Pemberian gelar Asy Syahid kepada Imam Samudra, Amrozy, dan Mukhlas pasca eksekusi mereka pada Ahad, 9 November 2008 menuai pro dan kontra. Sebagian kaum Muslimin bisa memahami dan setuju gelar mulia tersebut disematkan kepada mereka. Namun sebagian yang lain tidak setuju, bahkan tidak memahami apa makna dan mengapa gelar tersebut diberikan kepada mereka. Untuk memperjelas masalah ini Arrahmah.com mewawancarai Ustdaz Abu Jibriel yang ikut menjadi saksi pemakaman Imam Samudra di Serang, Banten. Berikut hasil wawancara tersebut:
Arrahmah.com: Assalamu’alaikum.Wr.Wb! Ustadz, apa kabar ? Langsung saja Ustadz, apa batasan seseorang bisa menyandang gelar Asy Syahid ? Dan apakah pemberian gelar tersebut diperbolehkan dalam Islam ?
Ust. Abu Jibriel: Wa’alaikumussalam Wr.Wb. Alhamdulillah baik. Memang sebagian manusia meragukan kesyahidan KAFILAH SYUHADA’ trio mujahid dan mereka mengatakan bukan mujahidin bahkan mereka menuduh teroris. Maka harus dijelaskan kepada mereka tanpa keraguan, BAHWA MEREKA ADALAH PARA MUJAHID DAN KEMATIAN MEREKA ADALAH SYUHADA’, Insya Allah.
Mengapa? Karena memberikan gelar syuhada kepada para mukmin mujahid yang syahid di medan perang, adalah sunnah Rasulullah. Rasulullah saw telah memberikan titel Sayyidus syuhada (ketua para syuhada) kepada Hamzah bin Abdul Muthallib. Adapun kepada mereka bertiga, pantas mereka mendapat titel tersebut karena beberapa alasan:
Pertama: Manhaj hidupnya jelas, mengikuti Salafus shalih. Lalu mereka berdakwah dan berjihad di jalan Allah untuk tegaknya syari’ah Allah. Sejak berumur belasan tahun sehingga kesyahidan menemui mereka, tak kenal penat dan lelah apalagi berhenti, dan itu berarti mereka telah memenuhi firman Allah,
“Dan sembahlah Tuhanmu sampai datang kepadamu yang diyakini (ajal).” (QS. Al-Hajj 15:99)
Kedua: Prinsip hidup mereka juga terang, hanya ibadah kepada Allah dan menjauhi thoghut, sebagaimana firman Allah,
“Sembahlah Allah dan jauhilah thoghut.” (QS. An-Nahl 16:36).
Itulah prinsip hidup mereka sehingga syahid, tidak pernah berkompromi dengan pemerintah thoghut dalam dakwah dan jihad demi tegaknya syari’ah Allah.
