SIDON (Arrahmah.id) – Kelompok hak asasi manusia dan pejabat setempat memperingatkan kondisi kemanusiaan yang memburuk bagi warga sipil yang terperangkap di kamp pengungsi Palestina Ein al-Hilweh di Libanon selatan saat bentrokan berlanjut antara faksi-faksi yang bersaing untuk hari ketiga.
“Ada orang yang terjebak di kamp tanpa makanan dan air selama dua hari. Tidak ada yang membawa bantuan ke Ein al-Hilweh. Di mana organisasi kemanusiaan?” Adnan Rifai, anggota Komite Populer Ein al-Hilweh, mengatakan kepada The New Arab dari dalam kamp.
Rifai memperingatkan bahwa warga sipil, yang banyak di antaranya “hanya mampu membeli makanan sehari-hari”, berada dalam bahaya jika bantuan tidak masuk ke kamp.
Badan Bantuan dan Pekerjaan Palestina PBB (UNRWA), penyedia layanan utama di kamp tersebut, telah menghentikan semua layanannya di kamp karena bentrokan yang sedang berlangsung.
Sedikitnya 11 tewas, 40 luka-luka, dan sedikitnya 2.000 penghuni kamp mengungsi akibat kekerasan, kata UNRWA dalam pernyataan terbarunya.
UNRWA telah membuka sekolah terdekat untuk para pengungsi, sementara yang lain berlindung di masjid terdekat.
“Ini bukan ‘tempat perlindungan’; ini hanya daerah yang jauh dari pertempuran. Ada kebutuhan besar akan persediaan air, makanan dan kebersihan, karena saat ini tidak cukup untuk dibagikan,” Mohamed al-Shouli, petugas media untuk Asosiasi Palestina untuk Hak Asasi Manusia, kepada TNA.
Pada Ahad (30/7/2023) kekerasan meletus di kamp tersebut setelah sebuah kelompok Islamis membunuh seorang komandan terkemuka, Abu Ashraf al-Armoushi, dari partai Fatah, yang memerintah Otoritas Palestina di Tepi Barat yang diduduki.
Bentrokan kemudian meningkat antara milisi Fatah dan faksi Islam, dengan senapan mesin dan granat berpeluncur roket ditembakkan antara bangunan apartemen perumahan dan toko-toko di kamp.
Anggota parlemen Libanon dan pejabat Palestina menengahi gencatan senjata Senin malam (31/7), tetapi bentrokan pecah lagi dengan cepat pada Selasa (1/8).
Ein el-Hilweh adalah kamp pengungsi Palestina terbesar di Libanon, dengan lebih dari 80.000 pengungsi dikemas dalam area seluas 1,5 kilometer persegi.
Tentara Libanon membangun tembok beton di sekitar kamp pada 2017 dan mengontrol arus orang dan barang masuk dan keluar dari kamp. Tentara tidak memiliki otoritas keamanan di dalam Ein al-Hilweh dan malah mengizinkan faksi Palestina untuk mengatur kamp melalui pasukan keamanan gabungan.
Kelompok HAM mengatakan bahwa sifat padat kamp memperburuk dampak pertempuran terhadap warga sipil, dengan peluru nyasar dan bom yang merusak rumah, gudang, dan infrastruktur publik.
“Konflik terjadi di jalan-jalan sempit di kamp, yang menyebabkan penghancuran properti, rumah, dan toko para pengungsi. Populasinya sudah sangat miskin,” kata al-Shouli.
Al-Shouli mengatakan kerusakan yang disebabkan di Ein al-Hilweh oleh pertempuran yang sedang berlangsung akan memiliki konsekuensi jangka panjang, karena penduduk kekurangan dana untuk memperbaiki infrastruktur yang sudah di bawah standar.
Pengungsi Palestina termasuk yang paling terpukul oleh krisis ekonomi Libanon yang sedang berlangsung, dengan 93 persen hidup dalam kemiskinan. Pengungsi Palestina dilarang bekerja di banyak sektor pasar tenaga kerja negara, mengurangi peluang ekonomi mereka.
“Setelah konflik berakhir, bagaimana orang akan hidup? Mereka yang rumahnya rusak atau hancur – jika mereka bahkan tidak mampu membeli roti, bagaimana mereka mampu membangun kembali?” ujar Rifai.
Bentrokan meningkat pada Selasa sore (1/8), meskipun pihak Hamas, Fatah dan Libanon menyerukan agar pertempuran dihentikan.
Meskipun Ein al-Hilweh diperintah oleh koalisi pasukan yang dipimpin oleh Fatah dan faksi lain yang memiliki ikatan dengan kelompok-kelompok di Palestina itu sendiri, sifat lokal dari kekerasan saat ini tampaknya sejauh ini mencegah pihak-pihak Palestina untuk menegakkan gencatan senjata.
Seorang juru bicara Angkatan Bersenjata Libanon (LAF) mengatakan kepada TNA bahwa mereka “mengambil tindakan militer di sekitar kamp dan mencoba berkomunikasi dengan [faksi].”
Pejabat Hamas di Jalur Gaza menolak permintaan TNA untuk mengomentari masalah tersebut.
LAF ragu-ragu untuk ikut campur dalam insiden keamanan di Ein al-Hilweh di masa lalu, terutama karena ketentuan Perjanjian Kairo 1969, yang menyatakan bahwa Tentara Libanon tidak memasuki kamp-kamp Palestina secara konvensional sementara keamanan internal disediakan oleh faksi Palestina.
Namun, pada 2007, LAF berperang selama berbulan-bulan melawan milisi Fatah al-Islam Palestina di Naher al-Bared di utara negara itu. Konflik tersebut menyebabkan hampir 500 orang tewas dan 500 lainnya luka-luka serta menelantarkan sekitar 30.000 pengungsi Palestina. Kehancuran Nahr al-Bared juga berdampak buruk pada ekonomi lokal karena itu adalah rumah bagi pasar terbesar di Libanon utara. (zarahamala/arrahmah.id)