Weekly Report – Kondisi rakyat Indonesia yang serba sulit nampaknya tidak menyurutkan niat pemerintah untuk menaikan harga bahan bakar minyak (BBM). Kecaman pihak oposisi ataupun isu penurunan rezim, hingga saat ini belum merubah niatan tersebut. Bahkan, penolakan terhadap rencana kenaikan BBM dari salah satu partai anggota koalisi pemerintah, tetap tidak diperdulikan.
Sejumlah alasan argumentatif dikemukakan pemerintah, untuk memuluskan jalannya rencana kenaikan BBM. Meskipun kebijakan tersebut menurut Ustadz Muhammad Al Khaththath membingungkan masyarakat.
“Dahulu pemerintah memberikan subsidi kepada masyarakat yang dikatakan ‘tidak mampu’, sekarang subsidi tersebut dicabut, maka akan membebani masyarakat yang tidak mampu tersebut sekaligus yang mampu, ini kan namanya membingungkan,” kata Ustadz Muhammad Al Khaththath.
Anehnya, pemerintah dengan berani mengatakan bahwa kebijakan tersebut tidak merugikan masyarakat, karena subsidi yang ditarik akan dialihkan kepada masyarakat pula dalam bentuk yang lain. Namun Jubir HTI membantahnya, justru tindakan pemerintah mengantisipasi kebijakan tersebut dengan memberikan bantuan langsung kepada masyarakat merupakan bukti adanya persoalan yang akan timbul.
“Kalau tidak membenani mengapa rakyat protes, menggerutu, dan mengapa pemerintah memberi BLT dan sumbangan pendidikan? Kalau tidak salah itu ada 4 paket bantuan. Itu semua diberikan, karena pemerintah sadar betul, kenaikan BBM membebani rakyat. Jangan dibalik seperti itu,” kata Ismail.
Ironisnya, sasaran bantuan yang akan diberikan oleh pemerintah belum tepat sasaran, menurut analisa beliau, rakyat yang akan diberikan bantuan hanyalah mereka yang masuk dalam kategori garis kemiskinan yang dibuat oleh Bappenas. Sementara, banyak yang di ambang batas yang tidak masuk dalam kategori dan sasaran penerimaan bantuan, baik bantuan pendidikan, BLT, dan lain sebagainya yang sangat menderita.
“Mereka kondisinya kaya bukan, dianggap miskin tidak oleh pemerintah. Kalau kita percaya garis yang ditetapkan oleh world bank itu ada sekitar 109 juta, jika dikurangi 39 juta sekitar ada 70 juta yang tidak mendapat subsidi,” papar Ismail.
Jika pembatasan BBM ini terjadi, dampaknya akan sangat memberatkan masyarakat kecil. Pasalnya, memberikan subsidi bagi rakyat sebenarnya merupakan kewajiban negara dalam menjalankan fungsinya. Selain itu, jika dicermati dalam APBN yang memberatkan adalah cicilan bunga hutang kepada asing bukan subsidi BBM.
“Data telah menunjukkan, bahwa APBN kita disedot bukan oleh subsidi, tetapi oleh pembayaran bunga dan cicilan hutang luar negeri sekitar 250 triliyun tahun ini. Itu yang banyak. Jadi kalau APBN kita itu 1400 triliyun, itu untuk subsidi sekitar 60 triliyun,” ujar Ismail Yusanto.
Selain itu, dalam hal ini pemerintah juga sering beralasan bahwa pembatasan subsidi BBM merupakan langkah untuk menghemat keuangan negara, sehingga pada 2011 dapat menghemat 3,8 triliun. Argumen ini juga tak sesuai fakta. Banyak pos-pos anggaran pada APBN digunakan hanya untuk foya-foya anggota dewan bukan untuk rakyat.
Lalu kalau memang untuk menghemat kenapa tidak memangkas pembangunan gedung DPR, mobil dinas, (plus adanya mark-up anggaran) dan kenapa habiskan uang untuk pelesiran? Karena itu, jelas bagi kita bahwa pemerintah kini tidak berkorban untuk rakyat, tapi justru rakyat yang dikorbankan.
