WASHINGTON (Arrahmah.id) – Tahanan Palestina menjadi sasaran kekerasan yang menggila dan perampasan hak-hak di sistem penjara ‘Israel’, kata The Washington Post dalam sebuah laporan pada Senin (29/7/2024).
Surat kabar itu dilaporkan telah berbicara kepada 11 mantan tahanan dan enam pengacara, “memeriksa catatan pengadilan dan meninjau laporan otopsi, yang mengungkap kekerasan dan perampasan yang menggila, terkadang mematikan, oleh otoritas penjara ‘Israel’.”
Menurut laporan tersebut , “rincian kematian para tahanan diceritakan oleh para saksi mata dan dibenarkan oleh para dokter dari Physicians for Human Rights ‘Israel’ (PHRI)”.
Kepadatan
Laporan tersebut mengutip pernyataan Jessica Montell, direktur eksekutif kelompok hak asasi manusia ‘Israel’ HaMoked, yang mengatakan bahwa penjara tersebut sangat padat dan kekerasan merajalela.
Bahkan kepala intelijen ‘Israel’ Ronen Bar memperingatkan dalam sebuah surat kepada otoritas penjara pada 26 Juni bahwa “kondisi di penjara tersebut dapat menyebabkan lebih banyak tindakan hukum internasional”, karena “sistem penjara, yang dibangun untuk 14.500 narapidana, menampung 21.000, belum termasuk sekitar 2.500 tahanan dari Gaza”.
Menteri Keamanan Nasional ‘Israel’ sayap kanan, Itamar Ben-Gvir, menanggapi surat Bar dalam sebuah unggahan di X dengan mengatakan bahwa “solusi terhadap kelebihan kapasitas penjara adalah hukuman mati,” catat laporan tersebut.
Salah satu tahanan yang diwawancarai oleh The Washington Post melaporkan bahwa Abdulrahman Bahash, seorang tahanan Palestina berusia 23 tahun, dipukuli sampai mati oleh penjaga ‘Israel’ di penjara Megiddo.
“Para penjaga menyerang mereka dengan cara yang gila, kata tahanan itu. Mereka menggunakan tongkat, mereka menendang di sekujur tubuh kami”.
“Bahash kembali dengan memar yang dalam, mengeluh tulang rusuknya mungkin patah. Ketika ia mencari pertolongan medis, kata teman satu selnya, ia dipulangkan dengan Acemol, obat pereda nyeri sederhana,” lanjut laporan itu, yang mencatat bahwa “Bahash meninggal sekitar tiga pekan kemudian, pada 1 Januari”.
Menurut Post, laporan dari dokter PHRI Daniel Solomon “mengungkapkan tanda-tanda cedera traumatis di dada kanan dan perut kiri, yang menyebabkan beberapa patah tulang rusuk dan cedera limpa, yang mungkin merupakan akibat penyerangan”.
Kelalaian Medis
“Laporan tentang penolakan bantuan medis tersebar luas dalam kesaksian para mantan tahanan,” catat Post.
Muhammed al-Sabbar (21), ditahan oleh pasukan pendudukan ‘Israel’ karena sebuah unggahan di media sosial.
“Ia menderita penyakit Hirschsprung sejak kecil, suatu kondisi yang menyebabkan penyumbatan usus yang parah dan menyakitkan. Ia memerlukan diet dan pengobatan khusus,” demikian pernyataan laporan tersebut.
Namun, perut Sabbar mulai membengkak pada Oktober “setelah ia tidak diberi obat”. Sabbar meninggal pada 28 Februari dan kematiannya dapat dihindari jika kondisi kronisnya ditangani dengan tepat, menurut (Dr. Danny) Rosin dari PHRI, yang hadir dalam otopsinya.
Diperkosa dengan Sapu
Menurut laporan tersebut, masing-masing mantan narapidana “mengatakan bahwa mereka telah kehilangan berat badan yang signifikan di penjara, yakni sekitar 30 hingga 50 pon.”
“Jurnalis Moath Amarneh (37), dipenjara selama enam bulan di Megiddo setelah memfilmkan demonstrasi di Tepi Barat, mengatakan selnya yang berkapasitas enam orang menampung hingga 15 orang selama ia di sana,” demikian laporan Post.
Menurut Amarneh, “para narapidana akan berbagi sepiring sayur dan yogurt untuk sarapan. Untuk makan siang, setiap narapidana menerima setengah cangkir nasi, dan sel — berapa pun jumlah narapidana di dalamnya — akan membagikan sepiring irisan tomat atau kubis.”
Ben-Gvir dilaporkan mengaku bertanggung jawab atas kebijakan kelaparan tersebut, dengan mengatakan bahwa ia berupaya untuk “memperburuk kondisi tahanan keamanan untuk menciptakan pencegahan”.
Muazzat Obayat (37), adalah seorang binaragawan amatir namun ia menceritakan bahwa ia telah kehilangan lebih dari 100 pon dalam sembilan bulan di tahanan ‘’Israel’.
“Dia berbisik sambil menggambarkan seorang penjaga melakukan kekerasan seksual terhadapnya dengan sapu,” demikian pernyataan laporan itu, seraya menambahkan bahwa Obayat berkata: “Itu layaknya Guantanamo”.
Warga Palestina dan kelompok hak asasi manusia telah mendokumentasikan berbagai bentuk penyiksaan yang meluas di dalam penjara-penjara ‘Israel’ bahkan sebelum ‘Israel’ melancarkan perang genosida di Gaza hampir 10 bulan yang lalu. (zarahamala/arrahmah.id)