(Arrahmah.com) – Pariwisata selalu lekat dengan bisnis hiburan. Mulai dari hiburan pantai hingga seks. Seolah tak terbantahkan bahwa industri pariwasta tidak akan laku jika tidak dipasarkan dengan seks dan minuman keras. Ini dapat dipahami karena selama ini target wisatawan yang diincar adalah wisatawan mancanegara. Dan mereka adalah masyarakat yang lekat dengan dua hal tadi. Maka jika industri wisata tidak menyedian itu, maka bisa dipastikan tidak akan laku. Di sisi lain, pengusaha juga tidak akan membiarkan peluang bisnis itu disia siakan begitu saja. Karena prinsip bisnis adalah prinsip demand and supply artinya ada permintaan maka pasti ada penawaran.
Indonesia menjadikan bidang pariwisata sebagai salah satu pemasukan negara. Dengan memanfaatkan potensi keindahan alam, baik yang alami maupun buatan, serta keragaman budaya yang ada, dunia pariwisata dikembangkan. Namun, di sisi lain pariwisata ini juga mempunyai dampak negatif kepada negara, khususnya masyarakat setempat. Dampak itu terlihat melalui invasi budaya di dalam negara, khususnya masyarakat yang hidup di sekitar obyek wisata.
Seks dan miras seolah menjadi menu wajib bagi pariwisata, dan naifnya juga pemerintah melegalkan peredaran miras pada tempat tempat khusus terutama untuk miras golongan C yang legal beredar di hotel hotel. Padahal efek miras bukan hanya dirasakan saat itu saja, akan tetapi berkepanjangan menimbulkan ketergantungan. Jika seseorang dipapar secara lama oleh miras maka akan menuntut pemenuan meski tidak di hotel. Kita bisa melihat bagimana miras seolah menjadi minuman biasa bagi masyarakat meski itu dilarang. Dan tak jarang menimbulkan masalah turunan akibat miras.
Memang pemerintah provinsi NTB telah mencanangkan wisata halal sejak tahun 2015. Tetapi hanya sebatas pengaturan destinasi dan industri pariwisata yang menyiapkan fasilitas produk, pelayanan dan pegelolaan pariwisata yang memenuhi unsur syariah (Pergub NTB No. 15/2015 Pasal 1 ayat 9 ). Sementara yang dimaksud memenuhi unsur syariah adalah hanya sebatas penyediaan fasilitas ibadah yang layak dan suci ( pasal 5 ayat 1a) dan fasilitas penunjang seperti mushollah, tempat wudhu dan urinoir yang terpisal laki dan perempuan ( pasal 3 a, b,c ).
Itu pun belum menyentuh masalah pokok yang rawan dalam pariwisata. Yakni seks dan minuman keras. Jumlah kasus penderita HIV/AIDS meningkat setiap tahunnya. Tahun 2015 sebanyak 638 kasus dan pada tahun 2015 sebanyak 713 kasus, menurut ketua pengelola Monev KPA Propinsi NTB. Maka kita bisa melihat kondisi NTB dari tahun ke tahun semakin memperihatinkan. Belum lagi jika kita melihat tingginya perang kampung di Bima selalu bermula dari Miras. Dan hampir disetiap kota dan kabuaten di NTB akses terhadap miras begitu mudah.
Apalagi dengan ditetapkannya Bali, NTB, NTT sebagai gerbang pariwisata indonesia Timur sejak 2014. akan semakin membuat nama ketiga daerah tersebut melambung dalam sektor pariwisata. Sejak saat itulah bermunculan cottage cottage dipinngir pantai yang dikelola swasta asing. Seperti di Pantai Pink di Kabupaten Bima. Juga di Pantai Lakey yang menjadi spot bagus bagi turis mancanegara untuk menjajal ombak besar melebihi Bali.
Memang bagi pemerintah sektor yang paling mudah untuk dijual adalah keindahan alamnya, bahkan dengan harus menyerahkan pengelolaaaanya kepada asing. Bahkan lebih dari itu, pulau pun akan di serahkan kepada asing. Tanpa melihat dampak buruknya.
Selain itu, bagi wisatawan asing akan enggan masuk ke Indonesia jika diatur cara pakaiannya mengkuti pola pakaian warga lokal. Maka kita bisa melihat dengan mudah wisatawan asing memakai pakaian terbuka seolah mereka di negara sendiri. Bahkan tak jarang mereka mengenakan bikini meski berada di terminal bandara. Berpelukan dan berciuman. Maka Kita tidak bisa bayangkan bagaimana jika mereka di lokasi pantai. Terlebih lagi para guide lokal akan mengikuti gaya turis luar negeri baik dari cara berpakan maupun kebiasaannya selama mendampingi mereka. Jadilah proses duplilasi budaya yang sempurna kepada penduduk lokal. Selain juga dari Tv dan internet mereka juga bisa belajar budaya barat yang liberal.
Bagi turis turis tajir meraka akan tinggal di hotel dengan pelayanan minuman keras dan pelacur yang mungkin ‘agak bersih’. Tetapi bagi para backpacker mereka akan memenuhi kebiasaan mabuk dan melacurnya di tempat tempat ala kadarnya. Bahkan tak jarang menyewa pelacur pelacur lokal berharga murah. Dan budaya sampah inilah yang mereka tularkan dan ajarkan kepada warga lokal tanpa mereka menggurui.
