Di salah satu sisi pagar, lusinan tentara “Israel” berbaring di belakang bukit pasir, melacak para demonstran Palestina melalui garis bidik penembak jitu mereka. Sedang di sisi lain, wanita-wanita muda, dengan syal kaffiyeh menutupi separuh wajah mereka untuk menghindari gas air mata, berdiri di depan para pria muda yang melakukan demonstrasi, memberikan perlindungan.
“Perempuan lebih kecil kemungkinan untuk ditembak,” ujar Taghreed al-Barawi, wanita berusia 26 tahun saat menghadiri demonstrasi ketiga berturut-turut di Gaza dekat perbatasan “Israel” dengan adik perempuannya dan teman-temannya.
“Kami hidup dalam masyarakat yang didominasi laki-laki sehingga partisipasi perempuan dalam protes bisa menjadi pemandangan yang aneh bagi sebagian orang di Gaza. Namun, kali ini laki-laki entah bagaimana lebih bisa menerima dan mendukung. Sepertinya mereka akhirnya menyadari bahwa kita semua adalah bagian dari aksi ini dan perempuan harus hadir,” kata Barawi kepada Al Jazeera.
Tetapi wanita bukanlah jaminan untuk mendapat perlindungan.
Sekitar 1.600 pengunjuk rasa, termasuk 160 wanita, telah terluka dan lebih dari 30 telah tewas oleh penembak jitu Israel sejak gerakan ‘The Great Return March’ dimulai pada 30 Maret, bertepatan dengan peringatan Hari Tanah untuk Palestina.
Meski pun Barawi berkali-kali tersedak gas air mata dan merasa seperti hendak pingsan, namun pikiran untuk berhenti melakukan protes tidak pernah terlintas dalam benaknya.
“Saya memiliki perasaan keberanian yang aneh ini, atau saya tidak tahu harus menyebutnya apa – seolah-olah semakin dekat saya sampai ke perbatasan, semakin kuat keinginan saya untuk maju. Seperti ada dorongan lain agar kami datang lebih dekat, pulang dan mengunjunginya (wilayah yang dirampas ‘Israel’ pada tahun 1948).”
“Secara pribadi, saya juga terinspirasi dan tertarik oleh Ahed Tamimi dan keberaniannya melawan tentara ‘Israel’,” kata Barawi.
The Great Return March adalah aksi damai yang menyerukan hak pengembalian pengungsi Palestina ke rumah mereka, sesuai Resolusi PBB 194, di mana mereka diusir pada tahun 1948 ketika negara “Israel” diciptakan.
Ribuan orang telah berpartisipasi dalam aksi massa, dengan puluhan tenda didirikan di sepanjang perbatasan “Israel”. Setiap tenda diberi label dengan nama kota tempat keluarga itu diusir pada tahun 1948. Ini adalah protes massa terbesar yang pernah ada di Gaza sejak Intifada pertama.
Wilayah Palestina dengan hampir dua juta penduduk hanya dapat diakses melalui Mesir dan “Israel” tetapi blokade “Israel”-Mesir telah menyengsarakan penduduk di Jalur Gaza selama 11 tahun. Kondisi kehidupan memburuk selama bertahun-tahun dan pengangguran merosot sekitar 43 persen. Penduduk mengatakan mereka telah mencapai titik puncak penderitaan.
Orang-orang Palestina telah melakukan protes di sepanjang perbatasan Gaza setiap Jum’at sore selama bertahun-tahun, tetapi yang membuat protes kali ini berbeda adalah bahwa sejumlah besar perempuan – baik yang dewasa atau pun anak-anak – telah aktif berpartisipasi dalam skala besar yang belum pernah dilihat sebelumnya.
Dan itulah mengapa protes hari Jum’at ini diberi label “Women’s March of Gaza” (Pawai Wanita Gaza).
‘Tugas dan tanggung jawab saya’
Di antara mereka yang terluka dan dibunuh oleh penembak jitu “Israel” sejauh ini tidak hanya para demonstran, tetapi juga wartawan dan tenaga medis.
Razan Al-Najjar adalah perawat sukarelawan berusia 20 tahun yang telah bekerja selama 12 jam setiap hari sejak demonstrasi itu dimulai dan membantu mereka yang terluka.
Najjar sendiri telah terluka. Dia telah pingsan dua kali karena menghirup gas, sementara pada Jum’at (13/4) pergelangan tangannya patah setelah jatuh saat berlari untuk menolong demonstran yang terluka.
Banyak yang mendesaknya agar ikut ambulans ke rumah sakit, tetapi Najjar tetap bekerja.
“Tentara ‘Israel’ berniat untuk menembak sebanyak yang mereka bisa. Ini gila dan saya akan malu jika saya tidak ada di sana untuk orang-orang yang membutuhkan saya,” kata Najjar.
“Sudah tugas dan tanggung jawabku untuk berada di sana dan membantu mereka yang terluka.”
Beberapa luka yang ditangani Najjar dan rekan-rekannya sangat mengerikan – banyak pengunjuk rasa yang terluka tiba dengan luka besar yang menganga, daging mereka sepenuhnya terpapar karena penggunaan peluru eksplosif – peluru yang akan meledak saat mengenai sasaran. Banyak dari mereka yang kakinya harus diamputasi.
