Ekspansi pebisnis Yahudi di seluruh dunia, termasuk Indonesia, memiliki tujuan utama tercipatnya sebuah “kartel politik” alias persekongkolan politik antara pengusaha dan penguasa, antara pebisnis dan para komprador. Waspada, jangan sampai umat kecolongan!
Sepandai-pandai menyimpan bangkai, bau busuknya tercium juga. Itulah yang terjadi pada Amira Arnon, Duta Besar Israel untuk Singapura. Dubes negeri Zionis itu berang, lantaran kedatangannya diam-diam ke Jakarta terendus media. Kabar kedatangan Arnon pada 20-27 Maret lalu dilansir oleh sebuah situs berita nasional. Kedatangan Arnon tentu mengejutkan banyak pihak, mengingat bangsa ini tak memiliki hubungan diplomatik dengan negeri penjajah tanah kaum muslimin tersebut.
Awalnya, Arnon membantah kedatangannya ke Jakarta. Diplomat perempuan itu juga membantah berita yang dilansir media nasional tersebut. Namun, menurut keterangan Wakil Dubes Israel, Nihal Sharee, membenarkan kedatangan atasannya tersebut ke Indonesia. Sharee menyatakan kedatangan Arnon dalam kapasitasnya sebagai pribadi untuk menemani pengusaha-pengusaha Israel. Seorang diplomat Timur Tengah yang bertugas di Jakarta menyatakan bahwa Arnon datang untuk menawarkan teknologi pertanian terbaru dan dijadwalkan akan bertemu dengan Kamar Dagang dan Industri (KADIN) Indonesia.
Berita kedatangan diam-diam dubes dan rombongan pengusaha Israel ini tentu makin menguatkan dugaan selama ini tentang dibukanya kamar dagang Israel di Indonesia beberapa waktu silam. Pada saat itu, umat Islam yang tergabung dalam Forum Umat Islam (FUI) mencium bau busuk dibukanya Kadin Israel di Jakarta yang diketuai oleh Emanuel Shahaf. Kepada beberapa media internasional, Shahaf sering menyatakan betapa strategisnya hubungan perdagangan dengan Indonesia. Ia juga mengatakan, karena tak ada hubungan diplomatik, maka yang bisa dijalin dengan Indonesia adalah hubungan dagang. “Kamar dagang yang baru dibentuk merupakan bagian dari Kamar Dagang Israel-Asia, yang menyatukan bisnis Israel dengan kepentingan Indonesia,” ujarnya.
Bukan kali ini saja, hubungan gelap antara Indonesia-Israel yang dibangun oleh oknum-oknum tertentu terjadi. Sebelumnya, delegasi bisnis dan pejabat Israel juga direncanakan hadir di pameran perdagangan yang digelar di Jakarta Internasional Expo, Kemayoran. Peristiwa ini sempat menjadi perbincangan di media massa, namun tak pernah diusut tuntas siapa saja mereka yang bermain mengundang delegasi dagang Israel tersebut. Menurut seorang sumber terpercaya Suara Islam , banyak pebisnis di Indonesia yang tergiur untuk menjalin hubungan dengan pengusaha Israel dan mengundang investor dari negeri Zionis itu ke Indonesia. “Kompensasinya besar, bukan hanya soal bisnis, tapi juga urusan politik,” ujarnya. Urusan politik apa yang dimaksud? Sumber itu menjelaskan, “Bagi pebisnis Isreal, politik dan bisnis tak bisa dipisahkan. Mereka menanamkan investasinya di negeri ini tak semata-mata bisnis, tapi juga ada tujuan politis,” ujarnya.
Bagi Yahudi, bisnis tak semata bisnis, namun ada tujuan pokok yang mereka incar, yakni mengkooptasi kekuasaan. Mereka berusaha menancapkan taring kekuasaannya di seluruh dunia untuk memuluskan ide besar mereka membangun tata pemeritahan tunggal, Novus Ordo Seclorum, di bawah Kendali Zionisme Internasional. Upaya mengkooptasi kekuasaan, bahkan dengan cara makar sekalipun, pernah dilakukan Dinasti Yahudi di negara-negara Eropa dan Amerika. Awalnya lewat pengusaan sektor bisnis strategis, seperti telekomunikasi, sumber daya alam, perbankan, persenjataan, pertaniaan, dan sebagainya, yang berujung pada kooptasi kekuasaan.
