GAZA (Arrahmah.com) – Saat ini ada ratusan terowongan bawah tanah yang berada di bawah perbatasan antara Jalur Ghaza-Mesir dan sumber-sumber di kedua wilayah itu mengatakan, lebih dari 6.000 warga Palestina yang terlibat dalam “industri bawah tanah” yang menurut para pedagang kebanyakan dikontrol oleh otoritas Hamas.
Blokade ekonomi yang dilakukan Israel terhadap Jalur Ghaza mendorong warga Palestina di Ghaza memcari cara untuk memenuhi kebutuhan hidup mereka sehari-hari. Salah satu cara yang mereka lakukan adalah menggali terowongan-terowongan yang menembus sampai ke perbatasan Mesir. Melalui terowongan-terowongan inilah makanan dan bahan bakar disalurkan ke Jalur Ghaza, meski untuk menyalurkan “barang-barang berharga” itu nyawa menjadi taruhannya.
Saat ini ada ratusan terowongan bawah tanah yang berada di bawah perbatasan antara Jalur Ghaza-Mesir dan sumber-sumber di kedua wilayah itu mengatakan, lebih dari 6.000 warga Palestina yang terlibat dalam “industri bawah tanah” yang menurut para pedagang kebanyakan dikontrol oleh otoritas Hamas.
“Industri bawah tanah” itu menerapkan aturan yang ketat tentang apa saja yang boleh dan tidak boleh diperdagangkan dalam “bisnis” tersebut. Yang dilarang adalah perdagangan senjata, narkoba dan perdagangan manusia. Sementara para operator terowongan dikenakan pajak.
Mengomentari tentang perdagangan “bawah tanah” itu, juru bicara kementerian dalam negeri pemerintahan Hamas, Ehab Gheissen mengatakan, adalah hak rakyat Palestina melakukan apa saja yang mereka bisa lakukan untuk menghancurkan blokade yang dikenakan atas hidup mereka.
“Mereka punya hak untuk melakukan apa saja untuk mendapatkan apa yang mereka butuhkan, termasuk membuat terowongan-terowongan sepanjang kita mengawasi apa saja yang mereka bawa melalui terowongan-terowongan itu,” ujar Gheissen.
Sebagian dari terowongan-terowongan itu dulunya digunakan untuk menyelundupkan senjata pada para pejuang Palestina yang melakukan perlawanan terhadap tentara Zionis Israel. Sejak Hamas mengambilalih kekuasaan di wilayah Ghaza bulan Juni 2007, rezim Zionis Israel memblokade Jalur Ghaza dengan menutup semua perbatasan dengan Ghaza, sehingga warga Ghaza terisolasi bahkan sulit untuk sekedar mendapatkan bantuan internasional.
Langkanya barang-barang kebutuhan menyebabkan harga-harga barang seperti tepung gandum dan susu menjadi sangat mahal. Tak heran jika bisnis lewat “terowongan” ini nilainya mencapai jutaan dollar.
Analis bisnis di Ghaza, Sami Abdul Shafi mengatakan, sekarang ini anekdot yang sering terdengar di kalangan masyarakat Ghaza adalah bahwa terowongan-terowongan itu membawa aneka barang “kehidupan”, utamanya obat-obatan yang sangat dibutuhkan warga Ghaza.
“Mereka biasanya membawa masuk sepatu, coklat, minuman ringan 7-up, dan sejenisnya,” kata Abdul Shafi.
Tapi, tambah Abdul Shafi, lebih dari itu semua, 1,5 juta rakyat Ghaza berhak untuk mendapatkan kesempatan yang lebih baik untuk menjalankan roda perekonomiannya secara terbuka, tidak di bawah tanah.
Nyawa Menjadi Taruhan
Namun, betapapun besar arti terowongan-terowongan itu untuk menjaga agar perekonomian di Ghaza tetap berjalan, tetap ada konsekuensinya. Sedikitnya sejak Januari 2008, menurut data PBB, sudah 35 orang Palestina gugur di dalam terowongan-terowongan.
Abu Mohammed, seorang warga Ghaza, kehilangan anak lelaki dan saudara lelakinya ketika terowongan yang sedang mereka lalui runtuh. Sejak itu, ia melarang anak-anaknya yang lain untuk menggunakan terowongan.
“Apa yang bisa kami lakukan? Kami butuh makan dan mereka mencari nafkah untuk keluarga. Tapi sekarang, saya tidak akan mengizinkan mereka untuk bekerja di terowongan, semiskin apapun kami. Pekerjaan itu tidak layak,” kata Abu Mohammed.
Di sisi lain, Mesir mendapat tekanan dari Israel untuk melakukan tindakan atas keberadaan terowongan-terowongan tersebut. Dan Kairo menuruti kemauan rezim Zionis agar perdagangan lewat terowongan dihentikan. Data PBB menyebutkan, selama dua hari di bulan Agustus kemarin, otoritas pemerintah Kairo menghancurkan 28 terowongan milik warga Ghaza. Namun sikap keras otoritas Mesir tidak membuat takut warga Ghaza. Mereka menyatakan, otoritas Mesir tidak pernah menghancurkan semua terowongan karena “bisnis lewat terowongan” itu juga menjadi bisnis yang menguntungkan bagi banyak pedagang di Mesir.
Analis militer, Jenderal Mahmud Khalaf berpendapat, terowongan-terowongan itu seharusnya tidak dilihat sebagai sumber kehidupan bagi warga Palestina. “Kenyataannya, terowongan-terowongan itu dilihat sebagai medium yang vital, meski saya mengakui blokade yang dilakukan Israel membuat kehidupan warga Ghaza menjadi sangat sulit,” kata Jenderal Khalaf.
“Tetapi, saya yakin seharusnya terowongan-terowongan ini tidak bisa digunakan sebagai alat untuk maju ke depan,” sambungnya.
Hal serupa diungkapkan Abdul Shafi, meski faksinya, Hamas dituding sebagai operator-operator terewongan tersebut. Terowongan-terowongan itu, kata Shafi, membuat rakyat Palestina makin kehilangan kesempatan untuk mengembangkan perekonomiannya dengan layak.
“Dalam jangka panjang terowongan-terowongan tersebut akan menimbulkan konsekuensi berupa bencana, meskipun terowongan-terowongan itu digunakan untuk memenuhi kebutuhan warga untuk sesaat. Kehidupan di Jalur Ghaza tidak boleh berlanjut dengan mengandalkan operasi-operasi lewat terowongan bawah tanah,” tukas Shafi. (Hanin Mazaya/aljz/era)