(Arrahmah.id) – Sejarah umat manusia belum pernah menyaksikan akumulasi kekayaan yang begitu tidak adil, terkonsentrasi di tangan segelintir individu. Belum pernah pula kekayaan berubah menjadi senjata yang mampu membalikkan tatanan dunia secara drastis.
Lewat film-film Hollywood, kita sudah tidak asing dengan gambaran Ruang Oval di Gedung Putih. Namun, bayangkan Elon Musk berdiri di dalamnya, mengenakan topinya yang khas, dengan anaknya yang nakal tergantung di lehernya, berpakaian santai tanpa aturan. Pemandangan ini menjadikannya simbol paling mencolok dalam lanskap politik Amerika saat ini.
Ketika Badan Pembangunan Internasional AS (USAID)—lembaga pemerintah yang selama ini mendistribusikan bantuan dan pendanaan ke seluruh dunia—ditutup, Musk berdiri di depan pers dengan nada sarkastik dan arogan, menegaskan bahwa penutupan tersebut adalah keputusan yang tepat. Sementara itu, anaknya, “X” (perhatikan namanya!), bercanda dengan Donald Trump, berkata: “Anda bukan presiden, Anda harus pergi.” Trump hanya bisa tersenyum kaku saat menandatangani dekret yang secara resmi menutup USAID.
Saat itu, kekayaan Musk telah melampaui total harta yang dimiliki oleh satu miliar orang di dunia. Tatapannya jelas menunjukkan bahwa ia menganggap pemotongan bantuan kemanusiaan, termasuk dana untuk memerangi AIDS di Afrika, sebagai “prestasi ekonomi” bagi negaranya.
Namun, yang ironis adalah bahwa lembaga yang ditutup ini hanya menghabiskan 65 miliar dolar per tahun, kurang dari 1% dari anggaran negara, dan bahkan kurang dari sepersepuluh kekayaan Musk sendiri.
Ketika The New York Times menerbitkan laporan yang mengkritik keputusan tersebut—memperingatkan bahwa jutaan anak-anak akan menghadapi kematian akibat penghentian bantuan—pemerintahan Trump merespons dengan sikap acuh tak acuh. Mereka menganggap pers konvensional sebagai “tren lama” yang tidak lagi relevan.
Runtuhnya Nilai-Nilai Kemanusiaan
Musk tidak pernah melihat USAID dari perspektif kemanusiaan atau moral. Sebaliknya, ia selalu mengajukan satu pertanyaan yang kini telah menjadi slogan pemerintahan AS yang baru:
“Berapa keuntungan yang bisa kita dapat dari ini?”
Inilah standar baru yang digunakan dalam setiap kebijakan—mulai dari keanggotaan NATO hingga konflik Palestina, dari perjanjian perdagangan hingga kesepakatan iklim, bahkan dalam urusan bantuan kemanusiaan.
Trump, seorang pengusaha yang membangun kekayaannya dari dunia bisnis, mengelilingi dirinya dengan miliarder yang berpikir serupa—mereka yang percaya bahwa segala sesuatu harus dihitung berdasarkan laba dan rugi, tanpa ruang untuk empati atau nilai-nilai moral.
Dengan logika ini, mereka tidak melihat kematian 50.000 warga Palestina di Gaza sebagai tragedi, melainkan sebagai kesempatan untuk mengubah pantai Gaza menjadi resor wisata setelah mengusir dua juta penduduknya.
Mereka menganggap pendanaan pengobatan anak-anak pengidap AIDS di Afrika sebagai pemborosan, sama seperti mereka menilai bahwa proyek apa pun yang tidak memberikan keuntungan langsung bagi Amerika Serikat tidak layak untuk dipertahankan.
Ketika Musk diangkat menjadi kepala Kementerian Efisiensi Pemerintahan, langkah pertamanya adalah menutup USAID dan memberhentikan ribuan pegawai. Ini hanyalah awal dari serangkaian kebijakan yang lebih radikal.
Mudah ditebak apa langkah berikutnya: segala sesuatu yang tidak menghasilkan uang akan dihapuskan.
Bagi Musk, ini adalah keharusan—terutama karena lingkaran dalamnya terus mendorongnya untuk mengambil keputusan yang lebih ekstrem dan lebih brutal.
