MOSKOW (Arrahmah.id) — Rusia memutuskan untuk mengirim 300.000 tentara cadangan untuk berperang di Ukraina. Namun, banyak warga menyusun rencana seperti kecelakaan dan mematahkan kaki agar tak dipanggil.
Dilansir BBC (24/9/2022), banyak lelaki Rusia kemudian mencari cara untuk menghindari panggilan menjadi tentara cadangan.
Di Moskow, Vyacheslav mengatakan dia dan teman-temannya mulai mencari kenalan di bidang medis untuk membantu mereka.
“Kesehatan mental atau pengobatan untuk kecanduan narkotika tampaknya pilihan yang pas, karena murah dan gratis,” katanya.
“Jika kami dilempari batu dan ditangkap saat mengemudi, mudah-mudahan SIM kami akan dicabut dan kami harus menjalani perawatan. Kami tidak bisa memastikan tapi mudah-mudahan itu cukup untuk menghindari pengiriman [menjadi tentara].”
Adik iparnya nyaris terhindar dari pemanggilan karena tidak ada di rumah ketika petugas menelepon. Ibunya melihat dokumen yang mengharuskan dia melapor untuk bertugas antara tanggal 19 dan 23 September.
“Dia sekarang mengunci diri di satu ruangan dan menolak keluar,” kata Vyacheslav. “Dia punya dua anak kecil berusia tiga dan satu tahun: apa yang harus dia lakukan?” ucapnya.
Seorang pria lainnya dari Kaliningrad mengatakan kepada BBC bahwa dia akan melakukan apa saja untuk menghindari wajib militer.
“Saya akan mematahkan lengan saya, kaki, bahkan saya rela masuk penjara. Apapun saya lakukan untuk menghindari itu semua,” ucapnya.
Ribuan orang Rusia bergabung dalam protes anti-perang di kota-kota di seluruh Rusia pada Rabu (21/9) malam. Banyak yang mengatakan mereka diberikan surat panggilan di jalan atau di dalam tahanan polisi.
Organisasi hak asasi manusia OVD-Info mencatat ada 10 kantor polisi di Moskow yang memberikan surat kepada pengunjuk rasa. Setidaknya satu orang di Distrik Vernadsky Moskow menolak untuk menandatangani dan diancam dengan tindak pidana.
Seorang perempuan berkata kepada media online independen Mediazoba bahwa suaminya ditahan saat protes anti-perang berlangsung di Arbat, pusat kota Moskow.
Dia lantas dibawa ke kantor polisi, disodori surat panggilan dan diminta menandatanganinya ketika sedang direkam oleh polisi. Dia diberitahu agar datang di pos perekrutan pada hari Kamis.
Mikhail yang berusia 25 tahun meninggalkan Rusia ke negara tetangga Georgia pada awal perang dan hanya kembali ke kampung halamannya di Ural selama beberapa hari. Dia telah berencana untuk kembali, tapi khawatir dengan ancaman senjata nuklir Presiden Putin.
“Kami dalam keadaan panik. Di kota saya banyak yang sudah menerima surat panggilan, tapi saya tidak terdaftar di sini.”
Dia baru-baru ini mendapat pekerjaan yang baik di Tbilisi, namun itu jadi tidak berguna karena eskalasi militer Vladimir Putin meningkat.
“Pada 21 September, dia berhasil membuat kekacauan yang pertama kali dia buat pada 24 Februari [awal invasi],” ucap Mikhail.
“Saya sudah tidak peduli lagi, saya hanya mau hidup untuk hari ini.” (hanoum/arrahmah.id)