JAKARTA (Arrahmah.com) – Setelah beberapa waktu lalu membocorkan dokumen terkait menteri-menteri SBY, Wikileaks kembali membocorkan sejumlah dokumen rahasia Amerika Serikat yang terkait dengan Indonesia. Dalam bocoran kali ini, Wikileaks memaparkan tentang ‘hubungan’ antara polisi dengan ormas Front Pembela Islam (FPI).
Dokumen tersebut mengklaim bahwa FPI pada awalnya berniat dijadikan ‘attack dog’ Polri. “Yahya Asagaf, seorang pejabat senior BIN mengatakan, Sutanto yang saat itu menjadi Kapolri menganggap FPI bermanfaat sebagai ‘attack dog’,” ungkap telegram rahasia yang dipublikasikan oleh Wikileaks itu.
Ketika pejabat kedutaan AS menanyakan ‘pemanfaatan’ FPI yang dianggap memainkan peran ‘attack dog’ tersebut Polri beralasan bahwa meskipun polisi sudah cukup menakutkan bagi masyarakat, Yahya menjelaskan bahwa FPI digunakan sebagai ‘alat’ agar polisi tidak menerima kritik terkait pelanggaran Hak Asasi Manusia.
Disebutkan juga bahwa mendanai FPI sudah menjadi ‘tradisi’ di lingkungan Polri dan BIN. Salah satu donatur dari lembaga Polri adalah mantan Kapolri yang kini menjadi Kepala BIN, Jenderal (Purn) Sutanto sebagai salah satu tokoh yang pernah menjadi donatur FPI.
Masih dari dokumen yang sama diungkapkan bahwa pendanaan dari Sutanto tersebut diberikan sebelum serangan yang dilakukan FPI ke Kedutaan Besar Amerika Serikat di Jakarta, Februari 2006 silam.
Terkait serangan ke Kedutaan Besar Amerika, seorang pejabat senior di Badan Intelijen Negara (BIN), Yahya Asagaf, memiliki “kedekatan yang cukup” dengan sejumlah tokoh di FPI. Karena itulah ia kemudian bisa memberi peringatakan kepada pejabat Kedubes AS di Jakarta, bahwa Kedubes AS akan diserang oleh FPI pada 19 Februari 2006 silam, dikarenakan pemuatan kartun Nabi Muhammad di sebuah media di AS.
Setelah serangan terjadi Sutanto menghentikan aliran dananya setelah serangan terjadi. Kawat diplomatik yang dipublikasikan Wikileaks juga mengatakan bahwa FPI mendapatkan sebagian besar dananya dari pejabat Polri lainnya, tetapi para donatur kemudian memotong dana setelah serangan dilakukan.
Bocoran Wikileaks juga menglaim bahwa mantan Kapolda Metro Jaya, Komjen (purn) Nugroho Djajusman mempunyai ‘kedekatan’ dengan FPI. Nugroho telah mengakui hal tersebut kepada pejabat Kedubes AS.
“Tapi Nugroho membela diri dengan mengatakan bahwa suatu hal yang lumrah ia memiliki kontak dengan semua organisasi, termasuk FPI, karena posisinya saat itu sebagai Kapolda Metro Jaya,” ungkap Wikileaks.
Telegram ini kemudian membeberkan bagaimana Nugroho menggambarkan ‘kedekatan’ tersebut, dengan mengklaim bahwa Jenderal Sutanto saat menjadi Kapolri, kekurangan koneksi yang diperlukan dengan FPI. Dan saat terjadi demonstrasi disertai aksi kekerasan oleh massa FPI, Sutanto terpaksa harus menelepon dan meminta bantuan Nugroho sebagai tokoh yang dihormati di lingkungan FPI.
“Nugroho kemudian mengatakan kepada pejabat Kedutaan AS bahwa dia kemudian menelepon Ketua FPI, Habib Rizieq, dan mengatur penyerahan diri tiga orang anggota FPI, yang mengatur kekerasan di depan Kedubes AS,” ungkap bocoran kawat diplomatik tersebut.
Sementara itu pada telegram terbaru di akhir 2006 yang dibocorkan oleh Wikileaks, disebutkan bahwa Yenny Wahid, putri mantan Presiden Abdurahman Wahid (Gus Dur), mengatakan bahwa para pensiunan jenderal yang selama ini membantu dan mendanai FPI, termasuk mantan Kapolda Metro Jaya Nugroho Djajusman, tak mampu mengontrol kelompok tersebut.
Dokumen tersebut mengklaim bahwa para donatur FPI itu telah “menciptakan monster” lantaran ormas yang mereka danai ternyata menjadi independen dan tidak merasa terikat dan tidak bisa seenaknya disetir oleh para donatur mereka.
“Walaupun siapa saja yang memiliki uang dapat menyewa FPI untuk kepentingan politik, namun tidak ada seorang pun di luar FPI bisa mengontrol Habib Rizieq yang kini menjadi bos bagi dirinya sendiri,” klaim bocoran telegram rahasia tersebut.
Jika benar pemberitaan dokumen tersebut, sepertinya, niat awal menjadikan FPI sebagai Attack Dog sepertinya telah gagal total! Pasalnya sumbangan-sumbangan yang dialirkan ke FPI tak mampu membuat FPI tunduk dan nurut pada sang donatur. FPI dinilai independen dan tak tergiur dengan iming-iming uang sumbangan dalam menjalankan kegiatan dan operasi mereka. Hal ini sudah cukup menjadi bukti bahwa FPI bukanlah salah satu organisasi yang bisa dibeli. Tetapi ormas yang menjadikan Islam sebagai standar kegiatan organisasi bukan uang!
Tapi apapun itu, terlepas dari benar atau tidaknya dokumen tersebut sebagai kaum Muslim kita harus tetap mewaspadai setiap berita yang datangnya dari orang kafir. Karena bisa jadi pemberitaan tersebut hanya merupakan ‘serangan opini’ bagi FPI yang dikenal tegas dalam mengamalkan amar ma’ruf nahi mungkar. Wallohua’lam. (tbn/arrahmah.com)