Mafia PayPal
Seiring meningkatnya dominasi Trump, media Amerika mulai menyoroti lingkaran elit yang mengelilinginya. Berbagai julukan diberikan kepada kelompok ini, tetapi yang paling menonjol adalah “Mafia PayPal” (The PayPal Mafia).
Pers Barat, terutama The Guardian, bahkan menyusun laporan dan analisis khusus tentang kelompok ini. Bahkan Wikipedia kini memiliki halaman khusus untuk mereka.
Siapa mereka?
Kelompok ini terdiri dari Max Levchin, Keith Rabois, Reid Hoffman, Peter Thiel, David Sacks, dan Elon Musk. Yang menyatukan mereka ada dua hal:
- Mereka semua pernah bekerja di PayPal sebelum menjadi miliarder berkat industri teknologi.
- Mereka semua adalah pendukung setia Donald Trump.
Latar belakang mereka berasal dari ekosistem Silicon Valley yang keras, tempat belas kasihan bukanlah sebuah opsi dan hanya yang terkuat yang bertahan. Dalam dunia mereka, tidak ada persaingan yang adil, hanya ada pemenang mutlak dan pecundang mutlak.
Mereka tetap berada di puncak dengan menghancurkan pesaing tanpa ampun. Sekarang, mereka tidak hanya menguasai industri teknologi tetapi juga menentukan kebijakan Amerika Serikat.
Misi utama mereka adalah menghancurkan birokrasi tradisional dan menggantikan tatanan politik lama dengan aturan baru yang lebih kejam dan tanpa batas moral.
Tidak mengherankan jika beberapa dari mereka menyebut Trump sebagai “cambuk Tuhan”, sebuah alat yang mereka gunakan untuk mewujudkan visi gelap mereka.
Musk sendiri telah memulai langkah-langkah awal untuk mengubah tatanan dunia seperti yang mereka inginkan.
Jika Anda berpikir bahwa para pengusaha teknologi ini akan membuat hidup kita lebih mudah, Anda salah besar.
Peter Thiel tidak percaya pada demokrasi.
David Sacks menolak konsep multikulturalisme.
Bagi mereka, dunia masa depan adalah dunia di mana hanya yang paling cerdas dan paling kuat yang bertahan.
Mereka meyakini bahwa mereka yang memiliki lebih banyak anak cerdaslah yang akan menguasai dunia, itulah mengapa Musk memiliki 13 anak.
Feodalisme Teknologi
Dalam sebuah negara dengan militer terkuat dan ekonomi terbesar di dunia, perubahan-perubahan ini memiliki dampak global.
Ketika Trump mengucapkan sumpah sebagai presiden, para raksasa teknologi berdiri di sampingnya—pemilik Amazon, Facebook, dan X, yang kekayaannya lebih besar dari seluruh anggaran negara-negara Afrika digabungkan.
Kekayaan yang luar biasa ini membuat mereka merasa kebal hukum, seperti para tuan feodal di Eropa abad pertengahan. Bedanya, kali ini mereka mengendalikan dunia dengan teknologi, bukan pedang.
Mereka telah membangun kerajaan yang tidak tersentuh, percaya bahwa mereka dapat mengatur ulang dunia sesuai dengan keinginan mereka.
Tidak ada yang berani menantang Google, YouTube, atau Instagram, bukan hanya karena keunggulan teknologi mereka, tetapi karena mereka kini memiliki perlindungan politik yang mutlak.
Ketika Uni Eropa mencoba memberlakukan regulasi ketat terhadap raksasa teknologi ini, Trump mengancam:
“Kami akan menjatuhkan sanksi ekonomi terhadap Anda.”
Kini, perusahaan-perusahaan ini menyediakan data pengguna di Timur Tengah untuk Israel, membantu mereka membunuh lebih banyak orang tak bersalah.
Apakah kita masih bisa mempercayai mereka untuk membawa kebaikan bagi umat manusia?
Mereka tidak hanya menargetkan dunia Muslim, tetapi juga Eropa, Kanada, Meksiko, Panama, dan bahkan China.
Mungkin, inilah saatnya dunia membentuk koalisi global untuk menghadapi kekuatan liar ini, sebelum para bangsawan teknologi membakar dunia hingga hancur.
Sumber Artikel: Aljazeera.net/ Pandangan dalam artikel ini tidak mencerminkan kebijakan editorial Al Jazeera.
(Samirmusa/arrahmah.id)