah. Sebulan kemudian menyusul pemberangkatan relawan berikutnya. Ridwan Abdul Hayyie termasuk kloter pertama yang diberangkatkan.
Perjalanan menuju medan jihad, tak sekadar pengorbanan fisik dan dana, tapi juga mental dan spiritual. Dari Indonesia, transit Malaysia hingga Istanbul, Turki, negeri yang terkenal dengan satu negara seribu rasa, perjalanan lancar tanpa kendala.
Kondisi mulai mendebarkan, setelah menunggu hampir 17 jam di Bandar Udara Ataturk Istanbul, Turki, Pada pukul 23.15, para wisatawan jihad ini berangkat ke perbatasan Turki-Suriah dengan pesawat Turkish Air, turun di bandara Hatay. Menjelang Subuh, baru sampai di rumah transit.
Istirahat sehari, dan ba’da Ashar berangkat menuju perbatasan, di sini istirahat semalam, dan besok waktu Subuh siap-siap melewati perjalanan paling menegangkan, menyeberangi perbatasan Turki-Suriah yang dibatasi kawat berduri dan dijaga tentara patroli.
Memasuki wilayah Suriah, mulai dari Provinsi Aleppo, Idlib, Darkus, Lattakiya, Homs, Deir el Zur, seperti berada di wilayah tak bertuan, yang berlaku hukum perang. Sepi penghuni, setiap saat bom meledak, tembakan peluru siap memangsa siapa saja. Sehingga perjalanan dua jam dari perbatasan melewati ladang gandum dan pohon zaitun yang luas terbentang, bagai perjalanan menuju maut.
Waktu terasa cepat berlalu, bulan Ramadhan tiba. “Subhanallah, tak terasa sudah hampir 1 bulan raga dan jiwa ini menapakkan kaki di Bumi Syam, bumi yang diberkahi. Inilah pertama kali kita menjalankan ibadah Ramadhan di bumi jihad,” kata seorang ikhwan yang seakan teringat perjalanan yang penuh liku dan berbahaya.
Ridwan membuka catatan perjalanannya, dalam buku harian yang dikirimkan ke saudaranya di tanah air melalui melalui WhatsApp: “Keadaan di sini, sungguh bertolak belakang dengan keadaan di negeri kita. Jauh dari keamanan, kenyamanan, ketenteraman. Hari demi hari dikejutkan dengan dentuman-dentuman bom,” tulisnya.
Suara desingan-desingan peluru yang mengusik telinga. Cuaca dingin dan panas yang menyelimuti malam dan siang hari. Akan tetapi, sama sekali tidak pernah bisa merubah sedikitpun keinginan dan semangat jihad dari dalam jiwa raga ini.
Mujahid muda ini, kembali menguntai kata, pada 28 Ramadhan 1435 H, 27 Juli 2014. “Wallahi! Wahai saudaraku di Tanah Air. Kehidupan yang sesungguhnya, nikmat tiada tara, adalah kehidupan yang diberkahi oleh-Nya, insya Allah, sudah dirasakan oleh saudara kalian di Bumi Jihad Syam ini.
Wahai Saudaraku di Tanah Air! Tanamkanlah terus dalam jiwa-jiwa kalian, keinginan untuk melangkahkan kaki ke Bumi Jihad mana pun. Niatkanlah tujuan mulia itu dari saat ini. Kemudian berdoalah… Allah tidak akan menyia-nyiakan tujuan mulia kalian.
Wahai Saudaraku di Tanah Air! Di hari terakhir Ramadhan yang mulia ini, yang mana doa-doa di ijabah. Sempatkanlah untuk mendoakan para Mujahidin di mana pun mereka berada. Doakan kaum Muslimin yang tertindas di mana pun mereka berada. Jangan pernah melupakan mereka.
Wahai Saudaraku, dengan segala kehinaan dan rendah hati diri ini, Taqabbalallahu Minnaa Wa Minkum, Shiyaamanaa Wa Shiyaamakum… hanya itu yang bisa terucap lewat lisan yang lemah ini. Hasbunallahu wa Ni’mal Wakiil… Ni’mal Mawlaa wa Ni’man Nashiir… Laa Hawla wa Laa Quwwata Illa Billah.”
