JAKARTA (Arrahmah.com) – Direktur LKM-MediaWatch Sirikit Syah mengatakan, peliputan berita konflik atau terorisme yang dilakukan wartawan, seharusnya tidak sekedar menggunkan teori cover both side atau bahkan one side saja. Teori klasik tersebut, menurut mantan Ketua Komisi Penyiaran Indonesia Daerah (KPID) Jawa Timur ini, bisa mengakibatkan polarisasi atau kubu-kubuan. Tidak hanya itu, masyarakat bisa menjustifikasi pemberitaan tersebut tanpa melakukan verifikasi lebih dulu.
“Karena itu, peliputan konflik dan terorisme tidak cukup hanya cover both side, tapi harus multi sides,” ujarnya seperti yang dilansir hidayatullah.
Mantan editor The Brunei Times ini menilai, pemberitaan terorisme yang dilakukan wartawan banyak yang menjadikan satu sumber, yakni dari pihak kepolisian saja. Jadi, kata Sirikit, wartawan seolah-olah seperti loudspeaker (corong) pihak kepolisian. Padahal, lanjut Sirikit, masih banyak pihak-pihak lain yang bisa diverifikasi.
Lebih lanjut, Sirikit mengatakan, kasus terorisme di Aceh seharusnya diliput langsung oleh wartawan di tempat. Di sana, lanjut Sirikit, wartawan bisa melakukan verifikasi dan melihat gambar TKP yang sebenarnya. Sebab, Sirikit menilai, latihan di Aceh tersebut tak jauh beda seperti apa yang dilakukan Banser.
Sikirit juga mempertanyakan apakah latihan militer di Aceh tersebut bisa dikategorikan tindakan terorisme. Dalam aksi itu, tepatnya siapa yang jadi korban teror? “Jangan-jangan hanya polisi yang merasa terteror,” katanya. Polisi menurut Sirikit boleh saja melakukan pre-emptive action, tapi bagaimana dengan aksi teror di tempat lain? di Papua, misalnya. Apakah polisi juga memperlakukan hal yang sama?
Sirikit berpesan, dalam liputan, seharusnya wartawan menggali lebih setiap berita dan tidak hanya mengambil dari satu sumber saja. Bagi masyarakat, tidak boleh mudah percaya berita yang ada di media karena belum lengkap. Masyarakat harus menunggu berita lain yang dari sumber berbeda. (hdytlh/arrahmah.com)