Ketiga: Jalan hidup mereka, adalah: Iman-Hijrah-Jihad, ini menunjukkan mereka mengamalkan firman Allah,
“Sesungguhnya orang-orang yang beriman, orang-orang yang berhijrah dan berjihad di jalan Allah, mereka itu mengharapkan rahmat Allah, dan Allah Maha Pengampun lagi Maha Penyayang.” (QS. Al-Baqoroh 2:218)
Kemudian mereka menempuh perjalanan I’dad memenuhi firman Allah,
“Dan siapkanlah untuk menghadapi mereka kekuatan apa saja yang kamu sanggupi dan dari kuda-kuda yang ditambat untuk berperang (yang dengan persiapan itu) kamu menggentarkan musuh Allah dan musuhmu dan orang orang selain mereka yang kamu tidak mengetahuinya; sedang Allah mengetahuinya. apa saja yang kamu nafkahkan pada jalan Allah niscaya akan dibalasi dengan cukup kepadamu dan kamu tidak akan dianiaya (dirugikan).” (QS. Al-Anfal 8:60)
Keempat: Peperangan mereka dan target musuhnya juga jelas, yaitu kuffar harbi, baik yahudi, nasrani, musyrikin, dan siapa saja yang tidak beragama dengan agama yang benar (yaitu Dienul Islam). Itu berarti mereka mengamalkan firman Allah,
“Perangilah orang-orang yang tidak beriman kepada Allah dan tidak (pula) kepada hari Kemudian, dan mereka tidak mengharamkan apa yang diharamkan oleh Allah dan RasulNya dan tidak beragama dengan agama yang benar (agama Allah), (Yaitu orang-orang) yang diberikan Al-Kitab kepada mereka, sampai mereka membayar jizyah dengan patuh sedang mereka dalam Keadaan tunduk.” (QS. At-Taubah 9:29)
Kelima: Cita-cita hidup tertinggi mereka ialah meraih Syahid, dan ini insya Allah sudah pun tercapai, itu bermakna mereka mengamalkan firman Allah,
“Sesungguhnya Allah telah membeli dari orang-orang mukmin diri dan harta mereka dengan memberikan surga untuk mereka. mereka berperang pada jalan Allah; lalu mereka membunuh atau terbunuh. (Itu telah menjadi) janji yang benar dari Allah di dalam Taurat, Injil dan Al Quran. dan siapakah yang lebih menepati janjinya (selain) daripada Allah? Maka bergembiralah dengan jual beli yang telah kamu lakukan itu, dan Itulah kemenangan yang besar.” (QS. At-Taubah 9:111)
Dan tatkala kami bersama-sama di medan jihad, kami senantiasa mentelaah dan mendalami janji-janji dan pahala jihad dan mati syahid sebagai mana hadits berikut:
Miqdam Ibnu Ma’dikariba berkata, bahwasanya Rasulullah saw bersabda:
“Bagi orang yang syahid terdapat 6 hal yang akan diterimanya, yaitu: Pertama, Allah memberi ampunan ketika pertama kali bergerak dan akan melihat tempatnya di Jannah. Kedua, selamat dari siksa kubur. Ketiga, selamat dari goncangan hari kiamat. Keempat, akan diberikan kepadanya mahkota kebesaran yang terbuat dari permata Yaqut sebagai tanda kehormatan yang jauh lebih mahal daripada dunia seisinya. Kelima, akan dikawinkan dengan 72 bidadari bermata jeli. Dan keenam, dapat memberi syafa’at kepada 70 keluarganya.” (HR. Ahmad: 16553)
Keenam: Ketika mereka melakukan operasi jihad di Bali yang berakibat mereka ditangkap, diintrogasi kemudian diadili dan diputuskan hukuman mati, mereka menghadapinya dengan ikhlas, tenang, tabah, tidak emosi, gagah berani, tanpa menyerah dan lemah semagat kepada thoghut laknatullah, itu berarti mereka telah mengamalkan dan mengambil pelajaran dari firman Allah,
“Dan berapa banyaknya Nabi yang berperang bersama-sama mereka sejumlah besar dari pengikut (nya) yang bertakwa. mereka tidak menjadi lemah karena bencana yang menimpa mereka di jalan Allah, dan tidak lesu dan tidak (pula) menyerah (kepada musuh). Allah menyukai orang-orang yang sabar.” (QS. Ali-Imran 3:146)
Ketujuh: Bagi orang-orang yang mati syahid mempunyai tanda-tanda yang dapat disaksikan oleh orang yang hidup. Kebiasaan yang terjadi di medan jihad Afghanistan misalnya, ialah:
a. Ada aroma wangi jenazah para syuhada’.
b. Jenazahnya hangat dan tidak kaku, meskipun sudah beberapa jam telah wafat.
c. Darah kadang-kadang masih menetes dari lukanya, dan masih segar.
d. Senyuman manis dan wajah ceria seakan-akan sedang tidur biasa.
e. Burung-burung berwarna hijau kelam pekat menari-nari dan berputar-putar di atas jenazah.
