WASHINGTON (Arrahmah.com) – Washington Post telah menerbitkan tulisan terakhir wartawan Saudi yang hilang Jamal Khashoggi, yang diduga dibunuh dan dipotong-potong di konsulat Arab Saudi di Istanbul awal bulan ini.
Dalam catatan di bagian atas kolom, yang diterbitkan Rabu malam (17/10/2018), editor Post Global Opinions Karen Attiah menulis bahwa mereka menunda penerbitannya karena berharap Jamal akan kembali.
“Sekarang saya harus menerima, itu tidak akan terjadi. Ini adalah bagian terakhir dari tulisannya yang akan saya edit untuk The Post. Kolom ini dengan sempurna menangkap komitmen dan hasratnya untuk kebebasan di dunia Arab. Kebebasan yang sepertinya mempertaruhkan hidupnya,” kata Karen.
Dalam artikel itu, Khashoggi mengeluhkan kurangnya kebebasan berekspresi di dunia Arab. Menurut Khasoggi, mayoritas penduduk Arab tidak dapat berbicara secara memadai, apalagi berdiskusi di depan umum, tentang hal-hal yang mempengaruhi kawasan dan kehidupan sehari-hari mereka.
Khashoggi membandingkan situasi saat ini dengan pandangan yang dirasakan oleh banyak orang selama Arab Spring, ketika mereka berharap untuk dibebaskan dari hegemoni pemerintah serta intervensi dan sensor informasi.
Salah satu pemeran terbesar dalam melawan arus atau pemberontakan rakyat Arab adalah rezim Saudi sendiri, yang telah mengirim tank ke Bahrain, merangkul para diktator, dan mengabaikan perselisihan di dalam negeri.
Beberapa pengamat melihat kebijakan putra mahkota, Muhammad bin Salman (MbS) sebagai jalan alternatif untuk melakukan reformasi di kerajaan.
Tom Friedman, seorang penulis dari New York Times yang sepekan ini terus membela MbS, menulis pada tahun lalu bahwa kerajaan itu sedang menjalani Arab Spring dengan gaya Saudi.
Khashoggi memiliki pandangan yang lebih terukur mengenai penguasa di negaranya. Dalam kolom September 2017 lalu, ia menulis bahwa MbS memang menjanjikan sebuah reformasi sosial dan ekonomi, tapi justru melakukan tindakan keras terhadap perbedaan pendapat.
“Dia berbicara untuk membuat negara kami lebih terbuka dan toleran. Dia berjanji akan mengatasi hal-hal yang menghambat kemajuan Saudi, seperti larangan perempuan untuk mengemudi,” tulis Khashoggi,
“Namun, yang terlihat adalah penangkapan yang terjadi baru-baru ini,” tandasnya.
Ini merupakan salah satu tulisannya yang membuat marah Arab Saudi sehingga Khashoggi keluar dari Saudi dan pindah ke AS.
Dalam kolom itu, dia juga mengkritik ketatnya kebebasan berbicara di kerajaan. Ia juga menceritakan bagaimana dia dipecat dari sebuah surat kabar karena terlalu kritis terhadap kebijakan pemerintah.
Sebagai anggota elite Saudi dan mantan penasihat keluarga kerajaan, tulisan Khashoggi dianggap lebih berpengaruh ketimbang wartawan yang tak pernah menjalin relasi dengan rezim penguasa.
Dalam kolom terakhir untuk Washington Post, Khashoggi mengungkap bahwa semua keterpurukan di Saudi bukan berasal dari faktor eksternal, melainkan perebutan kekuasaan di dalam kerajaan sendiri.
(ameera/arrahmah.com)