SAN’A (Arrahmah.com) – Dari perbatasan Saudi-Yaman hingga Somalia yang tak berhukum dan gurun pasir Afrika utara-tengah, militer AS lebih terlibat dalam konflik bersenjata di dunia Muslim daripada yang diakui secara terbuka pemerintah AS, menurut kabel yang dirilis oleh website WikiLeaks.
Pemerintah AS memiliki hubungan dengan rezim-rezim yang umumnya tidak dianggap sebagai sekutu dalam perang melawan terorisme, dan sementara bocoran kabel menunjukkan bahwa diplomat AS memperingatkan rezim-rezim itu untuk menghormati hukum perang, mereka juga menggarisbawahi bahaya menggunakan teknologi militer canggih di medan perang terpencil dan rumit dengan teman-teman yang terkadang licik.
Kabel-kabel yang dirilis minggu ini mengindikasikan bahwa AS:
– Menyediakan Arab dengan citra satelit untuk membantu mengarahkan serangan udara melawan pemberontak Syiah setelah serangan sebelumnya diklaim menimbulkan korban sipil.
– Berkolaborasi dengan pasukan Aljazair di tahun 2006 dan 2007 untuk menangkap militan yang diduga menuju Irak dan, yang paling baru, memperoleh izin untuk menerbangkan pesawat pengintai AS di wilayah udara Aljazair untuk memburu tersangka anggota Al Qaeda.
– Membunuh seorang pemimpin militan dalam serangan udara tahun 2008 di Somalia dan memenuhi permintaan pemerintah Somalia untuk menghabisi lebih banyak tersangka militan.
Para ahli mengatakan bahwa pengungkapan operasi rahasia Amerika di negara-negara Muslim bisa menjadi umpan bagi militan yang menuduh AS melakukan agresi terhadap kaum Muslim dan berpihak pada rezim otoriter dan tidak populer.
Pentagon belum mengakui perannya dalam pertempuran sporadis Arab Saudi melawan sebuah kelompok Syiah Yaman yang dikenal dengan nama Houthi.
Tapi sebuah kabel dari kedutaan AS di Riyadh mengatakan bahwa di bulan Februari, seorang petinggi pertahanan Saudi meminta kepada AS peta satelit dari perbatasannya dengan Yaman untuk membantu angkatan udara Saudi mengenai para pemberontak, dan duta besar AS James B. Smith setuju.
Serangan udara Saudi sebelumnya mengenai sebuah klinik media, sementara satu bom lainnya berbalik arah ketika para pilot mengetahui bahwa target yang dipilih oleh pemerintah Yaman ternyata bukan lokasi pemberontak melainkan markas lawan politik Presiden Yaman, Ali Abdullah Saleh.
Serangan-serangan itu dilakukan tanpa tingkat ketepatan yang diinginkan, ujar pejabat Saudi, Pangeran Khaled bin Sultan. Ketika Smith memproduksi sebuah citra satelit dari klinik yang rusak akibat bom itu, bin Sultan mengatakan bahwa angkatan udaranya membutuhkan pesawat yang lebih canggih.
“Jika kami memiliki Predator, mungkin kami tidak akan memiliki masalah ini,” ujarnya, merujuk pada sebuah pesawat drone yang digunakan luar oleh AS dalam sejumlah serangan terhadap tersangka di Pakistan dan tempat lainnya. (sm/arrahmah.com)