TAIZ (Arrahmah.com) – Sedikitnya dua warga sipil Yaman gugur dan 16 lainnya terluka setelah teroris Syiah Houtsi menembaki sebuah distrik perumahan di kota Taiz yang dikepung.
Menurut penduduk dan pejabat medis, Houtsi menembakkan beberapa mortir ke lingkungan 7 Juli, Taiz, pada Sabtu (5/1/2019) dan membunuh seorang wanita tua dan seorang anak.
Menurut sumber, kebanyakan korban luka adalah anak-anak dan telah dilarikan ke rumah sakit terdekat.
“Beginilah cari kami menyambut 2019 di Taiz,” ujar Aeda Al-Absi, penduduk setempat.
“Dunia dan organisasi kemanusiaan telah menutup mata terhadap apa yang terjadi di Taiz.”
Teroris Houtsi telah mengepung Taiz, kota terbesar keduadi Yaman, selama lebih dari empat tahun, dengan sekitar 200.000 warga sipil terperangkap.
Sementara sebagian besar kota tetap berada di bawah kendali pasukan pemerintah Yaman, Houtsi secara rutin menyerang kota dengan artileri dan tembakan penembak jitu, lansir Al Jazeera.
Menurut seorang warga yang meminta untuk tidak disebutkan namanya, sejumlah warga sipil telah terbunuh oleh penembakan Houtsi dalam beberapa bulan terakhir dan teroris Houtsi telah memperketat cengkeraman mereka di jalan-jalan yang menghubungkan kota barat daya dengan ibu kota, Sana’a.
Badan-badan bantuan telah berulang kali memperingatkan tentang bencana kemanusiaan di kota itu, mendokumentasikan kekurangan makanan dan air dan rumah sakit harus berjuang keras untuk tetap berfungsi tanpa akses ke pasokan medis dasar.
Bulan lalu, pihak-pihak yang bertikai di Yaman mencapai deklarasi pemahaman tentang situasi di Taiz, menyusul pembicaraan damai di kota Rimbo, Swedia.
Di bawah perjanjian tersebut, Houtsi diharapkan meringankan pengepungan terhadap Taiz dan menarik diri dari kota pelabuhan strategis Hudaidah.
Namun, kedua pihak telah saling menuduh melanggar perjanjian, dengan suara rudal dan tembakan terdengar hampir setiap hari oleh ribuan warga sipil yang masih tinggal di kota.
“Kelompok ini [Houtsi] hanya tahu bahasa kematian,” ujar Mohammad Al-Mayyas, seorang warga Taiz, mengatakan kepada Al Jazeera.
“Semua orang tahu sebelum dimulainya pembicaraan damai di Swedia, bahwa kelompok ini tidak akan mematuhi piagam apa pun dan mereka hanya mengerti bahasa senjata.” (haninmazaya/arrahmah.com)