JAMBI (Arrahmah.com) – Wakil Menteri Agama (Wamenag) menolak anggapan tentang kurang pentingnya mempelajari bahasa Arab bagi para pemuka agama.
“Hemat saya, kurang benar jika ada anggapan tidak harus menguasai kitab kuning, karena sudah ada terjemahan. Tidak harus susah payah dan membebani diri untuk belajar bahasa Arab,” kata Wamenag Nasaruddin Umar saat melantik Dewan Hakim Musabaqah Qira’atil Kutub (MQK) tingkat Nasional ke-V Tahun 2014, di Rumah Dinas Gubernur Jambi, Provinsi Jambi, Selasa (2/9/2014) malam, diberitakan laman kemenag.go.id
“Terlalu banyak resiko jika seorang ahli agama atau kiai/ulama tidak belajar kitab kuning. Bagaimana nanti masyarakat kita? Akan banyak masalah jika seorang pemuka agama tidak paham Bahasa Arab,” tambanya.
Menurut dia, mempelajari kitab kuning di pesantren adalah sebuah kewajiban bagi para santri dan penting bagi tegaknya NKRI. Fakta membuktikan semangat para santri dalam merebut, mempertahankan, dan mengisi kemerdekaan bangsa tidak bisa diragukan.
“Saya masih ingat, ada seorang pengamat dari Amerika mengatakan, bahwa sebelum tahun 2000, Indonesia akan seperti Balkan. NKRI terpecah sekitar 20 negara kecil. Kini sudah 2014, namun Indonesia masih utuh,” papar Nasaruddin.
Kenapa kita tidak bisa dihancurkan? Menurutnya, sebuah studi mengatakan, bahwa sepanjang Umat Islam Indonesia dan pondok pesantren satu visi dan tujuan, maka NKRI tidak akan bisa dipecah dan dihancurkan. “Jelas, pondok pesantren merupakan roh NKRI yang sesungguhnya, diakui atau tidak, kekuatan umat lebih solid daripada simbol-simbol formal,” tandasnya.
Mantan Dirjen Bimas Islam ini juga mengajak para kiai dan masyarakat Islam untuk mengaktualisasikan nilai-nilai pesantren agar tak tergerus zaman. “Kita tidak perlu berubah menjadi Ponpes Modern. Di beberapa negara seperti Inggris dan Australia, pondok pesantren adalah lembaga pendidikan paling modern, paling efektif dan efisien dalam mendidik anak. Makanya di Inggris dan di Australia digalakkan model pendidikan ala pesantren, yakni boarding school,” imbuh Wamenag.
Nasaruddin mengajak semua pihak, khususnya masyarakat pesantren, untuk terus mempertahankan keberadaan pondok pesantren. Menurutnya, kegiatan MQK merupakan salah satu upaya Kementerian Agama untuk berperan aktif dalam meneguhkan posisi pesantren di tengah masyarakat kita.
“Saat ini, tiap hari, mungkin mudah mencetak 2 profesor, tapi menghasilkan kiai, sungguh sangat sulit. Karena kiai tidak semata bicara tentang ilmu pengetahuan, namun juga berbicara tentang ketawadu’an, keikhlasan, hati nurani, dan kewelasasihan,” ungkap dia.
Pada kesempatan itu, mantan Menteri Agama KH Said Agil Husein al-Munawar didapuk menjadi ketua dewan dalam pelantikan tersebut. Sementara wakil ketua adalah KH. D. Hidayat dari Pesantren Luhur Sabilussalam Tangerang.
Dewan hakim MQK ini diisi oleh para pengasuh pondok pesantren dan akademisi Perguruan Tinggi Agama Islam (PTAI). Mereka akan menjadi juri pada mata lomba yang dibagi dalam tiga tingkatan, Ula (dasar), Wustha (menengah), dan Ulya (tinggi). Adapun disiplin ilmu yang dilombakan antara lain: Tafsir, Hadits, Fiqih, Ushul Fiqih, Akhlak, dan Tarikh. (azm/arrahmah.com)