Lalu argumen pemerintah yang katanya mengkonsumsi BBM adalah hanya orang-orang kaya bermobil. Argumen ini juga tidak tepat, sebab masyarakat kecil adalah yang paling besar terkena dampak kenaikan BBM. Masyarakat kecil adalah pengguna BBM terbesar, yaitu 54%. Sisanya dari listrik, batubara dan gas alam. Selain itu, BBM juga digunakan untuk rumah tangga dan transportasi. Ini yang paling terkena dampak. Maka efek multipliernya atau berantai semua kebutuhan pokok akan naik.
Sementara itu, Ustadz Rahmat Kurnia dengan tegas mengatakan bahwa kebijakan tersebut merupakan aksi B-Z-K (Bohong-Zholim-Khianat) yang dilakukan pemerintah.
Pertama, menurutnya kebohongan dilakukan pemerintah karena hanya mengatakan bahwa adanya kenaikan harga pengeluaran produksi akibat naiknya harga minyak mentah dunia senilai 120 dollar per barel.
“Karena hitung-hitungan Kwik Gian Gie masih untung Rp 32 triliyun dan menurut hitung-hitungan Indonesia bangkit masih surplus Rp 14 triliyun, sedangkan pemerintah mengatakan merugi, dan inilah kebohongan,” kata Rahmat Kurnia.
Kedua, tambah Rahmat, minyak pada dasarnya merupakan hak rakyat, namun yang terjadi pemerintah tidak memberikannya kepada rakyat.
“Hak rakyat tidak diberikan, ini adalah kezaliman,” ujarnya.
Lebih dari itu, jika melihat hasil survey Lembaga Survey Indonesia (LSI) pada bulan ini, 94% mayarakat pedesaan menolak kenaikan BBM, 77% masyarakat perkotaan menolak kenaikan BBM, dan 85% seluruh rakyat Indonesia menolak kenaikan BBM pula.
“Ternyata, hanya satu yang mendukung kenaikan BBM, yaitu Lembaga Pemeringkat Luar Negeri. Ternyata pemerintah lebih pro kepada asing dan mengabaikan suara rakyat yang mayoritas, ini adalah sebuah pengkhianatan,” teriak Rahmat.
Adanya upaya memaksakan rencana kenaikan BBM tersebut, menurut amir bi niyabah Jama’ah Anshorut Tauhid (JAT) karena ada upaya mensetting situasi chaos untuk menjadikan alasan menghancurkan kelompok-kelompok yang bersaing.
“Nampaknya ada skenario yang dipaksakan kelompok-kelompok lain sehingga nanti mengalami collaps, sehingga menjadi alasan untuk menghancurkan kelompok-kelompok yang bersaing ini, saya dengar juga ada skenario begitu,” kata Ustadz M. Achwan.
Pengalihan Isu
Panasnya suasana menjelang kenaikan harga BBM, dihiruk-pikuki oleh beberapa peristiwa yang tidak biasa. Dari mulai isu rok mini di DPR RI yang ditrigeri oleh politisi demokrat, penyerangan terhadap dakwah ketua Umum FPI Habib Rizieq Syihab, bom Semarang yang di luar dari kebiasaan baik modus, motif dan tersangkanya, serta penembakan terhadap 5 orang yang dituduh teroris.
Tanpa ba-bi-bu, Ansyad Mbai dengan lugas langsung menyebut mereka sebagai anggota teroris dan menyeret-nyeret JAT sebagai pihak yang dianggap terkait dengan korban penembakan Densus 88 itu. Alhasil, putra pendiri JAT ustadz Abdurrohim menenggarai Ansyad Mbai memiliki dendam terhadap ayahnya (Ustadz Abu Bakar Ba’asyir) dan jama’ah yang didirikan oleh ayahnya tersebut.
“Ya itu biasa, Ansyaad Mbai itu memiliki dendam yang mendalam pada ustadz Abu Bakar Ba’asyir dan JAT, entah apa yang membuatnya seperti itu, hingga tidak ada kejadian apapun kecuali pasti dikait-kaitkan dengan JAT, kata Ustad Abdur Rohim Ba’asyir.
Beliau pun tak segan menyebut Ansyad sebagai orang yang bodoh dan kurang kerjaan, karena melihat sikapnya itu.
“Lihat saja apakah BNPT berhasil mereduksi perkembangan pemikiran yang mereka sebut radikal? Sama sekali tidak, karena langkah yang ditempuh itu salah dan berangkat dari fitnah memfitnah hingga tidak membuahkan hasil yang baik. Jadi negara hanya buang uang membiayai si tua bodoh seperti si Ansyad ini,” pungkasnya.