“Jagalah ibuku dan saudara-saudaraku, Razan,” kata seorang pemuda kepada Najjar, katanya, ketika dia berangkat ke lapangan untuk mengambil bagian dalam demonstrasi itu. Dia ditembak mati hari itu oleh seorang sniper “Israel”.
“Ini membuat hati saya hancur ketika beberapa pemuda yang terluka atau tewas menyampaikan pesan mereka di depan saya,” kata Najjar kepada Al Jazeera. “Beberapa bahkan memberi saya aksesoris (sebagai hadiah) sebelum mereka meninggal.”
Salah satu foto yang telah viral menunjukkan seorang remaja berusia 16 tahun, Hind Abu Ola melarikan diri dari pagar perbatasan dan empat pria muda bergegas di belakangnya, menghubungkan tangan membentuk rantai manusia untuk melindunginya dari desingan peluru.
Remaja itu telah melihat bahwa para pemuda telah mati lemas dan kehilangan kesadaran karena menghirup gas air mata yang jatuh di dekat pagar perbatasan.
Berbekal bawang dan sebotol parfum di tasnya, dia kemudian berlari ke arah mereka dan membantu menyadarkan mereka.
Pada saat itu, mereka menyadari bahwa mereka berada di antara tembakan dari penembak jitu “Israel”, sehingga mereka berlima mulai berlari kembali.
Komite Wanita dari pawai tersebut kemudian menghormati Abu Ola, yang telah menjadi simbol perlawanan perempuan.
Barawi, salah seorang pengunjuk rasa, menjelaskan bahwa partisipasi aktif perempuan telah membantu dalam menyatukan warga Palestina dan memperkuat gerakan.
“Saya pikir hal itu adalah sesuatu yang disadari oleh Hamas dan Fatah dalam demonstrasi tersebut. Tidak ada perbedaan antara syuhada’ Hamas dan syuhada’ Fatah. Siapa pun yang gugur maka wanita Palestina akan berduka. Demonstrasi ini sangat bagus karena mampu menyita perhatian orang. Saya melihat tidak ada bendera yang dikibarkan kecuali bendera Palestina,” kata Barawi.
“Saya menyukai rasa persatuan yang kita semua rasakan ketika pria dan wanita muda saling membantu.”
Partisipasi perempuan juga menarik perhatian juru bicara tentara “Israel” Avichay Adraee yang menyarankan melalui Twitter bahwa perempuan Palestina sebaiknya tinggal di rumah.
Pemimpin perempuan lebih mungkin mencapai tujuan
Wanita Palestina telah berkali-kali di masa lalu memimpin perlawanan tanpa kekerasan yang sukses melawan pendudukan “Israel”.
Penelitian menunjukkan bahwa gerakan yang menyambut perempuan dalam posisi kepemimpinan lebih mungkin mencapai tujuan mereka karena penggunaan taktik non-kekerasan, yang biasanya mengarah pada masyarakat yang lebih damai dan demokratis.
“Wanita Palestina adalah pilar integral dari gerakan dan komunitas nasional. Dia adalah pasien yang sabar, ibu yang berjuang, kakak perempuan dan anak perempuan kecil,” kata Hamad, ketua Komite Perempuan.
“Kehadiran perempuan dalam demonstrasi ini mengirimkan pesan yang jelas kepada dunia bahwa protes kami adalah tanpa kekerasan dan damai. Wanita Palestina adalah wanita pejuang, mereka tidak segan untuk turun ke medan juang, terutama ketika hal tersebut menyangkut kemerdekaan dan nasionalisme Palestina.”
Untuk aksi protes pada 20 April, komite perempuan akan mengatur program budaya dan kesadaran. Wanita lansia akan menceritakan kisah mereka tentang Nakba – pembersihan etnis Palestina pada tahun 1948 – kepada yang lebih muda dan membuat makanan tradisional Palestina, sementara para pemuda akan melakukan tarian tradisional dabke.
“Ini akan menanam banyak benih kesadaran di kalangan generasi muda perempuan,” kata Hamad.
Rana Shubair telah membawa anak-anaknya secara teratur untuk mengikuti aksi demonstrasi tersebut sehingga mereka dapat belajar tentang sejarah tanah air mereka. Tempat yang terletak hanya beberapa kilometer jauhnya, yang kini menjadi desa-desa palsu berpagar di “Israel”, banyak yang hancur selama Nakba dan sekarang tempat-tempat itu telah ditinggalkan oleh pemilik aslinya.
Setelah mengetahui bahwa sebagian besar wilayah Palestina telah dirampas “Israel”, anak dari temannya bertanya: “Mengapa kita tidak memberi tahu polisi?” Shubair menceritakan.
“Saya pikir apa yang diusulkan anak ini adalah apa yang kita, warga Palestina, cari – agar “Israel” bertanggung jawab dan menuntut penerapan resolusi PBB 194 tentang Hak untuk Kembali,” kata Shubair.
“Sebagai orang Palestina, saya memiliki seluruh Palestina dan saya punya hak untuk mengunjungi kota Palestina. Saya ingin menjadi bagian dari demonstrasi ini untuk mewujudkan perubahan yang saya yakini.” (Rafa/arrahmah.com)