Dalam sebuah kesempatan wawancara dengan Majalah Warta Ekonomi tahun lalu, Direktur Eksekutif yang juga pendiri Indonesia Israel Public Affair Comitte (IIPAC), Benjamin Ketang mengatakan,”Saya rasa dampak ekspansi Israel di Indonesia tidak perlu 10 tahun dari sekarang. Tiga tahun saja kalau ada komando dari Israel, maka mereka akan beramai-ramai datang ke Indonesia,” ujarnya. Pria asal Jember, Jawa Timur, yang merupakan alumnus Hebrew University ini kemudian menegaskan, “Tradisi orang Yahudi itu kalau komunikasi selalu dengan high level, levelnya pasti presiden atau menteri…” Ketang yang membidani lahirnya lembaga lobi Yahudi di Indonesia ini menyatakan, investor Israel saat ini melirik sektor teknologi informasi dan pertanian. Dua sektor ini tentu sangat strategis dan penting, karena berkaitan denga hajat hidup orang banyak.
Omongan Ketang soal lobi Yahudi yang menyasar elit atas emang terbukti. Awal tahun 2010 lalu, George Soros, pebisnis Yahudi asal Amerika yang tersohor sebagai spekulan pada krisis moneter tahun 1997 silam, datang melenggang menemui Wakil Presiden Boediono di kantornya. Kedatangan Soros membuktikan bahwa pebisnis Yahudi bisa dengan mudah masuk ke jantung pemerintahan, yang pada saat itu sedang ramai-ramainya kasus bail out Bank Century. Selain bertemu Wapres, Soros juga bertatap muka dengan pejabat tinggi Indonesia lainnya, seperti Kepala Unit Kerja Presiden Pengawasan dan Pengendalian Pembangunan (UKP3) Kuntoro Mangkusubroto dan Kepala Badan Koordinasi Penanaman Modal (BKPM), Gita Wirjawan.
Dengan bersilat lidah, pejabat di lingkungan wapres ketika itu menyebut kedatangan Soros sebagai pertemuan biasa yang tak memiliki agenda khusus. Kalau sekadar pertemuan biasa dan tak memiliki agenda khusus, mengapa harus di kantor wakil presiden? Mengapa dengan mudahnya agenda seorang wapres diisi dengan peremuan biasa di ruang kerja? Anehnya lagi, Kepala BKPM, Gita Wirjawan, menyebut kedatangan Soros sekadar membicarakan perkembangan demokrasi di Indonesia. Sungguh menggelikan, kalau sekadar membicarakan perkembangan demokrasi, kenapa harus bertemu dengan kepala UKP3 dan BKPM? Mengapa tidak bertemu DPR, tokoh demokrasi atau LSM-LSM pro-demokrasi?
Benjamin Ketang, sebagaimana dikutip Warta Ekonomi, menyebut pertemuan Boediono dan pejabat lainnya dengan Soros bukan pertemuan biasa. Ketang menengarai ada agenda besar dan lobi bisnis tingkat tinggi yang dilakukan Soros sebagai pebisnis Yahudi dengan pemerintah Indonesia yang diwakili Wapres Boediono. Inilah yang disebut dengan strategi B (Bussiness) to G (Goverment), yaitu aksi pengusaha dalam melobi penguasa. Dalam istilah Inggris sering disebut, “There’s no free lunch”, tak ada makan siang yang gratis!
Jika umat Islam diam saja terhadap upaya diam-diam sekelompok elit yang berusaha membuka hubungan dengan negeri Zionis, maka tak menutup kemungkinan, calon presiden 2014 nanti adalah mereka yang sudah memiliki deal-deal dengan para pebisnis dan jejaring Yahudi internasional. Dalam catatan sejarah, ekspansi pebisnis Yahudi memiliki tujuan utamanya terciptanya sebuah “kartel politik” alias persekongkolan politik antara pengusaha dan penguasa, antara pebisnis dan para komprador. Freeport, ExxonMobile, dan lain-lain adalah wujud nyata dari persekongkolan politik yang mengeruk kekayaan alam Indonesia dan menyengsarakan jutaan rakyat negeri ini. Sampai saat ini, tak ada satu pun orang yang berkuasa di negeri ini memiliki nyali untuk mengambil alih asset-aset nasional itu!
Artawijaya
Source: Suara Islam