Lebih-lebih, ternyata Polda Bali membenarkan bahwa 5 orang yang tertembak di Jimbaran bukanlah pelaku terorisme, melainkan pelaku perampokan murni yang menjadi DPO kepolisian.
Kabid Humas Polda Bali Kombes Hariadi menegaskan, “kelima orang yang tewas ditembak datang ke Bali bukanlah teroris. Melainkan murni perampokan,” dikutip liputan6.
Entah, apakah peristiwa-peristiwa tersebut memang direkayasa untuk tujuan politis mengalihkan isu kenaikan harga BBM atau memang peristiwa murni, pada faktanya masyarakat memang teralihkan perhatiannya kepada peristiwa-peristiwa tersebut.
Alhamdulillah, Allah tidak mengizinkan peristiwa-peristiwa tersebut berlama-lama di media massa, sehingga masyarakat dapat menyadari kembali pengkhianatan negara yang ingin menaikan harga BBM.
Liberalisasi Migas dalang Rencana kenaikan BBM
Liberalisasi ekonomi dan sektor tambang terjadi di Indonesia sejak pemerintahan Orde Baru. Dimulai ketika investor asing berdatangan untuk mengeksplorasi sumber daya alam (SDA) Indonesia dibantu agen-agen ekonomi Amerika yang biasa disebut “mafia berkeley”. Para investor dalam mengamankan investasinya di Indonesia, investor asing mengajukan beberapa persyaratan. Di antaranya regulasi beberapa kebijakan yang dilegalisasikan dalam Undang-undang (UU).
Akhirnya segala produk UU menjadi tidak pro-rakyat. Semua disesuaikan permintaan dan pesanan asing, serta asal menguntungkan pemerintah. Tapi, tidak peduli apakah kebijakan tersebut merugikan rakyatnya, hingga berbuntut bentrokan-bentrokan sosial di masyarakat. Undang-undang tersebut contohnya UU SDA, UU Migas, UU Penanaman Modal Asing, dan lainnya.
Pembatasan BBM bersubsidi sendiri merupakan buah kebijakan dari UU Migas No. 22 tahun 2001. UU tersebut sebagai landasan hukum pembaharuan dan penataan kembali usaha migas. Mengingat UU Prp. No.44 Tahun 1960 tentang Pertambangan Minyak dan Gas Bumi dan UU No.8/1971 tentang Perusahaan Pertambangan Minyak dan Gas Bumi tidak relevan.
Jika demikian, UU Migas No. 22 tahun 2001 adalah pangkal liberalisasi migas. Kebijakan itu dikuatkan oleh Perpres No. 5/2006 tentang Kebijakan Energi Nasioanl Pasal 3c. Selanjutnya kebijakan tersebut diimplementasikan dalam blue print Pengembangan Energi Nasional 2006-2005 Kementrian ESDM.
Pasal-pasal di atas menyebabkan negara hanya berperan sebagai regulator atau pembuat undang-undang. Investor asing yang dulu hanya di hulu (eksplorasi) kini bisa di hilir dengan membuka SPBU asing. Keberadaan negara sebagai pemilik dan pengelolah migas pun dikebiri.
UU Migas juga menjadikan seluruh kegiatan usaha migas baik hulu maupun hilir semata berdasarkan pada mekanisme pasar. Selain pasal di atas ternyata pasal-pasal lain akan menjadikan harga BBM sama dengan harga pasar dan sangat menguntungkan asing. Inilah bukti diadopsinya demokrasi liberal dan ekonomi kapitalisme.
UU Migas No. 22 tahun 2001 bukanlah kebijakan murni pemerintah tetapi ada tekanan asing yang hadir di dalamnya. Dimana pemerintah ber”kongsi” dengan IMF dan PBB. Hal ini semakin tampak misalkan dari pengakuan John Perkins dalam bukunya The Confession of Economic Hitman (Pengakuan Tukang Pukul Ekonomi) yang ditugasi USAID untuk menuntut Indonesia meregulasi privatisasi bagi asing untuk menguasai minyak. Padahal, Indonesia sebenarnya mampu untuk mengelola migasnya secara mandiri, jika pemerintah serius mengatur urusan rakyatnya.