Semua tanda-tanda itu terdapat paska syahidnya mereka bertiga, dan di samping hal tersebut terlihat kesabaran, keberanian, ketaqwaan dan tawakkal mereka, kerinduan mereka kepada syahid dapat disaksikan melalui ungkapan-ungkapan dan jawaban-jawaban di pengadilan dan selama berada di penjara thoghut.
Hidup mereka sibuk dengan dakwah meskipun di dalam penjara. Para nara pidana, para sipir mendapat keberkahan dengan dakwah mereka. Keteguhan iman dan kesabaran mereka bagaikan karang ditepi lautan, tidak bergerak meskipun diterpa oleh ombak dan badai.
Mereka telah dizalimi selama 6 tahun di penjara, waktu sebanyak itu mereka gunakan untuk beribadah, berzikir, bertaubat kepada Allah swt, dan sedikitpun dari waktu mereka tidak tersisa untuk taqarrub kepada Allah terutama menjelang eksekusi. Dengan demikian tidak ada keraguan bahwa mereka adalah kafilah syuhada, insya Allah.
Arrahmah.com : Jadi, harus ada proses atau amal jihad terlebih dahulu ? Makna jihad yang syar’i yang bagaimana Ustadz ? Apakah Imam Samudra, Amrozy, dan Mukhlas sudah menjalani jihad ?
Ust. Abu Jibriel: Memang demikian, karena syahid yang paling tinggi adalah mati di dalam jihad fie sabilillah di medan perang. Para ulama membagi mati syahid kepada tiga bagian.
Pertama: Syahid dunia akhirat, yaitu orang yang mati karena jihad untuk meninggikan kalimah Allah dengan ikhlas semata-mata mencari ridha Allah dan tidak dicampuri dengan niat-niat selainnya.
Kedua: Syahid dunia saja, yaitu orang yang berperang (dan terbunuh) karena mencari ghanimah, atau karena riya’, atau karena kenifakan, yang seperti ini tidak mendapatkan pahala, namun tetap diperlakukan atasnya hukum-hukum yang lahir. Kedua golongan syuhada’ ini diberlakukan atas mereka hukum-hukum orang yang syahid.
Menurut pendapat empat madzhab mereka tidak dimandikan dan tidak dikafani, juga tidak disholatkan jenazahnya, kecuali pendapat Mazhab Hanafi jenazahnya disholatkan.
Ketiga: Syahid akhirat saja, yaitu orang yang mati karena keruntuhan sesuatu, atau karena tenggelam, atau semisalnya. Sebagaimana yang pernah dijelaskan Rasulullah. Syahid yang seperti ini dimandikan, dikafani, dan disholati jenazahnya. [Lihat: Kitabul Fiqih ‘Ala Al-Madzhaabih Al-Arba’ah, oleh Al-Jaza’iri juz: 1]
Arrahmah.com : Saat ini, banyak kaum Muslimin yang lebih mengacu kepada peryataan (dianggap hadits) “Jihad yang lebih besar atau melawan hawa nafsu” dalam memahami makna jihad. Bagaimana menurut Ustadz tentang hal ini ?
Ust Abu Jibriel : Ya, memang ada slogan yang sangat masyhur di kalangan sebagian besar ulama dan kaum Muslimin yang menganggap itu sebuah hadits. Ungkapan itu muncul kononnya ketika Rasulullah saw pulang dari satu medan peperangan (perang tabuk) lalu beliau bersabda:
“Kita semua baru kembali dari jihad asghar menuju jihad akbar.” Para sahabat bertanya: “Apakah jihad akbar itu wahai Rasulullah?” Baginda menjawab: “Jihad hati atau jihad melawan hawa nafsu.”
