Oleh Uqie Nai
Member Menulis Kreatif
Di saat fokus dunia tertuju pada nasib warga Gaza, Palestina yang terus dibombardir dan di genosida Zionis Yahudi, nyatanya muslim Rohingya pun mengalami kondisi yang sangat memprihatinkan. Terusir dari negerinya, ditolak oleh negara yang dianggapnya aman.
Diberitakan ada sebanyak 146 pengungsi Rohingya terdampar di Kecamatan Pantai Labu, Kabupaten Deli Serdang, Sumatera Utara, pada Kamis (24/10). Meski sempat mendapat penolakan dari masyarakat, para pengungsi itu pun akhirnya dibiarkan mendarat.
Salah seorang pengungsi, M. Sufaid (24), menjelaskan mereka awalnya mengungsi di Bangladesh karena adanya konflik di Myanmar, tempat asal mereka. Sufaid dan pengungsi lainnya berharap bahwa Indonesia bisa memberikan suaka sebelum mengirim mereka ke negara ketiga. Selain itu, alasan memilih Indonesia karena masyarakatnya yang mayoritas muslim dianggap sebagai saudara mereka.
Sekretaris Camat Pantai Labu, Azizur, mengatakan bahwa jumlah pengungsi yang mencapai 146 orang, terdiri dari 64 pria, 62 wanita, dan 20 anak-anak. Azizur juga menjelaskan bahwa para pengungsi mendarat di muara Pantai Dewi Indah dengan kapal kayu besar sekitar pukul 04.00 WIB. (Kompas.com, Kamis, 24/10/2024)
Kapitalisme Penyekat Persatuan dan Suaka pada Umat Islam
Kedatangan pengungsi Rohingya ke Indonesia bukan kali ini saja terjadi. Pada tahun 2023 dikabarkan ada 256 warga Rohingya mendarat di perairan Kecamatan Gandapura, Kabupaten Bireuen, Aceh. Namun, warga di sekitar sepakat menolak pendaratan kapal yang mengangkut para pengungsi tersebut. Kedatangan mereka ini sempat direspon Kementerian Luar Negeri (Kemenlu) dengan pernyataannya bahwa Indonesia tidak memiliki kewajiban untuk menampung para pengungsi Rohingya dengan alasan tidak meratifikasi (mengadopsi) Konvensi Pengungsi tahun 1951.
Berbeda halnya dengan Direktur Eksekutif Amnesti Internasional Usman Hamid. Dia pernah menyatakan bahwa Indonesia bertanggung jawab memberi perlindungan kepada para pengungsi atau orang-orang pencari suaka. Meski tidak meratifikasi Konvensi Pengungsi 1951, namun Indonesia sebagai negara sudah memiliki banyak aturan terkait perlindungan hak asasi manusia (HAM).
Usman juga berpendapat bahwa dalam Deklarasi Universal HAM secara tidak langsung mencakup prinsip serupa dengan asas nonrefoulment (tidak boleh menolak/mengusir) atau prinsip tentang hak setiap manusia untuk tidak dipindahkan ke negara yang memiliki risiko penganiayaan atau risiko pelanggaran HAM. Jadi, meskipun tidak meratifikasi Konvensi Pengungsian, Deklarasi Universal HAM itu sudah mewajibkan semua negara untuk melindungi orang-orang yang mencari suaka atau orang-orang yang menjadi pengungsi. (Kompas.com, 25/11/2023.
Dengan fakta ini, umat Islam harus diingatkan kembali bahwa persoalan muslim Rohingya adalah persoalan umat Islam, sehingga umat harus peduli dan berupaya menyelamatkan mereka.
Sistem kapitalisme yang diterapkan saat ini jelas tidak memberi harapan. Meski Indonesia belum meratifikasi, setidaknya sebagai saudara sesama muslim memberikan pertolongan. Bahkan HAM sendiri, yang biasa dijadikan payung hukum oleh kapitalis Barat tak ubahnya pasal karet perundang-undangan. Bisa diberlakukan atau tidak tergantung siapa yang memiliki kepentingan dan siapa yang menjadi korban. Yang jelas sulit berpihak pada warga muslim, apalagi sebagai minoritas.
