BASRA (Arrahmah.id) – Selama tiga abad, Masjid Al-Siraji, dengan menara yang terbuat dari batu bata dan puncaknya yang dihiasi dengan ubin keramik biru, merupakan ciri khas kota Basra di Irak bagian selatan.
Dalam beberapa tahun terakhir, menara ini merupakan salah satu dari sedikit tempat wisata di kota yang kaya akan minyak, meskipun penduduk setempat mengeluhkan bahwa menara tersebut menjorok ke jalan, sehingga mengganggu lalu lintas.
Pada Jumat dini hari, menara setinggi 11 meter (33 kaki) itu diratakan dengan tanah, dengan gubernur Basra menghadiri pembongkaran, yang memicu gelombang reaksi di media sosial di antara para pendukung pelestarian warisan budaya Irak.
Situs-situs warisan di Irak, yang merupakan rumah bagi berbagai peradaban sejak lebih dari enam ribu tahun yang lalu, telah mengalami penjarahan dan kerusakan selama beberapa dekade konflik sebelum dan sesudah invasi AS pada 2003. Yang paling terkenal, kelompok militan ISIS menghancurkan banyak situs kuno di Irak utara, yang menimbulkan kemarahan di kalangan warga Irak dan luar negeri.
Di tengah ketenangan yang relatif terjadi dalam beberapa tahun terakhir, negara ini telah menyaksikan kebangkitan arkeologi. Banyak artefak yang dicuri telah dikembalikan, dan situs-situs warisan yang rusak seperti masjid Al-Nouri di Mosul yang dihancurkan oleh ISIS telah dipulihkan setelah Irak memohon bantuan dana internasional.
“Namun, kali ini, tindakan pihak berwenang resmi yang telah mengakhiri warisan kami,” kata Jaafar Jotheri, asisten profesor Geoarkeologi di Universitas Al-Qadisiya, lansir AP.
Masjid Siraji dengan menaranya dibangun pada 1727. Masjid itu sendiri tidak termasuk dalam penghancuran.
Gubernur Basra, Asaad Al-Eidani, mengatakan dalam sebuah pernyataan publik bahwa pemerintah setempat telah menerima izin dari Kantor Wakaf Sunni Irak, yang memiliki otoritas atas situs-situs keagamaan Sunni, untuk pembongkaran menara tersebut. Ia mengatakan bahwa seluruh bagian masjid akan diganti dengan masjid modern yang dirancang lebih baik.
“Beberapa orang mungkin mengatakan itu bersejarah, tapi itu berada di tengah jalan, dan kami merobohkannya untuk memperluas jalan demi kepentingan umum,” kata gubernur dalam sebuah video yang diposting di halaman Facebook resmi Kantor Media Kegubernuran Basra.
Signifikansi menara ini “tidak terletak pada konteks religius, tetapi lebih pada nilai historisnya,” kata Adil Sadik, seorang insinyur perminyakan dari Basra. “Menara ini bukan milik individu atau kelompok tertentu, melainkan milik kolektif kota dan bagian dari memori kolektifnya.”
Penghancuran menara ini telah menarik perhatian pada kesenjangan dalam kerangka hukum Irak untuk pelestarian warisan budaya. Negara ini memiliki dua undang-undang yang terpisah, yaitu Undang-Undang Perlindungan Barang Antik dan Warisan dan Undang-Undang Wakaf Agama, yang terkadang bertentangan.
Dalam kasus situs bersejarah keagamaan, otoritas Badan Wakaf sering kali menggantikan otoritas Dewan Barang Antik dan Warisan Irak.
Ahmed Al-Olayawi, juru bicara Kementerian Kebudayaan, mengkritik penghancuran menara tersebut. Dia mengatakan bahwa kementerian sebelumnya telah mengajukan proposal kepada pemerintah Basra agar menara tersebut dibongkar dan dipindahkan dari jalan. Al-Olayawi menyerukan penyelidikan yudisial atas pembongkaran tersebut.
Kantor Wakaf Sunni, dalam sebuah pernyataan resmi, membantah telah memberikan izin untuk pembongkaran tersebut dan menyatakan keterkejutannya.
“Kami meminta pemerintah Basra untuk merelokasi menara tersebut, bukan menghancurkannya,” ujar Kepala Lembaga Wakaf Sunni, Mishaan Al-Khazraji, dalam sebuah pidato yang disiarkan di televisi.
Ali Nazim, seorang penduduk Basra, mengatakan bahwa ia setuju dengan tujuan perluasan jalan dan memungkinkan arus lalu lintas yang lebih baik, namun “cara yang dilakukan telah menyebabkan kemarahan.”
Insiden ini telah memicu pembicaraan yang lebih luas tentang pelestarian situs-situs bersejarah dan warisan budaya Irak.
“Di negara lain, mereka bahkan melindungi sebatang pohon saat melakukan perluasan jalan,” kata Ali Hilal, seorang fotografer Irak yang berdedikasi untuk mempromosikan situs-situs bersejarah di Irak. “Mengapa kita menghancurkan situs berusia 3 abad untuk melebarkan jalan?”
Setelah keributan tersebut, gubernur Basra mengatakan bahwa sebuah perusahaan Turki yang mengkhususkan diri dalam pelestarian warisan budaya mungkin akan bertanggung jawab untuk membangun kembali menara tersebut dari reruntuhan.
Jotheri mengatakan bahwa ia meragukan hal itu mungkin terjadi. Dia mencatat bahwa batu bata menara tidak diberi nomor untuk memungkinkan pemasangan kembali, dan penggunaan buldoser merusak fitur unik batu bata.
“Setiap pengunjung yang datang ke Basra selama 300 tahun terakhir telah melihat dan membentuk kenangan dengan” menara ikonik tersebut, katanya. “Namun sekarang, baik anak saya maupun anak Anda tidak akan memiliki kesempatan untuk menyaksikannya.” (haninmazaya/arrahmah.id)