Catatan itu tertanggal 28 Ramadhan 1435 H, 27 Juli 2014. Di hari-hari selanjutnya, Ridwan agaknya terkenang dengan kebiasaan Ibnu Umar, putra Khalifah Umar bin Khatthab, yang setiap kali pergi meninggalkan keluarganya, ia selalu meninggalkan wasiat dan menuliskannya.
Begitulah, ia menuliskan wasiatnya yang mengharukan, seakan dia merasakan hari kematiannya sudah dekat. Wasiat itu ditulis jauh sebelum hari kematiannya, pada 30 Agustus 2014, 06.23 A.M.
“Manusia tak lepas dari salah dan khilaf. Apalagi hamba yang hina seperti saya. Dengan penuh kerendahan hati, mohon ikhlaskan segala kesalahan yang mungkin pernah saya lakukan, yang sengaja ataupun tidak. Manusia juga tidak lepas dengan hutang, tidak semua manusia, sebagian, termasuk saya, mungkin ada yang masih saya hutangi, berapa pun, apapun, hubungi saya segera,” tulisnya di note ponsel yang diamanahkan ke rekannya agar disampaikan ke keluarga jika dia gugur syahid.
Walau bergelut dengan maut, di tengah masyarakat perang yang tertindas, hutang pada saudara kandungnya sendiri pun tak dilupakan. Dia teringat, “Aku kayaknya masih punya hutang sama Kak Ulya, 500 ribu, beli Z10, terus pinjam Bang Mikaiel buat beli tiket kereta ke Solo, tapi lupa berapa. Kak Wardah juga, pinjam 100 ribu… hehe… kalau yang lain, aku minta langsung dikasih, hahaha… Sekiranya ada yang ragu-ragu, dihutangi ataukah tidak, bagusnya diikhlaskan saja, biar sama enak, dan semoga berkah pinjamannya, dan diganti Allah dengan yang lebih baik.”
Ridwan mengakhiri wasiatnya, “Saya mohon doa, agar saya dipermudah langkahnya, kapan pun dan di mana pun, dalam menerima amanah Ilahi, untuk meninggikan kalimat-Nya, berjihad di Bumi Syam.”
Ia pun tak lupa mengingatkan adik-adiknya, “Atied dan Udin, supaya membantu Abah sama Umminya. Bang Mikaiel juga hehe… cuci piring, sapu rumah, cuci baju, jemur baju, ambil jemuran, dan lain-lain. Kasian Ummi… hehe…” katanya mengingatkan saudaranya dengan pekerjaan rumah yang biasa dia lakukan ketika berada di rumahnya di Pamulang.
“Semoga Allah masih bisa mempertemukan kita kembali, dalam kebahagiaan dan kesehatan, Insya Allah… Amin. Doa saya juga beserta kalian. Wassalamu ‘alaikum warahmatullahi wabarakaatuh.”
Berita Syahid
Di zaman ini banyak manusia sibuk dengan perdagangan dunia, berjual beli memperkaya diri. Mengumpulkan bekal dunia sekian banyak, namun masih saja hatinya enggan berbagi dan tergadai dengan kebakhilan. Inginkah kita di hari akhirat kelak, datang menghadap Ilahi dengan tangan hampa, tanpa amal shalih?
Namun, Ridwan melakukan perdagangan dengan Allah Yang Maha Pemurah, dan telah dibuktikannya dengan benar dan menakjubkan.
