Oleh: Hana Annisa Afriliani,S.S
(Aktivis Dakwah dan Penulis Buku)
Desember merupakan bulan ujian atas pengimplementasian toleransi. Dalam kamus Besar Bahasa Indonesia (KBBI) makna toleransi adalah sifat atau sikap menenggang (menghargai, membiarkan, membolehkan) terhadap pendirian (pendapat, pandangan, kepercayaan, kebiasaan dan kelakuan) yang berbeda atau bertentangan dengan pendirian sendiri. Namun, dalam penerapannya, toleransi seringkali disalaharti, khususnya bagi pemeluk agama Islam.
Perayaan Natal setiap tanggal 25 Desember yang merupakan hari raya umat Nasrani, ikut pula dirayakan oleh umat Islam. Tak hanya itu, bahkan dengan ringannya lisan umat Islam mengucapkan selamat Natal kepada umat Nasrani. Padahal, jelas hal tersebut bukanlah bentuk toleransi yang dibenarkan oleh Islam. Karena sejatinya mengucapkan selamat Natal apalagi ikut-ikutan dalam perayaan mereka merupakan pelanggaran atas akidah Islam.
Sebagaimana kita memahami bahwa Natal merupakan momentum perayaan atas kelahiran Yesus sebagai anak Tuhan. Padahal dalam konsep akidah Islam, Allah itu Esa. Dia tidak beranak dan tidak pula diperanakkan. Lam yalid walam yulad. (QS.Al-Ikhlas). Oleh karena itu, mengucapkan selamat Natal merupakan bentuk pengakuan atas apa yang menjadi keyakinan kaum Nasrani tersebut. Dan hal tersebut bisa jadi akan mencederai akidah kita sebagai muslim.
Tak hanya perayaan Natal, perayaan pergantian Tahun Baru Masehi pun turut diikuti oleh kaum muslimin. Padahal jelas hal tersebut merupakan budaya kuffar yang tidak layak diadopsi oleh seorang muslim. Hari raya umat Islam hanyalah dua, yakni Idulfitri dan Iduladha. Sebagaimana sabda Rasulullah saw: “Ketika Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam datang ke Madinah, penduduk Madinah memiliki dua hari raya untuk bersenang-senang dan bermain-main di masa jahiliyah. Maka beliau berkata, “Aku datang kepada kalian dan kalian mempunyai dua hari raya di masa Jahiliyah yang kalian isi dengan bermain-main. Allah telah mengganti keduanya dengan yang lebih baik bagi kalian, yaitu hari raya Idulfitri dan Iduladha (hari Nahr)” (HR. An Nasai no. 1556 dan Ahmad 3: 178)
Rasulullah saw juga telah mengingatkan agar umat Islam tidak ikut-ikutan kepada perilaku atau budaya kaum kafir karena bisa jadi kita akan diserupakan dengan mereka. Maukah kita diserupakan dengan kaum yang tidak beriman kepada Allah? Tentu saja tidak.
مَنْ تَشَبَّهَ بِقَوْمٍ فَهُوَ مِنْهُ
“Barangsiapa yang menyerupai suatu kaum, maka dia termasuk bagian dari mereka.” (HR. Ahmad)
Ibnu Taimiyah rahimahullah berkata:
أَنَّ الْمُشَابَهَةَ فِي الْأُمُورِ الظَّاهِرَةِ تُورِثُ تَنَاسُبًا وَتَشَابُهًا فِي الْأَخْلَاقِ وَالْأَعْمَالِ وَلِهَذَا نُهِينَا عَنْ مُشَابَهَةِ الْكُفَّارِ
“Keserupaan dalam perkara lahiriyah bisa berpengaruh pada keserupaan dalam akhlak dan amalan. Oleh karena itu, kita dilarang tasyabbuh dengan orang kafir” (Majmu’ Al Fatawa, 22: 154).
Jebakan Ideologi Liberal
Tak dimungkiri bahwa umat Islam hari ini hidup dalam lingkup sistem liberal yakni sistem hidup yang menuhankan kebebasan di segala bidang. Sampai-sampai kita tak bisa lagi membedakan antara muslim dan kafir karena perilaku mereka sama saja, inilah fenomena akhir zaman. Hal ini sudah lama diingatkan oleh Rasulullah saw dalam hadisnya, dari Abu Hurairah, Nabi shallallahu ‘alaihi wa sallam bersabda,
“Sungguh kalian akan mengikuti jalan orang-orang sebelum kalian sejengkal demi sejengkal dan sehasta demi sehasta sampai jika orang-orang yang kalian ikuti itu masuk ke lubang dhob (yang sempit sekalipun, -pen), pasti kalian pun akan mengikutinya.” Kami (para sahabat) berkata, “Wahai Rasulullah, apakah yang diikuti itu adalah Yahudi dan Nashrani?” Beliau menjawab, “Lantas siapa lagi?” (HR. Muslim no. 2669)
Oleh karena itu, jangan sampai umat Islam terjebak dalam ideologi liberal yang sudah jelas menyesatkan. Umat Islam harus memperkokoh akidahnya agar tidak mudah ikut-ikutan dengan perilaku yang tidak sesuai ajaran Islam. Akidah merupakan fondasi paling dasar bagi diri setiap individu muslim. Maka, kekuatan akidah akan menentukan corak perilaku seseorang. Lantas bagaimana cara mengokohkan akidah Islam di dalam diri kita?
Umat Islam harus meyakini dengan sebenar-benarnya bahwa Islam adalah agama yang benar. Al-Quran dan Assunah merupakan pedoman hidup jika ingin selamat dunia akhirat. Jika itu sudah mejadi sebuah pemahaman yang menancap, maka umat Islam akan tunduk dan patuh pada segala bentuk perintah dan larangan Allah serta RasulNya. Tidak mudah tergiur oleh tawaran-tawaran kesenangan dunia, sebaliknya ia akan berpikir terlebih dahulu apakah hal itu bertentangan dengan akidahnya ataukah tidak. Bukan sekadar ikut-ikutan.
Pengokohan akidah ini tidak bisa dilepaskan dari peran negara. Karena bagaimana pun fungsi negara adalah sebagai penjaga akidah umat. Negaralah yang memiliki wewenang besar dalam membuat kebijakan dan menjatuhkan sanksi bagi setiap pelanggaran terhadap syariat Islam. Dengan demikian , dibutuhkan negara yang menerapkan syariat Islam secara sempurna, bukan negara sekuler yang mejauhkan agama dari kehidupan. Tanpa negara yang berasaskan pada Islam, berbagai budaya di luar Islam dalam terus lestari dan diadopsi oleh kaum muslimin. Jika sudah begitu, makin rusaklah akidah umat Islam dan bukankah Rida Allah tidak akan turun kepada masyarakat yang ingkar?
Wallahu’alam bis shawab