GAZA (Arrahmah.com) – Selama berhari-hari jenazah warga Gaza yang menjadi korban serangan brutal “Israel” memenuhi kamar-kamar mayat. Saat gencatan senjata antara zionis dan pejuang Palestina, para relawan datang untuk menggali kuburan di pasir di Rafah, kota syuhada Gaza yang hancur oleh pemboman biadab “Israel”.
Selama tiga hari kota selatan strategis itu terasa bagaikan neraka.
“Tank-tank [Israel] berdatangan,” kata Muhammad Abu Luli (50), yang menyelamatkan diri dari rumahnya setelah dimulainya pemboman.
“Ada serangan dari udara, darat dan laut. Bom menghujani mana-mana. Saya belum pernah melihat sesuatu seperti itu dalam hidup saya ” tambahnya.
Di wilayah itu, rumah-rumah rata dengan tanah atau hancur sebagian akibat serangan “Israel”. Aspal di jalan telah hancur oleh tank-tank berat “Israel”.
Rafah mengalami beberapa pertempuran terburuk selama perang sebulan antara “Israel” dan Hamas.
Tentara “Israel” melakukan serangan berdarah dan berkepanjangan terhadap Rafah, di mana terdapat jaringan terowongan yang digunakan untuk menyelundupkan persediaan bahan kebutuhan dasar dan terkadang senjata Hamas dari Mesir akibat blokade panjang yang dilakukan “Israel” selama delapan tahun.
Saudara Muhammad Mahmud Abu Luli sedang berlindung di sebuah sekolah PBB di pusat Rafah.
“Tapi ada pemboman ‘Israel’ di luar sekolah itu, di jalanan. Aku melihat semuanya, ada genangan darah di tanah,” kata pria berjanggut putih lebat itu.
“Rafah adalah sebuah kota syuhada!” ia menambahkan, disambut anggukan orang-orang lainnya yang sedang berdiri di dekatnya dan anak-anak mengumpulkan potongan-potongan peluru dan mortir dari tanah.
Serangan begitu intens hingga penduduk setempat terjebak di dalam, tidak dapat menguburkan korban tewas pada hari yang sama atau bahkan pada hari berikutnya.
Saat “Israel” dan Hamas setuju untuk melakukan 72 jam gencatan senjata, yang dimulai pada hari Selasa (5/8/2014), warga di Rafah baru bisa mulai untuk keluar dan menguburkan jenazah.
“Kami harus menggunakan semua tempat di rumah sakit dan rumah-rumah tetangga dan menyewa lemari es untuk sayuran dan meletakkan jenazah di dalamnya. Situasi ini adalah sebuah tragedi,” kata Mohammed Al-Masri, Direktur Rumah Sakit Kuwait di Rafah.
Di sebuah pemakaman yang hanya 100 meter dari perbatasan Mesir, para pria menggali parit di pasir dan memasukkan blok semen untuk membentuk persegi panjang seperti makam. Setiap jenazah ditempatkan dalam persegi panjang itu, lalu seluruh liang ditutup menjadi sebuah kuburan massal.
Tiga puluh gundukan kecil tak bernama dengan cepat terbentuk di pasir. Sementara, di luar pemakaman sekelompok kerabat berkabung atas kematian Sumaya Abid Duhair, seorang perawat yang gugur dalam serangan udara di rumahnya.
“Kami harus tetap bekerja karena jenazah lainnya akan dimakamkan di sini,” kata Nidal Shalagel, seorang relawan berusia 30-an. “Itu sudah cukup. Kami perlu ketenangan. Tidak ada yang menyukai kematian.”
(banan/arrahmah.com)