JAKARTA (Arrahmah.id) – Wakil Sekretaris Jenderal MUI KH Arif Fahrudin menjelaskan terkait dengan fatwa salam lintas agama yang ditetapkan melalui Forum Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII.
Kiai Arif mengatakan, toleransi adalah sunnatullah dan sunnah Rasulullah SAW dan praktik ulama salafus salihin. Dia menambahkan, meski demikian toleransi tetap memiliki batasnya.
“Tidak semua aspek dalam Islam bisa ditoleransi, yang tidak diperkenankan pIslam adalah motif mencampuradukkan wilayah aqidah dan ritual keagamaan (sinkretisme / talfiq al-adyan) sehingga mengaburkan garis demarkasi antara wilayah akidah dan muamalah,” tegasnya.
Dalam hal ini berlaku otorisasi akidah dan syariah Islam. Seperti tuntunan dalam Al-Qur’an,
لَكُمْ دِيْنُكُمْ وَلِيَ دِيْنِ
Lakum dīnukum wa liya dīn
Artinya: “Untukmu agamamu, dan untukku agamaku.” (QS. Al-Kafirun:6)
Namun, kata kiai Arif, dalam hal muamalah dan relasi sosial-budaya, toleransi Rasulullah SAW kepada saudara antar umat beragama sangat penting untuk diteladani oleh umat Islam.
Bahkan, dalam sebuah hadis, Rasulullah SAW menyatakan bahwa karakter beragama yang sangat dicintai oleh Allah SWT adalah perilaku beragama yang lembut dan penuh toleransi yaitu Islam.
Termasuk juga riwayat tentang kasih dan sayangnya Rasulullah SAW terhadap seorang nenek Yahudi yang tuna netra yang selama hidupnya selalu menjelek-jelekkan Rasulullah SAW.
Kiai Arif yang juga Anggota SC Ijtima Ulama Komisi Fatwa se-Indonesia VIII ini menjelaskan, keputusan dalam fatwa salam lintas agama juga memperhatikan pertimbangan kondisi sosial dan budaya masyarakat Indonesia yang plural.
Misalnya, jika dalam suatu wilayah dimana populasi umat Islam tidak dominan sehingga secara budaya mereka tidak bisa menghindari tradisi interaksi lintas agama sebagai bentuk ekspresi kerukunan.
Adanya kekhawatiran jika umat Islam dinilai tidak pro aktif memperkuat kerukunan antar umat beragama, maka umat Islam di wilayah tersebut memiliki alasan syar’i (udzur syar’i) untuk tidak menghindari tradisi toleransi tersebut selama tidak diniatkan sebagai bentuk amaliah ibadah dan akidah.
Demikian halnya dengan muslim yang menjadi pejabat pemerintahan atau pejabat publik saat menyampaikan sambutannya di acara pemerintahan. Fatwa Ijtima Ulama MUI menganjurkan agar pejabat seyogyanya bisa menjalankan fatwa hasil Ijtima Ulama tersebut.
“Pejabat juga diharapkan menggunakan redaksi salam nasional agar semua pihak terangkum di dalamnya. Namun jika hal di atas tidak memungkinkan, maka pejabat publik atau pejabat di pemerintahan juga mendapat alasan syar’i (udzur syar’i) dengan syarat tidak diniatkan sebagai bentuk sinkretisme ibadah,” ujarnya.
Kiai Arif meyakini bahwa rakyat Indonesia sudah matang dan dewasa dalam toleransi beragama. Sehingga tidak perlu terjebak kepada “kelatahan toleransi”, yaitu jika tidak mengucapkan salam lintas agama dinilai intoleran atau anti kebangsaan, dan jika mengucapkan salam lintas agama otomatis dinilai toleran. Tidak sesederhana itu ukuran jiwa kebangsaan dan jiwa toleransi diukur.
Secara praktik kebudayaan, ujar Kiai Arif, masyarakat Indonesia terutama umat Islam sudah menjalankan dengan sangat baik praktik beragama tanpa terjebak pada sinkretisme beragama.
Itu bukti bahwa antar umat beragama saling memaklumi, saling menyadari, dan saling mendukung mana wilayah akidah mereka dan mana wilayah muamalah sosial mereka.
“Sesungguhnya yang disampaikan dari forum ini adalah pentingnya menjaga moderasi beragama dengan memposisikan toleransi antar umat beragama dalam proporsinya yaitu saling menghormati, saling menghargai, dan saling memperkuat kerukunan tanpa terjebak ke dalam praktik ekstremisme yang sempit dan toleransi yang melewati batas akidah dan syariah, ” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.id)