Setelah empat tahun yang panjang dan berdaran dan jumlah korban jiwa yang tak terhitung jumlahnya, pertempuran untuk kota yang terkepung, Aleppo, tampaknya berakhir pada Selasa kemarin.
Para pejuang yang telah berjuang keras untuk mempertahankan kota terbesar kedua Suriah sejak merebut kendali pada 2012, pada akhirnya setuju untuk menyerah dengan imbalan amnesti dan evakuasi warga sipil yang tersisa.
Berdasarkan kesepakatan yang ditengahi oleh Rusia, yang mendukung rezim Bashar Asad, dan Turki yang mendukung oposisi, mereka yang tertinggal akan dikirim ke pedesaan yang dikuasai oleh pejuang Suriah di luar Aleppo.
Bus pertama diharapkan keluar pagi ini.
Situasi dalam beberapa pekan terakhir menjadi neraka di bumi. PBB menggambarkan situasi di Aleppo sebagai krisis kemanusiaan lengkap.
Dalam sebuah wilayah kantong kecil, puluhan ribu warga yang lelah dan lapar, telah berjongkok, dibangunan yang ditinggalkan dan telah dibombardir saat hujan turun.
Seluruh hari, menurut relawan White Helmets, Ibrahim Abu Al-Leith, ia mendengar tangisan perempuan dan anak-anak dari bawah reruntuhan rumah mereka yang diratakan, dengan tidak ada satu orang pun yang bisa menjangkau mereka.
Tidak ada lagi ambulans, rumah sakit yang beroperasi atau pusat medis di Aleppo timur yang terkepung, untuk merawat mereka.
“Kami mendengar rintihan mereka tapi kami tidak bisa menyelamatkan mereka karena penembakan berat yang konstan,” ujar Leith.
“Mayat memenuhi jalan-jalan.”
Satu per satu kontak yang biasa dihubungi oleh Telegraph yang berada di Aleppo telah menghilang. Pesan ke ponsel mereka tidak lagi terjawab.
Harapannya adalah bahwa mereka aman di daerah rezim, tapi banyak yang telah menyatakan kekhawatiran hilangnya mereka bahwa mereka akan dihukum karena “pemberontakan” mereka.
Di antara mereka adalah Bana Al-abed, gadis kecil berusia tujuh tahun, dan keluarganya, yang nasibnya tidak diketahui. Ibunya takut jika mereka berakhir di tangan rezim mereka akan ditangkap, disiksa atau lebih buruk dari itu.
Ketakutan masyarakat akan serangan balas dendam tampaknya telah menjadi kenyataan. PBB melaporkan bahwa lebih dari 80 warga sipil telah dibunuh dengan kejam oleh pasukan pro-rezim Asad dalam 48 jam terakhir.
Tentara rezim Asad dan milisi Syiah sekutunya telah memasuki rumah-rumah penduduk setelah mereka merebut wilayah dan mengeksekusi warga di tempat.
“Laporan yang kami punya, orang-orang ditembak di jalan saat mencoba melarikan diri dan ditembak di rumah mereka,” ujar Rupert Colville, juru bicara badan Hak Asasi Manusia PBB.
Sekitar 11 perempuan dan 13 anak dibunuh di empat lingkungan yang berbeda. Satu keluarga berjumlah delapan orang dieksekusi di rumah mereka di lingkungan Bustan Al-Qasr setelah menolak untuk pergi.
Lebih dari 6.000 pria dan anak laki-laki telah dilaporkan hilang sejak pertengahan November, setelah melintasi Aleppo timur ke sisi barat yang dikuasai oleh rezim.
Seorang pekerja LSM mengatakan kepada Telegraph pekan lalu bahwa ia dibawa pergi oleh petugas dinas rahasia setelah namanya terdapat dalam daftar.
Pasukan rezim Asad dan sekutunya telah berupaya keras untuk merebut kembali seluruh kota Aleppo dalam satu bulan terakhir. Ratusan orang telah tewas dalam penembakan dan pemboman sejak ofensif dimulai.
Namun, warga sipil telah hidup di bawah pengepungan, dengan sedikit makanan atau perawatan medis sejak Agustus, ketika tentara brutal pro-rezim menduduki jalan terakhir untuk keluar.
Warga telah memohon kepada pemerintah asing untuk campur tangan.
“Dalam pembantaian lain dan dalam perang lain, seperti Srebrenica, mereka dapat mengklaim bahwa mereka tidak tahu,” ujar aktivis Monther Eatky.
“Mereka tidak bisa mengklaim itu di sini. Kami telah mendokumentasikan setiap kejahatan perang, setiap serangan kimia. Ini terjadi secara real time di depan mata dunia.””Tapi tetap saja mereka tidak melakukan apapun.”
AS yang selama lima tahun terakhir menyeru untuk menghapus Asad, terus tidak bersuara dan menjadi bernegosiasi dengan Rusia mengenai bagaimana warga sipil yang tersisa di wilayah oposisi harus dievakuasi.
Setengah hati pendekatan Barat terhadap perang Suriah-memberikan sedikit dukungan kepada pasukan oposisi, tapi tidak pernah cukup untuk mengalahkan rezim atau Rusia sekutunya-adalah kegagalan sejati, menurut pengamat Timur Tengah Peter Apps berpendapat. (haninmazaya/arrahmah.com)