Atau, pengakuan seorang aktivis Anti Perang Naomi Klein, dalam bukunya The Shock Doctrine The Rise of Disaster Kapitalism yang menceritakan bagaimana kapitalisme memanfaatkan kondisi psikologis suatu negara yang sedang panik, akibat krisis, bencana alam, ataupun pergantian kekuasaan yang genting untuk mendesak pemerintah tersebut menerima resep-resep ekonomi dari lembaga-lembaga donor dunia.
Sederhananya, ketika suatu negara dalam keadaan panik dan terkejut oleh suatu masalah besar, secara psikologis negara tersebut akan tergesa-gesa menerima bantuan yang diajukan tanpa terlalu mengambil pusing syarat-syarat yang diberikan.
Indonesia sepertinya mengalami pula hal tersebut, ketika reformasi bergulir pemerintah dengan mudah menerima resep ekonomi Washingthon Consensus yang meliberalisasi perekonomian kita.
Saatnya beralih ke sistem Islam
Carut marutnya perekonomian negara sangat erat terkait dengan sistem ekonomi dan politik yang dianut dan diadopsi oleh suatu negara. Karena pemerintah Indonesia menganut sistem ekonomi pasar (kapitalisme), maka perekonomian di Indonesia sangat rawan krisis. Kapitalisme berdiri di atas mekanisme spekulatif dan ekonomi ribawi sehingga sangat mereduksi sektor ril. Padahal, sektor ril yang mampu membuat bertahan suatu negara dari terpaan krisis.
Pemerintah perlu mengambil pelajaran dari situasi ini, pemerintah harus berani beralih kepada sistem ekonomi Islam yang sangat manusiawi, dan mengatur distribusi ekomoni degan adil dan merata. Serta meninggalkan kebusukan demokrasi yang syirik kepada Syari’ah Islam yang berpijak kepada tauhid.
Sistem ekonomi Islam, sangat jauh berbeda dengan kapitalis yang memberikan bahkan menjamin kebebasan individu dalam mengelola semua sektor dalam kehidupan, dalam Nizham Al Islam taqiyudin an Nabhani menerangkan bahwa sistem ekonomi Islam telah membagi kepemilikan menjadi tiga, yaitu yang pertama kepemilikan individu (al-milkiyah al-fardiyah) seperti : hasil kerja bekerja, warisan, hibah, hadiah. Kedua, kepemilikan umum (al-milkiyah al-‘âmmah) seperti : fasilitas umum, bahan tambang dan sumber daya alam yang sifat pembentukannya menghalangi untuk dimiliki individu, dan yang ketiga kepemilikan negara (al-milkiyah ad-dawlah) yaitu harta seluruh kaum muslimin, sementara pengelolaannya menjadi wewenang dan amanah negara, sehingga negara dapat memanfaatkannya untuk kepentingan rakyatnya.
Rasulullah saw bersabda:
الناس شُرَكَاءُ فِي ثَلَاثٍ فِي الْمَاءِ وَالْكَلَإِ وَالنَّارِ
“Manusia itu berserikat (bersama-sama memiliki) dalam tiga hal: air, padang rumput, dan api.” [HR Ahmad, Abu Dawud, An Nasaaiy, dll). Dalam hadits yang diriwayatkan Ibn Majah dari Ibnu Abbas ada tambahan, “dan harganya haram“:
المسلمون شركاء في ثلاث في الماء والكلأ و النار وثمنه حرام
“Kaum Muslim berserikat dalam tiga hal; air, padang rumput, dan api, dan harganya haram.” [HR. Imam Ibnu Majah]
Dalam hadistnya, Rasulullah saw menjelaskan bahwasanya tambang yang jumlahnya melimpah tidak boleh dialihkan kepemilikannya kepada individu atau swasta. Rasulullah saw pernah menarik kembali tambang garam yang diberikannya kepada Abyad bin Hamal, setelah beliau mengetahui jumlahnya melimpah ruah bagaikan air mengalir. Imam Abu Dawud menuturkan sebuah hadits dari Ibnu al-Mutawakkil bin ‘Abd al-Madaan, dari Abyad bin Hamal ra, bahwasanya ia berkata:
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى رَسُولِ اللَّهِ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ فَاسْتَقْطَعَهُ الْمِلْحَ قَالَ ابْنُ الْمُتَوَكِّلِ الَّذِي بِمَأْرِبَ فَقَطَعَهُ لَهُ فَلَمَّا أَنْ وَلَّى قَالَ رَجُلٌ مِنْ الْمَجْلِسِ أَتَدْرِي مَا قَطَعْتَ لَهُ إِنَّمَا قَطَعْتَ لَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ قَالَ فَانْتَزَعَ مِنْهُ
“Sesungguhnya, Abyad bin Hamal mendatangi Rasulullah saw, dan meminta beliau saw agar memberikan tambang garam kepadanya. Ibnu al-Mutawakkil berkata,”Yakni tambang garam yang ada di daerah Ma’rib.” Nabi saw pun memberikan tambang itu kepadanya. Ketika, Abyad bin Hamal ra telah pergi, ada seorang laki-laki yang ada di majelis itu berkata, “Tahukan Anda, apa yang telah Anda berikat kepadanya? Sesungguhnya, Anda telah memberikan kepadanya sesuatu yang seperti air mengalir (al-maa’ al-‘idd)”. Ibnu al-Mutawakkil berkata, “Lalu Rasulullah saw mencabut kembali pemberian tambang garam itu darinya (Abyad bin Hamal).” [HR. Imam Abu Dawud]
Imam Abu Dawud juga menuturkan sebuat riwayat dari Mohammad bin Yahya bin Qais al-Ma’rabiy dari Abyad bin Hammal ra, bahwasanya dia berkata;
أَنَّهُ وَفَدَ إِلَى النَّبِيِّ صَلَّى اللَّهُ عَلَيْهِ وَسَلَّمَ وَأَقْطَعَهُ الْمِلْحَ ، فَلَمَّا أَدْبَرَ ، قَالَ رَجُلٌ : يَا رَسُولَ اللَّهِ ، أَتَدْرِي مَا أَقْطَعْتَهُ ، إِنَّمَا أَقْطَعْتَهُ الْمَاءَ الْعِدَّ ، قَالَ : فَرَجَعَ فِيهِ
“Sesungguhnya Abyad bin Hammal ra berkunjung kepada Nabi saw, dan Rasulullah saw memberinya tambang garam. Ketika Abyad bin Hammal telah pergi, seorang laki-laki berkata, “Ya Rasulullah, tahukah Anda apa yang telah Anda berikan kepadanya? Sesungguhnya Anda telah memberinya sesuatu seperti air mengalir”. Abyad bin Hammal berkata, “Rasulullah saw menarik kembali pemberian itu”. [HR. Imam Abu Dawud]
Larangan tersebut tidak terbatas pada tambang garam saja. Mencakup secara umum, meliputi setiap barang tambang apa pun jenisnya tatkala jumlah (depositnya) sangat banyak atau tidak terbatas.
Penguasa dalam ancaman Allah
Sikap pemerintah yang menghalalkan segala cara untuk meloloskan rencana kenaikan BBM, termasuk dengan cara membohongi dan menipu rakyatnya, sudah pasti mendapat ancaman dari Allah subhanahu wa taala. Dalam sebuah hadist Rasulullah SAW bersabda;
وَعَنْ مَعْقِلِ بْنِ يَسَارٍ رضي الله عنه قَالَ سَمِعْتُ رَسُولَ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم يَقُولُ: مَا مِنْ عَبْدِ يَسْتَرْعِيهِ اَللَّهُ رَعِيَّةً يَمُوتُ يَوْمَ يَمُوتُ وَهُوَ غَاشٌّ لِرَعِيَّتِهِ إِلَّا حَرَّمَ اَللَّهُ عَلَيْهِ اَلْجَنَّةَ
Artinya: “Ma’qil Ibnu Yasar radhiyallahu ‘anhu berkata: Aku mendengar Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Seorang hamba yang diserahi Allah untuk memimpin rakyat lalu ia mati pada hari kematiannya ketika ia menipu rakyatnya Allah pasti akan mengharamkannya masuk surga.'”
Takhrij hadits: Diriwayatkan oleh imam al-Bukhari dalam kitab al-Ahkam juz 4 hal 235 dan diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab al-Iman juz 1 hal 88 (dikutip dari catatan kaki kitab Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam hal 606 hadits no. 1517)
وَعَنْ عَائِشَةَ رَضِيَ اَللَّهُ عَنْهَا قَالَتْ: قَالَ رَسُولُ اللَّهِ صلى الله عليه وسلم اَللَّهُمَّ مَنْ وَلِيَ مِنْ أَمْرِ أُمَّتِي شَيْئًا فَشَقَّ عَلَيْهِمْ فَاشْقُقْ عَلَيْهِ
Artinya: “‘Aisyah radhiyallahu ‘anha berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Ya Allah, barangsiapa menguasai salah satu urusan umatku lalu menyusahkan mereka maka berilah kesusahan padanya.'”