Menurut penelitian para ulama pakar hadits ternyata slogan di atas bukanlah sebuah hadits, dan andainya dipaksakan menyebutnya sebagai hadits, maka kedudukannya ialah hadits maudhu’ (hadits palsu), juga slogan ini tidak tertulis di dalam seluruh kitab-kitab hadits shahih, namun di sana terdapat sebuah hadits yang diriwayatkan al-Khatib al-Baghdadi rahimahullah dengan lafaz yang lain, dengan sanad dari Jabir ra, katanya: “Nabi saw ketika kembali dari suatu peperangan berkata:
“Kamu sekalian telah kembali kepada sebaik baik tempat kembali, dan kamu telah kembali dari jihad asghar (jihad yang lebih kecil) menuju kepada jihad akbar (jihad yang lebih besar). Para sahabat bertanya: “Apa jihad akbar itu wahai Rasulullah?” Baginda menjawab: “Jihadnya seseorang melawan nafsunya.” (Tarikh al-Baghdadi, 13/493)
Hadits ini dha’if karena di dalam sanadnya ada perawi yang bernama Khalaf bin Muhammad bin Ismail al Khiyam yang menurut al-Hakim: “Haditsnya gugur”. Dan kata Abu Ya’la al-Khalili: Ia banyak mencampuradukkan dan ia sangat lemah, meriwayatkan hadits yang tidak dikenal.” (Lihat Masyaari’ul Asywaaq ila Mashori’il ‘Usy-syaaq li Ibni an Nuhaas, 1/31)
Al ‘Iraqiy dalam Takhriju Ahaaditsi Al ihya’ mengatakan: Hadits tersebut diriwayatkan oleh Baihaqiy dengan sanad dha’if dari Jabir. (Risalah Jihad: Hasan Al Banna)
Al-Hakim dan Ibnu Abi Zur’ah mengatakan: “Kami banyak menulis keterangan dari Khalaf bin Muhammad bin Ismail hanyalah untuk i’tibar, dan kami berlepas diri dari mempertanggung jawabkannya.” (Lihat Miizaanul I’tidaal, 1/662)
Al Imam Ibnu Taimiyah mengatakan:
“Adapun hadits yang diriwayatkan oleh sebagian orang bahwa Nabi saw bersabda setelah perang Tabuk: “Kita kembali dari jihad asghar menuju kepada jihad akbar, adalah hadits yang tidak ada asalnya, tidak ada seorang pun dari kalangan pakar ilmu hadits yang meriwayatkannya. Dan jihad menghadapi kaum kuffar adalah amal yang paling agung, bahkan ia adalah perbuatan paling utama yang dilakukan manusia.” (Al Furqon baina Auliyaa-ir Rahman wa Auliyaa-isy Syaitan, hal 44 45)
Al Imam Hasan Al Banna berkata:
“Banyak disinyalir bahwa jihad memerangi musuh agama termasuk jihad ashgar, sedang yang dikatakan jihad akbar ialah memerangi hawa nafsu. Pendapat tersebut didasarkan pada sebuah riwayat:
“Kita telah melaksanakan jihad kecil dan akan menuju jihad besar. Para sahabat bertanya: apakah jihad akbar itu. Beliau menjawab: jihad hati atau jihad melawan nafsu.”
Sebagian umat Islam berupaya mengalihkan pandangan terhadap pentingnya jihad, mempersiapkan diri, berniat melaksanakan dan mengamalkannya, tetapi pada kenyataannya dalil yang digunakan bukanlah sebuah hadits, demikian kata Ibnu Hajar Al Asqalani di dalam Tasdidul Qaus. Namun yang masyhur ialah perkataan Ibrahim bin Abalah, dan ucapan itu memang sangat popular sehingga tampak sebagai sebuah hadits.
