KILIS (Arrahmah.com) – Penuh dengan debu, puncak bukit tanpa naungan di kota perbatasan Turki, Kilis, para ibu Suriah, balita dan orang tua berjejal di pusat medis darurat yang bertempat di sebuah toko roti yang telah ditinggalkan. Sekitar 500 pasien akan
berobat di sana hari itu, meskipun secara resmi pusat pelayanan tersebut tidak ada.
Dikenal sebagai Poliklinik Suriah 1, fasilitas tersebut merupakan bagian dari jaringan pusat kesehatan informal yang telah berdiri di Kilis untuk mengobati hampir 80.000 pengungsi Suriah yang kini berada di dan sekitar kota.
“Selama dua tahun terakhir, jumlah pengungsi Suriah telah mencapai hampir sama dengan jumlah penduduk Turki di sini di Kilis,” ujar Dr. Mohammed Assaf, direktur jenderal di Poliklinik Suriah 1 kepada Al Jazeera.
“Rumah sakit dan klinik (Turki) tidak bisa mengatasi.”
Seperti banyak kota perbatasan Turki, masuknya pendatang baru ke Kilis telah jauh melampaui kapasitas infrastruktur dan layanan lokal.
“Kami memulai klinik ini karena kebutuhan itu menjadi begitu besar. Jumlah warga Suriah di Kilis mulai tumbuh dan kamar- kamar di kamp-kamp telah habis,” Dr. Assaf menjelaskan.
“Dengan cara ini, kami membantu mengurangi tekanan di pusat (kesehatan) Turki.”
Ada tiga poliklinik lainnya di Kilis yang khusus merawat warga Suriah, masing-masing menyaksikan antara 200 sampai 400 pasien setiap hari. Selain itu, kota ini menjadi tuan rumah ketiga, pusat pasca-operasi, klinik kesehatan mental, fasilitas terapi fisik, dan pusat vaksinasi.
Pusat-pusat tersebut menyediakan layanan kesehatan primer, perawatan prenatal dan rehabilitiasi dan dukungan psikososial bagi warga Suriah yang menderita trauma perang dan yang terus memerlukan perawatan kesehatan dasar.
Warga Suriah di Kilis bukan satu-satunya yang mencari perawatan di Turki. Mengingat kota tersebut juga dekat dengan kota Aleppo di Suriah dan bahwa hampir separuh dari sistem perawatan kesehatan masyarakat Suriah telah hancur akibat perang, banyak dari mereka yang menerima pengobatan masih tinggal di dalam wilayah Suriah.
Ini termasuk individu yang terluka saat berperang di antara berbagai kelompok bersenjata di Suriah. Pejuang Suriah dapat menerima pengobatan karena baik klinik atau pusat kesehatan Turki, memerlukan bukti identitas sebelum memberikan perawatan terutama dalam situasi darurat.
Adnan Abdul Ghafer, seorang pekerja konstruksi yang berasal dari Dir Haffa, sebuah desa kecil di luar Aleppo, telah melakukan perjalanan antara Suriah dan Turki selama lebih dari setahun untuk perawatan lukanya yang ia derita akibat serangan bom barel di sebuah jalan di dekat rumahnya.
“Saya tidak ingat apa yang terjadi setelah pemboman tersebut, namun ketika saya terbangun saya telah berada di rumah sakit Kilis tanpa tangan dan tidak ada penglihatan di mata kiri saya,” ujarnya.
Setiap fasilitas wajib memiliki minimal satu orang dokter Turki dalam jajaran stafnya dan laporan bulanan diperlukan mengenai jumlah pasien yang dirawat dan jenis penyakit yang diobati. Fasilitas juga melarang mengobati warga Turki dan dokter dan perawat tidak diperbolehkan melakukan prosedur invasif.
“LSM menginginkan posisi ini (memberikan layanan kesehatan). Kami memutuskan untuk berkoordinasi dengan mereka karena ini adalah cara termudah, saya pikir, untuk mencari solusi, karena mereka adalah para profesional dan mereka memiliki banyak sumber daya,” ujar anggota dari kegubernuran Kilis kepada Al Jazeera.
“Kami tidak menolak siapapun yang datang mencari pengobatan, tapi rumah sakit kami dibangun untuk penduduk berjumlah 100.000,” ujar Dr. Halil Ibrahim Toptan, direktur jenderal di rumah sakit negara Kilis.
Sejak Maret 2012, kami tela merawat 350000 pasien Suriah di rumah sakit kami. Setiap hari kami melihat antara 2.000 sampai 3.000 pasien per hari.”
Sebuah laporan terbaru yang dirilis oleh pemerintah Turki menyatakan bahwa Turki telah menghabiskan 100 juta USD untuk perawatan kesehatan untuk warga Suriah, yang menerima layanan gratis dan membayar sebagian kecil dari harga untuk obat-obatan. Secara keseluruhan, Turki dilaporkan telah menghabiskan 3,5 milyar USD untuk hampir satu juta warga Suriah yang telah membanjiri negerinya.
Meskipun secara resmi ada lebih dari 1,3 juta warga Suriah yang mencari perlindungan di Turki sejak perang di Suriah dimulai, angka sebenarnya mungkin lebih tinggi dari 1,5 juta, karena banyak pengungsi yang tidak terdaftar. Hanya 220.000 pengungsi yang saat ini tinggal di 22 kamp pengungsian, sementara sisanya berada di berbagai provinsi di Turki.
Warga Turki, terutama di kota-kota di mana pengungsi Suriah telah masuk, sering mengeluh tentang dampak tingginya jumlah pengungsi pada kualitas layanan yang dapat mereka terima.
“Ada banyak warga Turki yang marah mengenai semua layanan yang diperoleh warga Suriah,” ujar Mehme K, penduduk di dekat kota Gaziantep. “Dokter dan pasien mengeluh karena tidak ada cukup waktu untuk melihat seluruh pasien. Para dokter harus bekerja ganda, dan banyak warga Turki marah karena warga Suriah dapat dirawat kapanpun mereka inginkan meskipun mereka tidak membayar pajak,” lanjut Mehmet.
Tahun lalu, kementerian kesehatan Turki memutuskan untuk mengalokasikan 6,9 juta USD untuk memperluas rumah sakit negara Kilis, menurut Toptan. Jumlah tempat tidur diperkirakan akan meningkat dua kali lipat menjadi 400 pada akhir 2014 dan jumlah tenaga kesehatan akan meningkat sebesar 50 persen.
Sementara ekspansi ini diharapkan dapat mengurangi tekanan sehari-hari di rumah sakit, beberapa dokter menunjukkan bahwa ini tidak akan membantu untuk menyelesaikan ketegangan dalam masa kritis, seperti selama bentrokan meningkat di Aleppo.
“Perluasan lahan tersebut akan membantu rumah sakit Kilis tampil lebih baik, namun itu tidak akan mengurangi tekanan besar,” ujar Dr. Valantina Sbahi, seorang dokter yang berasal dari Aleppo dan bekerja di sebuah klinik di Suriah. (haninmazaya/arrahmah.com)