Sebuah cara yang paling terselubung untuk secara massive dan rapi untuk mendegradasi budaya dan aqidah islam di NTB, untuk mengikis paham paham ‘radikal’ dalam diri umat islam dengan cara yang menyenangkan. Sebagaimana media ungkap selama ini NTB, secara khusus Bima adalah pengekspor bibit teroris di Indonesia.
Pariwisata dalam Islam
Dalam islam juga mengatur pariwisata agar sesuai syariat Islam secara kaafah. Akan menghilangkan keburukan keburukan yang biasa menemani pariwisata dalam kapitalisme. Bagaimana tidak hilang keburukan itu sementara dalam masyarakat secara umum keburukan itu juga dihilangkan. Miras, prostitusi, pengelolaan pulau kepada asing, bkini, dan lainnya dilarang dalam wisata islam. Para pelanggarnya akan di hukum sebagaiman hukuman islam yang berlaku.
Bagi wisatawan asing maka berlaku hukum hukum publik dalam khilafah. Wajib bagi mereka menutup aurat, tidak ikhtilat, tidak khalwat, tidak mabuk dan tidak berzina. Karena wisata dalam islam adalah untuk mengagumi kebesaran penciptaan alam semesta dan itu bernilai ibadah. Dan itulah makna hakiki kebagahagiaan seorang hamba.
Menurut KH. Hafidz Abdurrahman, prinsip dakwah mengharuskan Khilafah untuk tidak membiarkan terbukanya pintu kemaksiatan di dalam negara. Termasuk melalui sektor pariwisata ini. Obyek yang dijadikan tempat wisata ini, bisa berupa potensi keindahan alam, yang nota bene bersifat natural dan anugerah dari Allah SWT, seperti keindahan pantai, alam pegunungan, air terjun dan sebagainya. Bisa juga berupa peninggalan bersejarah dari peradaban Islam. Obyek wisata seperti ini bisa dipertahankan, dan dijadikan sebagai sarana untuk menanamkan pemahaman Islam kepada wisatawan yang mengunjungi tempat-tempat tersebut.
Ketika melihat dan menikmati keindahan alam, misalnya, yang harus ditanamkan adalah kesadaran akan Kemahabesaran Allah, Dzat yang menciptakannya. Sedangkan ketika melihat peninggalan bersejarah dari peradaban Islam, yang harus ditanamkan adalah kehebatan Islam dan umatnya yang mampu menghasilkan produk madaniah yang luar biasa. Obyek-obyek ini bisa digunakan untuk mempertebal keyakinan wisatawan yang melihat dan mengunjunginya akan keagungan Islam.
Dengan begitu itu, maka bagi wisatawan Muslim, obyek-obyek wisata ini justru bisa digunakan untuk mengokohkan keyakinan mereka kepada Allah, Islam dan peradabannya. Sementara bagi wisatawan non-Muslim, baik Kafir Mu’ahad maupun Kafir Musta’man, obyek-obyek ini bisa digunakan sebagai sarana untuk menanamkan keyakinan mereka pada Kemahabesaran Allah. Di sisi lain, juga bisa digunakan sebagai sarana untuk menunjukkan kepada mereka akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat Islam dan peradabannya.
Karena itu, obyek wisata ini bisa menjadi sarana dakwah dan di’ayah (propaganda). Menjadi sarana dakwah, karena manusia, baik Muslim maupun non-Muslim, biasanya akan tunduk dan takjub ketika menyaksikan keindahan alam. Pada titik itulah, potensi yang diberikan oleh Allah ini bisa digunakan untuk menumbuhkan keimanan pada Dzat yang menciptakannya, bagi yang sebelumnya belum beriman. Sedangkan bagi yang sudah beriman, ini bisa digunakan untuk mengokohkan keimanannya. Di sinilah, proses dakwah itu bisa dilakukan dengan memanfaatkan obyek wisata tersebut.
Menjadi sarana propaganda (di’ayah), karena dengan menyaksikan langsung peninggalan bersejarah dari peradaban Islam itu, siapapun yang sebelumnya tidak yakin akan keagungan dan kemuliaan Islam, umat dan peradabannya akhirnya bisa diyakinkan, dan menjadi yakin. Demikian juga bagi umat Islam yang sebelumnya telah mempunyai keyakinan, namun belum menyaksikan langsung bukti-bukti keagungan dan kemuliaan tersebut, maka dengan menyaksikannya langsung, mereka semakin yakin.
Meski bidang pariwisata, dengan kriteria dan ketentuan sebagaimana yang telah disebutkan di atas tetap dipertahankan, tetapi tetap harus dicatat, walaupun bisa menjadi salah satu sumber devisa, tetapi ini tidak akan dijadikan sebagai sumber perekonomian Negara Khilafah. Selain karena tujuan utama dipertahankannya bidang ini adalah sebagai sarana dakwah dan propaganda, Negara Khilafah juga mempunyai sumber perekonomian yang bersifat tetap.
Abu Ali Al Bimawi ( HTI Bima )
(*/arrahmah.com)