Andaikan hadits ini shahih makna yang dikandung bukan berarti mengenyampingkan makna jihad (dalam arti qital = perang) dan mempersiapkan segala kekuatan untuknya, sebab jihad itu dilakukan dalam rangka menyelamatkan biladil Muslimin dan menolak serangan orang-orang kafir yang menyerangnya. Dan yang terkandung di dalam hadits tersebut ialah wajib melawan hawa nafsu sehingga hati benar-benar ikhlas karena Allah. (Hasan Al Banna: kitab Risalah Jihad)
Dan yang lebih meragukan lagi ialah di dalam sanad hadits ini terdapat perawi yang bernama Yahya bin al Ula al Bajili yang menurut Imam Ahmad ia adalah kazzab (pendusta), pemalsu hadits. Dan kata Amru bin Ali, an Nasa’ie dan ad-Daruqutni: “Haditsnya matruk (ditinggalkan/tidak dipakai).” Dan kata Ibn ‘Adi: “Hadits-haditsnya maudhu’ (palsu).” (Lihat Tahdziibut Tahdziib, 11/261 262).
Demikianlah pendapat para ulama pakar hadits, dan secara logika yang sehat juga tidak dapat diterima, karena kalimatnya kita sudah kembali, sedang realitasnya belum pernah ada persiapan dan berangkat pergi berperang kok sudah kembali. Benar kalau itu Rasulullah saw yang mengatakannya karena beliau baru kembali dari perang Uhud, sedang kaum muslimin belum pernah berangkat..?
Dan andainya benar kenapa kaum Muslimin lebih memilih jihad besar (jihad hawa nafsu), sedangkan jihad kecil mereka takuti. Dan andaikata hadits ini benar, dia akan menhapuskan ayat-ayat Allah yang sangat banyak sekali dan hadits Rasulullah saw. Oleh karena itu, ungkapan tersebut tidak boleh dijadikan hujjah dan jika dipaksakan juga untuk menggunakandigunakan juga maka mereka adalah pendusta (Dajjal).
Arrahmah.com : Jadi pemberian gelar Asy Syahid kepada mereka (Imam Samudra, Amrozy, dan Mukhlas) dibenarkan secara syar’i ? Meski pun kita belum bisa atau tidak bisa memastikannya ?
Ust. Abu Jibriel: Hakekat syahid itu hanya Allah yang mengetahuinya. Kita hanya tahu tanda-tanda lahiriyahnya. Maka bahasa yang tepat ialah kita mengatakan “Insya Allah Syahid”
Arrahmah.com : Kalau menurut Ustadz, mereka bertiga layak digelari Asy Syahid ? Adakah ciri-ciri khusus yang menyertai syahidnya mereka ?
Ust. Abu Jibriel: Mereka insya Allah layak diberi gelar syahid, untuk ciri-ciri yang khusus seperti apa yang disebutkan di atas.
Arrahmah.com : Menurut Ustadz apakah ada pihak-pihak yang memang tidak senang dan secara terus menerus menanamkan keragu-raguan kepada Umat Islam akan kemuliaan jihad dan mati syahid ? Siapakah mereka ? Mengapa mereka melakukan hal tersebut ?
Ust. Abu Jibriel: Jelas ada, mereka adalah para thoghut dan antek-anteknya, para ulama su’, dan intelektual muslim yang terjangkit penyakit SIPILIS.
Arrahmah.com : Terakhir Ustadz, apa yang harus dilakukan umat Muslim di negeri ini pada umumnya ? dan untuk media-media Islam secara khusus ?
Ust. Abu Jibriel: Kaum muslimin harus bersatu padu menghadapi teroris yang sebenarnya, yang dipimpin oleh George Bush laknatullah, kemudian para ulama’ harus jujur menjelaskan makna Jihad yang sebenarnya dan aplikasinya agar umat tidak terkena fitnah syubhat atau kerancuan pengertian dan pemahaman akan Jihad.
Dan media-media Islam tidak boleh saling bermusuhan dan menghalangi penyiaran data islam yang benar, dan sebaiknya mereka harus saling bahu membahu untuk mendakwahkan Islam demi kejayaan Islam dan umat Islam.
Arrahmah.com : Jazakallah khairul Jaza’ Ustadz atas waktu dan ilmunya. Wassalamu’alaikum. wr. wb!