“Sungguh Allah membeli jiwa dan harta orang-orang mukmin dengan pahala surga. Mereka telah berperang guna membela Islam, lalu mereka membunuh atau dibunuh. Janji pahala surga ini termaktub dalam Taurat, Injil, dan Al-Qur’an. Wahai kaum mukmin, siapa saja di antara kalian yang memenuhi janjinya kepada Allah, bergembiralah kalian dengan baiat yang telah kalian lakukan dalam perjanjian itu. Demikian itu adalah keberuntungan yang amat besar bagi para syuhada.” (QTT, At-Taubah [9]:111)
Kedermawanan sosial dengan memberikan harta pada yang membutuhkan adalah perbuatan terhormat. Tapi kedermawanan dengan kerelaan mengorbankan nyawa untuk kepentingan kemanusiaan dan melawan kezaliman merupakan puncak kedermawanan.
Hari itu, Kamis 26 Maret 2015 sore, Abu Jibriel mengumpulkan keluarganya dan menyampaikan isi SMS dari Suriah. “Bergembiralah wahai istriku, dan anak-anakku tersayang. Kabar gembira ananda tersayang Ridwan Abdul Hayyie telah syahid kemarin dalam perang di Idlib,” katanya.
Lalu, ia pun berkata pasrah, “Aku rela serahkan nyawa putraku di jalan Allah, dan aku akan melakukannya hingga putra yang terakhir.”
Memang benar, seseorang yang digerakkan hati dan perbuatannya dengan iman takkan mudah ditaklukkan. Tidak akan takut apapun jua, selain Allah SWT.
Ternyata SMS itu datang dari relawan Mujahidin, yang sudah lebih lama berada di medan jihad Suriah, Abul-Khair namanya. Dia mahasiswa Universitas Negeri Jakarta (UNJ), sama-sama cuti kuliah untuk berwisata ke medan jihad. Di hari pertempuran melawan tentara Basyar Asad, Abul-Khair berada di dekat Ridwan, berkisah tentang dahsyatnya pertempuran serta kondisi jenazah Ridwan.
Pertempuran hari itu untuk merebut jantung Kota Idlib. Serangan dilancarkan dari tiga sisi. Dari selatan dan barat daya pasukan Jabhah An-Nushrah, di mana Ridwan ada di dalamnya merangsek masuk. Sementara dari arah utara dan barat laut pasukan Jundul Aqsa yang menyerbu. Serangan dari sisi timur sepenuhnya oleh Ahrar Syam, hingga tentara rezim Syi’ah mundur meninggalkan pertempuran.
Sedangkan jalan penghubung dari kota Idlib menuju kota Ariha dijaga oleh gabungan faksi-faksi lain untuk memutus jalur bantuan musuh dan dari upaya mereka melarikan diri. Serangan dibuka oleh tembakan para sniper.
“Relawan Majelis Mujahidin ikut operasi gabungan, sekalipun tidak menjadi anggota dari salah satu front mujahidin Suriah. Kami bersama dengan front Muhajirin wal Anshar, gabungan dari para mujahid asing,” tulis Abul Khair.
“Beberapa hari sebelum kami berangkat ke daerah pertempuran, Ana tidur di samping akhi Ridwan, dia sering sekali bicara ingin segera bertemu bidadari surga. Alhamdulillah, saat bertempur kami tak merasakan datangnya sakaratul maut. Benarlah sabda Nabi Saw, mati syahid itu seperti gigitan semut. Aku saksikan syahidnya Abu Omar—nama panggilan Ridwan—indah sekali, kami cemburu.
Tubuhnya masih utuh, kepalanya yang terkena peluru tank hancur seketika, hanya rambut bagian belakang kepala yang tersisa sedikit. Memang rezekinya, padahal Abu Omar bersama teman lainnya bagian isnad, berada di belakang tim penyerang, membantu jika tim iqtiham perlu bantuan.
Mobilnya hancur, sudah tidak bisa lagi diperbaiki. Di antara kami ada yang sempat ambil video, dan kami temukan Hp-nya di saku celana, di bawa ke ma’rakah. Tubuhnya agak kaku, karena dari pagi sampai malam belum dikebumikan. Tapi, jenazahnya tidak berbau, Subhanallah biar pun banyak darah keluar, berbeda dengan jenazah yang lain terkadang ada bau amis. Tapi Abu Omar tidak tercium amis darah seperti yang lainnya. Insya Allah Abu Oar syahid, Amin ya Allah.”
