JAKARTA (Arrahmah.id) – Fenomena meningkatnya paham agnostik di kalangan generasi muda di berbagai negara mendapat perhatian serius dari Wakil Sekretaris Jenderal Majelis Ulama Indonesia (MUI), Ikhsan Abdullah.
Dalam keterangan, Ikhsan menegaskan bahwa paham agnostik tidak sejalan dengan nilai-nilai dasar bangsa Indonesia yang berlandaskan Pancasila.
“Agnostik sedang berkembang di mana-mana di berbagai negara di kalangan anak-anak muda. Jangan ikut-ikutan. Agnostik itu artinya mereka memiliki untuk tidak beragama,” ujar Ikhsan di laman resmi MUI, Selasa (12/11).
Menurutnya, paham ini bertentangan dengan sila pertama Pancasila, yaitu Ketuhanan Yang Maha Esa, yang menekankan pentingnya keyakinan akan keberadaan Tuhan sebagai fondasi utama bangsa.
Agnostik dan Relevansinya dengan Pancasila
Agnostik adalah pandangan yang meragukan keberadaan Tuhan atau tidak berkomitmen untuk mempercayainya, meski tidak secara langsung menolak keberadaan Tuhan seperti paham ateisme. Istilah ini berasal dari bahasa Yunani “agnostos,” yang berarti “tidak mengetahui.”
Agnostik meyakini bahwa kebenaran soal keberadaan Tuhan adalah sesuatu yang di luar kemampuan manusia untuk diketahui secara pasti.
Ikhsan menyoroti bahwa Indonesia adalah satu-satunya negara dengan konstitusi yang jelas mengakui keberadaan Tuhan, sebagaimana disebutkan dalam pembukaan Undang-Undang Dasar 1945. Dalam pasal tersebut tertulis bahwa
“Atas berkat rahmat Allah Yang Maha Kuasa” menjadi dasar dan prinsip dalam pembentukan Republik Indonesia. Oleh karena itu, menurutnya, paham agnostik yang mengabaikan nilai Ketuhanan dianggap melanggar prinsip-prinsip dasar konstitusi Indonesia.
“Tidak ada ruang bagi orang yang tidak beragama di Indonesia, baik yang ateis maupun agnostik. Yang boleh adalah mereka yang berketuhanan. Maka di semua undang-undang pasti di dalamnya disebutkan atas Rahmat Tuhan Yang Maha Esa,” tegas Ikhsan.
Sikap MUI terhadap Agnostik
MUI memandang paham agnostik sebagai ancaman terhadap stabilitas moral dan spiritual bangsa. Ikhsan berharap agar generasi muda dapat memahami dan mempertahankan nilai-nilai spiritual dan keagamaan yang menjadi fondasi karakter bangsa.
“MUI berharap generasi muda dapat mempertahankan nilai-nilai spiritual dan agama, sebagai landangan moral dan karakter bangsa, serta tidak terpengaruh paham yang mengesampingkan nilai-nilai Ketuhanan,” ujar Ikhsan.
Pandangan ini, menurut Ikhsan, didasari pada komitmen MUI untuk menjaga keutuhan nilai-nilai kebangsaan dan Ketuhanan yang menjadi ciri khas Indonesia. Di saat banyak negara yang memberi ruang pada paham agnostik atau ateis, Ikhsan menekankan bahwa Indonesia dengan tegas berdiri sebagai negara yang menghargai nilai-nilai agama sebagai landasan berbangsa dan bernegara.
Fenomena Agnostik di Berbagai Negara
Paham agnostik berkembang di sejumlah negara, terutama di wilayah dengan budaya sekuler yang kuat. Di negara-negara Eropa Barat dan Amerika Utara, persentase individu yang mengidentifikasi diri sebagai agnostik atau tidak berafiliasi dengan agama meningkat secara signifikan.
Dalam konteks global, laporan dari Pew Research Center tahun 2021 menunjukkan bahwa generasi muda di negara-negara maju semakin cenderung menjauh dari agama formal dan lebih memilih posisi netral atau agnostik terhadap keberadaan Tuhan. Fenomena ini dikenal sebagai the rise of the nones atau meningkatnya individu yang tidak memiliki afiliasi agama.
Namun, bagi bangsa Indonesia, nilai Ketuhanan menjadi dasar yang tak tergantikan. MUI berharap seluruh masyarakat, khususnya generasi muda, dapat menanamkan dan menjaga nilai Ketuhanan Yang Maha Esa sebagai pedoman hidup, menghindari pengaruh paham agnostik yang dinilai bertentangan dengan karakter bangsa.
(ameera/arrahmah.id)