Barat (AS), sebagai komando kapitalisme tak memiliki kepentingan membela hak-hak kaum muslim yang terenggut oleh penjajahan. Mereka hanya peduli dan ingin mengamankan kepentingan sendiri. Makanya secara politik, Amerika dengan lembaga PBB nya tak begitu peduli dengan nasib Rohingya bahkan hampir tak terdengar gaungnya di perhelatan para pemimpin dunia sebagaimana ketika membahas persoalan Palestina. Hal ini disebabkan karena di Palestina ada Zionis yang sengaja dijaga eksistensinya oleh AS untuk menjaga kepentingannya di wilayah Timur Tengah.
Banyaknya pengungsi Rohingya ke Indonesia disebabkan pula oleh sekat nasionalisme. Anak turunan dari kapitalisme. Sekat nasionalisme sengaja dibuat dan dihembuskan Barat ke wilayah negeri muslim yang sudah terpetak-petak sejak runtuhnya Daulah Utsmani. Yaitu pada 3 Maret 1924 M oleh kuffar penjajah dan anteknya, Kemal Pasha Attaturk laknatullah. Akibatnya, negara-negara muslim hari ini tak tergerak untuk menolong saudaranya yang tertindas dengan alasan beda wilayah.
Akidah Islam yang harusnya menjadi pengokoh persatuan kaum muslim di dunia, tercerai-berai oleh nasionalisme. Bahkan, akidah ini tak mampu membangkitkan api perjuangan membela Palestina dan Rohingnya akibat kebiadaban Zionis Yahudi dan Junta Myanmar.
Untuk itu, Palestina, Rohingya, dan kaum muslim yang hari ini tertindas dan digenosida butuh solusi pasti dan hakiki. Yakni pemimpin yang hadir sebagai pemersatu umat. Pemimpin yang tidak berpegang pada nasionalisme ataupun mengadopsi kapitalisme sekuler dengan derivatnya.
Sistem Islam adalah Solusi dan Junnah bagi Umat
Kondisi miris dengan banyaknya muslim Rohingya yang menjadi pengungsi diakibatkan karena tidak adanya sosok pembela (junnah) yang melindungi umat Islam. Junnah tersebut adalah sistem pemerintahan Islam (daulah Islam) yang di dalamnya ada sosok pemimpin yang bertugas sebagai pelaksana syariat.
Banyaknya kaum muslim mencari suaka tentu tidak pernah terjadi pada masa kepemimpinan Islam. Sejak masa Rasulullah saw. hingga 3 Maret 1924, umat Islam bersatu di bawah satu kepemimpinan, satu negara, satu institusi politik, dan satu komando. Umat Islam bersatu tanpa memandang suku, bangsa, ras, mazhab, warna kulit, tingkat ekonomi, atau perbedaan lainnya.
Di bawah naungan sistem pemerintahan Islam, kaum muslim bersatu dengan ikatan yang kokoh yaitu akidah Islamiah. Muslim yang bukan warga negara Islam (berada di negeri kufur) akan mendapatkan pertolongan dan perlindungan jika membutuhkan karena mereka adalah saudara sesama muslim.
Untuk kasus Rohingya, penguasa Islam akan membebaskan wilayah Rakhine dari penjajahan Junta Militer Myanmar dan mengantarkan muslim Rohingya kembali ke rumah mereka. Selanjutnya, Rakhine akan menjadi wilayah Daulah Islam bersama wilayah muslim di sekitarnya, seperti Bangladesh, dan mendapatkan pengurusan (riayah) dan perlindungan keamanan dari daulah.
Sedangkan untuk Palestina, daulah Islam akan mengusir Zionis Yahudi dari tanah Syam dan mengembalikan muslim Palestina ke rumah mereka. Hal ini karena daulah Islam adalah perisai bagi kaum muslim sebagaimana sabda Rasulullah saw,
“Sesungguhnya seorang imam (pemimpin) itu adalah perisai, dimana (orang-orang) akan berperang mendukungnya dan berlindung (dari musuh) dengan (kekuasaan)-nya.” (HR. Muttafaq ‘alaih)
Wallahua’lam bis shawab