Ketika berita Ridwan telah syahid di medan jihad sampai ke keluarganya, seakan tak percaya. Sambil berlinang air mata, Ummi Hajjah Fatimah Zahrah, bergumam lirih dan mengeluarkan kata-kata yang menggetarkan jiwa, yang mungkin tak banyak ibu-ibu di dunia ini yang mampu mengucapkannya.
Ia tahu, tak boleh meratapi kepergian anaknya, sekalipun tak mampu menutupi kepedihan hati seorang ibu yang ditinggal mati anaknya. Maka Ummi hanya mampu berucap pasrah, dengan keteguhan jiwa ia berkata:
“Ya Allah, Engkau Maha Mengetahui dan Maha Melihat. Aku berbahagia, dari rahimku telah lahir seorang mujahid. Anakku Ridwan telah syahid, aku sedih tapi juga bahagia. Tapi aku masih punya 7 orang anak lelaki, aku takkan kikir bila Engkau menghendakinya juga syahid di medan jihad.”
Rasa getir tiada terkira, mengingat tak berapa lama sebelumnya, Ridwan kirim SMS pada Umminya. “Haruskah Ridwan pulang sekarang Ummi?” tanyanya. “Anakku, engkau yang lebih tahu keadaan di situ. Ummi relakan putusan terbaik mana saja yang kau pilih,” jawab Umminya. Ternyata, Ridwan Abdul Hayyie ‘memilih’ pulang ke Rahmatullah. Innalillahi wa inna ilaihi raji’un.
Keberangkatan Ridwan Abdul Hayyie bersama teman-temannya sebagai relawan kemanusiaan. Lalu, mengapa ikut bertempur di medang perang? Tak banyak yang menyadari, bahwa relawan kemanusiaan di wilayah perang, tentu berbeda dengan relawan di wilayah yang tertimpa bencana alam.
Mereka bukan sekadar membantu secara materi, tetapi juga membantu menjaga jiwa, harta dan kehormatan korban perang. Jika relawan kemanusiaan di wilayah perang membawa senjata dan ikut berperang, hal itu dilakukan untuk membela diri, harta dan kehormatan dari serangan para perusak agama. Berbeda dengan relawan kemanusiaan di wilayah bencana alam, cukuplah membawa cangkul dan sekop.
Oleh karena itu, mereka yang belum mampu menjadi relawan di medan perang, janganlah sibuk mencari-cari kesalahan para relawan dengan tuduhan radikal. Apalagi berhalusinasi tentang bahaya yang akan datang sepulang mereka nanti, jauh panggang dari api.
Orang yang pantas mendapatkan kehormatan adalah mereka yang rela mengorbankan jiwa untuk kepentingan agama. Sehingga pantaslah Rasulullah Saw memberi kehormatan pada orang-orang yang syahid di medan jihad dengan sabdanya:
“Orang yang mati syahid mempunyai 7 karunia di sisi Allah, yaitu: Ia diampuni pada waktu tetesan darah yang pertama, ia dapat melihat kedudukannya di Surga, ia dihiasi dengan pakaian keimanan, ia dijodohkan dengan 72 istri dari bidadari yang cantik jelita, ia dilindungi dari azab kubur dan diamankan dari rasa takut yang paling besar dan dipakaikan pada kepalanya mahkota kehormatan, satu mutiara darinya lebih baik daripada dunia dan dari apa yang ada di dalamnya serta ia dapat memberikan syafaat kepada 70 orang dari ahli keluarganya.” (Ahmad bin Hanbal dalam Musnadnya, At-Turmudzi, Ibnu Majah dari Al-Miqdam bin Ma’dikarib RA dan Kanzul-Ummal, Juz IV/ 11132) []
———————–
Makalah ini dikutip ulang dari Majalah Risalah Mujahidin edisi 36.
Sumber: http://risalahmujahidin.com/risalah-mujahidin-edisi-36-wisata-jihad-mujahid-muda-indonesia/
(*/arrahmah.com)