Takhrij hadits: Diriwayatkan oleh imam Muslim dalam kitab al-Imarah juz 6 hal 159 (dikutip dari catatan kaki kitab Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam hal 606 hadits no. 1518)
وَعَنْ أَبِي صِرْمَةَ رضي الله عنه قَالَ: قَالَ رَسُولُ اَللَّهِ صلى الله عليه وسلم مَنْ ضَارَّ مُسْلِمًا ضَارَّهُ اَللَّهُ وَمَنْ شَاقَّ مُسْلِمًا شَقَّ اَللَّهُ عَلَيْهِ
Artinya: “Abu Shirmah radliyallaahu ‘anhu berkata: Rasulullah shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda: ‘Barangsiapa menyengsarakan seorang muslim Allah akan menyengsarakan dirinya dan barangsiapa menyusahkan seorang muslim Allah akan menimpakan kesusahan kepadanya.'”
Takhrij hadits: Diriwayatkan oleh imam Abu Dawud dalam kitab al-Aqdhiyah juz 3 hal 315 dan diriwayatkan oleh imam at-Tirmidzi dalam kitab al-Birr juz 3 hal 223. Imam at-Tirmidzi menghasankan hadits ini (dikutip dari catatan kaki kitab Bulugh al-Maram Min Adillah al-Ahkam hal 610 hadits no. 1529).
Jika pemerintah memang mengaku sebagai Muslim, sudah seharusnya pemerintah takut akan ancaman Allah swt,dan segera bertaubat untuk beralih menerapkan Syari’at Islam dalam semua aspek kehidupan.
Meminta rakyat melawan
Sikap pemerintah yang enggan mendengarkan aspirasi umat Islam Indonesia, akan meninggalkan bom waktu, yang sewaktu-waktu meledak menjadi kekuatan massa rakyat (people power), karena masyarakat sudah lelah dengan pengkhianatan dan kebohongan yang terus dipertontonkan penguasa.
Bahkan syaikh Abdul Qodir bin Abdul Aziz menerangkan, bahwa pemerintahan yang tidak menerapkan hukum Allah serta melepaskan diri dari tanggung jawab umat dalam kekuasaanya sudah dikategorikan sebagai penguasa zholim dan sudah keluar dari Islam yang harus melakukan jihad terhadapnya.
Mereka itu kafir berdasarkan firman Allah: “Barang siapa yang tidak memutuskan menurut apa yang diturunkan Allah, maka mereka itu adalah orang-oang yang kafir. (QS. 5:44)
Dan juga firman Allah: “Kemudian orang-orang yang kafir mempersekutukan (sesuatu) dengan Rabb mereka. (QS. 6:1)
Dan berdasarkan ayat-ayat yang lain. Sedangkan kebanyakan mereka mangaku Islam, maka dengan demikian mereka murtad lantaran kekafiran mereka.
Dan pada hakekatnya para penguasa itu, selain mereka menjalankan hukum selain hukum yang diturunkan Allah, mereka juga membuat syari’at bagi manusia sesuai dengan kemauan mereka. Dengan demikian mereka mengangkat diri mereka sebagai arbab (tuhan-tuhan) bagi manusia selain Allah. Sebagaimana firman Allah: “Mereka menjadikan orang-orang alim dan rahib-rahib mereka sebagai rabb-rabb selain Allah,. (QS. 9:31)
Dengan demikian maka kekafiran mereka bertumpuk-tumpuk, selain mereka juga menghalang-halangi manusia dari jalan Allah.
Dan permasalahan ini telah saya jabarkan dalam risalah yang lain yang berjudul “Risalah Da’watut Tauhid”. Di buku itu saya jawab sanggahan-sanggahan yang terdapat pada seputar ayat dalam surat Al-Maidah, yang berbunyi: “Dan barang siapa yang tidak memutuskan perkara dengan apa yang diturunkan oleh Allah, maka mereka itu orang-orang kafir.”
