MALANG (Arrahmah.com) – Pemutaran Film Senyap, the look of silence, karya Joshua Open Heimer di Warung Kelir Kota Malang, terpaksa dihentikan oleh panitia. Sebab, seorang warga Malang yang mengaku sebagai korban keganasan Partai Komunis Indonesia (PKI) memaksa panitia, agar menghentikan pemutaran film tersebut.
“Tolong matikan, tolong hentikan, saya tidak rela kalau film ini diputar,” kata Haris Budi Kuncahyo, warga asal Kecamatan Sukun, Kota Malang, Rabu 10 Desember 2014, tulis VIVAnews.
Pria yang mengaku dekat dengan sebuah ormas Islam itu menyebut bahwa film itu menghasut penonton untuk melupakan pembantaian yang dilakukan oleh PKI di masa lalu.
“Sejarah saya, PKI itu membantai, merusak banyak masjid di Jawa Timur. Dari keterangan panitia film ini mengajak kita melupakan masa lalu. PKI itu sebuah parpol yang mengejar kekuasaan, bukan budaya,” katanya.
Pria yang datang dengan mengenakan sorban putih tersebut terus mendesak panitia untuk mematikan tayangan film tersebut. Meskipun mengaku belum pernah melihat film itu, namun Haris tetap ngotot meminta film untuk dimatikan.
“Saya tidak pernah nonton, saya hanya tahu dari penjelasan pemerintah. Acara ini dibuka untuk umum, jika tertutup mana mungkin saya menerobos masuk,” ujarnya.
Haris sendiri awalnya merangsek masuk ke dalam warung, dimana saat itu penuh dengan pengunjung yang akan menyaksikan film dokumenter tersebut.
Baru berjalan beberapa menit Haris kemudian berdiri dan berteriak meminta operator mematikan penanyangan.
Namun tidak lama berjalan, lapor Detik, warga mendatangi Warung Kelir dan meminta diskusi bubar. Kegiatan tersebut dianggap warga sudah meresahkan
Aparat keamanan berbaju bebas sejak awal sudah bersiaga di lokasi. Setiap kegiatan tidak luput dari pengawasan.
Pengelola Warung Kelir Vivi mengaku hanya menerima sewa tempat dari panitia.
Dirinya tidak mengetahui isi dari kegiatan yang dihentikan. “Kami ini hanya menerima sewa tempat, tidak tahu apa-apa,” katanya saat dimintai keterangan warga dan aparat keamanan.
Warga sudah kesal dengan adanya kegiatan pemutaran film dan diskusi meminta semua pengunjung meninggalkan warung. “Ini kafe tidak ada ijinnya, dan justru membuat resah. Kami meminta semua bubar,” tegas Ketua RW setempat Gunarno terpisah.
Koordinator Lembaga Bhineka, Andry Juni menyebut permintaan untuk tidak memutar film Senyap sudah diterima sebelumnya. “Ada yang mendatangi kami agar tidak memutar film,” katanya kepada wartawan.
“Kami duga akan dihentikan. Karena dari aparat militer setempat sudah datang. Bersamaan kami mendapatkan informasi warga akan menghentikan pemutaran film,” sambungnya.
Padahal, kata Andry film dokumenter ini mengangkat sisi kemanusiaan dan rekonsiliasi keluarga korban dan pelaku. “Dalam film tidak ada menyudutkan siapapun,” sambungnya.
Dia menyatakan upaya pelarangan pemutaran tersebut adalah kali kedua dalam satu hari yang sama. “Pelarangan pertama dari Kodim tadi siang, meskipun akhirnya kami dibolehkan memutar,” katanya.
Di antara tujuh titik pemutaran di hari yang sama di Kota Malang, tiga titik di antaranya berakhir dengan pelarangan. “Ada di Warung Kelir, Warung Unyil, dan Universitas Brawijaya,” katanya.
Sementara itu, pemutaran di Surabaya berlangsung dengan lancar. “Ada pemutaran di dua kota, Malang dan Surabaya. Surabaya lancar,” katanya.
Film Senyap
Dalam sinopsis film Senyap tertulis, “Melalui karya Joshua Oppenheimer yang memfilmkan para pelaku genosida di Indonesia, satu keluarga penyintas mendapatkan pengetahuan mengenai bagaimana anak mereka dibunuh dan siapa yang membunuhnya. Adik bungsu korban bertekad untuk memecah belenggu kesenyapan dan ketakutan yang menyelimuti kehidupan para korban, dan kemudian mendatangi mereka yang bertanggung jawab atas pembunuhan kakaknya – sesuatu yang tak terbayangkan di negeri dengan para pembunuh yang masih berkuasa.”
Adapun data film Senyap sebagai berikut:
Durasi: 98 menit (25fsp), 102 menit (24fsp)
Tahun produksi: 2014
Bahasa: Indonesia, Jawa
Negara Produksi: Denmark, Indonesia, Norwegia, Finlandia, & Inggris
Produser Utama: Final Cut for Real, Denmark
Ko-produser: Anonymous (Indonesia), Piraya Film (Norwegia), Making Movies (Finlandia), and Spring Films (Inggris). (azm/arrahmah.com)