GAZA (Arrahmah.id) – Warga Palestina di daerah kantong pantai yang terkepung di Jalur Gaza berunjuk rasa mendukung Tepi Barat yang diduduki setelah serangan baru-baru ini oleh pemukim ”Israel” pada akhir pekan yang menewaskan seorang warga Palestina, melukai ratusan orang, dan membakar banyak rumah.
Dalam wawancara terpisah kepada The New Arab, warga Palestina di Gaza mengatakan, “Kami [Palestina] memiliki hak penuh untuk mempertahankan tempat-tempat suci kami dan menghukum ”Israel” atas semua kejahatannya terhadap rakyat kami di Tepi Barat, Yerusalem, dan Jalur Gaza.”
Banyak yang memuji pembunuhan dua pemukim ”Israel” di Huwara dekat kota Nablus Tepi Barat yang diduduki sebelumnya pada Ahad (26/2/2023) seraya menggambarkan insiden itu sebagai operasi heroik.
“Operasi heroik Hawara menghidupkan kembali harapan kami sekali lagi bahwa Tepi Barat akan bangkit melawan ketidakadilan dan kejahatan ”Israel”,” kata Mohammed Afana, seorang penduduk dari Beit Lahia di utara Gaza, kepada TNA.
“Kami yakin bahwa saudara-saudara kami di Nablus, Jenin, Hebron dan semua kota Palestina mampu melawan Zionis,” tambahnya.
“Inilah waktunya bagi orang ”Israel” untuk mengetahui bahwa mereka tidak akan hidup aman atau damai di wilayah kami,” kata Jalal al-Madhoun, warga Gaza lainnya, kepada TNA. “Kami berdoa kepada Allah untuk menyelamatkan pemuda yang membunuh musuh kami di Huwara.”
Ayah tiga anak berusia 36 tahun itu lebih lanjut menambahkan, “Para pejabat Palestina, terutama di Otoritas Palestina (PA), telah berusaha mendorong rakyat kami di Tepi Barat untuk menyingkirkan perlawanan dan mempertahankan pendudukan ”Israel”. Tetapi generasi baru telah memutuskan untuk menghukum ”Israel”.”
Berdasarkan klaim yang dibuat oleh ”Israel”, seorang pemuda Palestina, yang mengenakan kaos dengan simbol yang berhubungan dengan Lion’s Den, dalam sebuah kendaraan yang melintas menembak dua pemukim ”Israel” di dekat pos pemeriksaan Huwara di selatan kota Nablus.
Menyusul insiden tersebut, ratusan pemukim ”Israel” melancarkan “serangan balas dendam” terhadap properti Palestina dan membakar puluhan rumah dan kendaraan.
Akibatnya, bentrokan meletus antara warga Palestina dan pemukim ilegal ”Israel”, yang menggunakan tembakan api dan gas air mata untuk menyerang masyarakat setempat.
Setidaknya 100 warga Palestina terluka akibat serangan itu, menurut Kementerian Kesehatan Palestina yang berbasis di Ramallah, yang mengatakan dalam sebuah pernyataan pers, “Kru medis kami hampir tidak dapat menjangkau orang-orang yang terluka karena tentara ”Israel” dengan sengaja menutup semua pintu masuk ke daerah yang diserang. ”
Serangan kekerasan oleh pemukim ”Israel” memicu kemarahan di Gaza, yang menyebabkan unjuk rasa di sepanjang pagar timur yang memisahkan daerah kantong pantai itu dari kota-kota Palestina yang diduduki ”Israel” sejak 1948.
Selama protes yang diselenggarakan oleh kelompok yang menamakan diri mereka “Confusion of the Night” para pemuda membakar ban karet dan melemparkan batu ke tentara “Israel” yang ditempatkan di daerah itu sebagai tanggapan atas serangan pemukim terhadap warga Palestina dan rumah mereka di Nablus.
Pada gilirannya, pasukan “Israel” melepaskan tembakan dan gas air mata ke arah para pengunjuk rasa, menuntut mereka pergi dan mengakhiri protes mereka atau mereka akan ditembak dengan peluru tajam.
Peristiwa tersebut bertepatan dengan pertemuan puncak KTT Aqaba Yordania, yang menjadi tuan rumah pertemuan antara pejabat “Israel” dan Palestina.
KTT tersebut, yang dihadiri oleh penasihat Timur Tengah Presiden AS Joe Biden, Brett McGurk, serta pejabat Yordania dan Mesir, terjadi ketika pasukan “Israel” terus melanjutkan serangan mematikan mereka yang sering terjadi di Tepi Barat yang diduduki, yang telah menewaskan lebih dari 60 warga Palestina sejak awal 2023.
Menurut PA yang dipimpin Fatah, delegasi Palestina menghadiri pertemuan itu untuk menuntut diakhirinya kebijakan pembunuhan, penyerangan, Yudaisasi Yerusalem yang diduduki, perluasan permukiman, dan tindakan sepihak “Israel”.
Namun, warga Palestina di Gaza mengutuk pertemuan itu dan menggambarkan posisi PA sebagai “memalukan”, karena tidak mengizinkan pasukan keamanan Palestina membela komunitas tak bersenjata di Tepi Barat.
“Saya tidak bisa membayangkan alasan yang mencegah angkatan bersenjata PA membela rakyat kami, terutama orang tua, wanita dan anak-anak,” kata Salama Attallah, seorang penduduk dari kamp pengungsi Jabalia di utara Gaza, kepada TNA.
“Para pejabat PA tidak akan mencapai apa pun untuk saudara-saudara kita di Tepi Barat, dan saya khawatir mereka juga akan melawan perlawanan,” tambah ayah empat anak berusia 39 tahun itu.
“Di Gaza,” jelasnya lebih lanjut, “meskipun kami menentang Hamas dalam banyak posisi politik, kami yakin mereka tidak akan membiarkan “Israel” membunuh dan menyerang orang-orang dengan mudah tanpa membela mereka dengan sekuat tenaga.” (zarahamala/arrahmah.id)