Di sana saya terangkan bahwasanya ayat ini merupakan nash secara umum dipandang dari berbagai segi. Dan sesungguhnya kafir yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah kufur akbar. Dan apabila perkataan para sahabat jika saling berselisih dalam menafsirkan sebuah ayat, maka kita pilih yang dikuatkan oleh dalil dari Al-Qur’an dan As-Sunnah, sebagai mana hal itu ditetapkan dalam ushul fikih. Dan saya jelaskan pula, bahwa apa yang terjadi di kebanyakan negeri kaum muslimin sekarang ini sama dengan kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat tersebut, yaitu menghapus hukum syari’at serta membuat hukum baru yang dijadikan syari’at baru yang harus diikuti oleh manusia. Sebagai mana orang yahudi menghapus hukum taurot yang berupa merajam orang yang berzina, lalu mereka membuat hukum sebagai pengganti. Dan saya sebutkan dalam risalah tersebut bahwa kejadian yang menjadi sebab turunnya ayat itu secara qoth’ii masuk ke dalam pengertian ayat, sebagaimana yang ditetapkan dalam ushul fikih.
Dan inilah yang disinggung oleh Isma’il Al-Qodli sebagaimana yang dinukil oleh Ibnu Hajar: “Isma’il Al-Qodli mengatakan dalam kitab Ahkamul Qur’an, setelah ia menceritakan perselisihan pendapat tentang dzohinya ayat, ia menunjukkan bahwa barangsiapa melakukan sebagaimana yang mereka lakukan, dan membuat sebuah hukum yang menyelisihi hukum Allah, lalu hukum yang ia buat itu dia jadikan ajaran yang diamalkan, maka dia juga mendapatkan ancaman yang tersebut dalam ayat tersebut sebagaimana yang mereka dapatkan. Baik orang itu hakim atau yang lainnya.” (Fathul Bari XIII/120)
Maka semua orang yang ikut serta dalam membuat undang-undang positif itu atau memutuskan perkara dengan menggunakan hukum tersebut, maka ia kafir, kufur akbar, ia keluar dari agama Islam, meskipun dia melakukan rukun Islam yang lima dan amalan yang lainnya. Dan inilah yang ditetapkan oleh kebanyakan ulama’ mu’ashirin (masa sekarang), sebagaimana yang saya nukil dalam kitab ini (Al-Jami’) pada bab III dari Ahmad Syakir, Muhammad Hamid Al-Faqi dan Muhammad bin Ibrohim Alusy Syaikh.
Dan telah saya sebutkan dalam risalah tersebut di atas, siapa saja yang masuk dalam pengertian “Hakim” secara syar’i.
Dan setiap orang yang berperang membelanya ia turut keluar dari Islam sebagaimana penguasa itu.
Berdasarkan firman Allah: “Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka.” (Al-Maidah: 51)
Sedangkan kata “barangsiapa” dalam ayat ini adalah bentuk kata yang bersifat umum mencakup siapa saja yang berwala’ kepada orang kafir dan menolongnya baik dengan perkataan atau perbuatan. Syaikh Muhammad bin Abdul Wahhab dan yang lainnya mengatakan tentang hal-hal yang membatalkan Islam, (diantaranya adalah): “Menolong dan membantu orang-orang musyrik dalam menghadapi kaum muslimin, dan dalilnya adalah:
“Dan barangsiapa yang berwala’ kepada mereka, maka dia termasuk golongan mereka. Sesungguhnya Allah tidak memberi petunjuk kepada orang-orang yang dzolim.” (Al-Maidah: 51)
(Majmu’atut Tauhid tulisan Ibnu Taimiyah dan Muhammad bin Abdul Wahhab, hal. 38)
Maka orang-orang murtad itu dijihadi meskipun mereka mengucapkan dua kalimat syahadat dan menampakkan beberapa syi’ar Islam, karena mereka melakukan perbuatan yang membatalkan pokok agama Islam. Allah berfirman:
“Orang-orang yang beriman berperang di jalan Allah, dan orang-orang yang kafir berperang di jalan thaghut.” (QS. 4:76). –selesai–
Melihat situasi sekarang, memang revolusi merupakan keniscayaan. Tapi, jika pemerintah mau membatalkan kebijakan zholimnya dan mau menegakkan syari’at Islam, insya Allah perubahan tidak akan mengarah kepada kehancuran, akan tetapi perubahan menuju kebaikan, baldatun Thoyyibatun wa Rabbun Ghofur. Semoga!
Wallahu ‘alam bish showab
(bilal/arrahmah.com)