NEW YORK ( Arrahmah.Id) – Surat kabar Wall Street Journal melaporkan bahwa gencatan senjata rapuh di Gaza dimulai tanpa “Israel” berhasil mencapai tujuan utamanya dalam perang, yakni menghancurkan Hamas. Namun, Perdana Menteri “Israel”, Benjamin Netanyahu, berjanji kepada para pendukung sayap kanannya yang kecewa bahwa kemenangan penuh akan dicapai di kemudian hari.
Dalam laporan yang ditulis oleh Marcus Walker, Wall Street Journal mencatat bahwa Hamas mengklaim kemenangan meskipun mengalami kerugian besar. Hamas menampilkan para pejuangnya di jalan-jalan Gaza, karena mereka berhasil mencapai tujuan utama mereka, yaitu bertahan hidup dari serangan tersebut. Namun, semua keuntungan strategis dari 15 bulan perang di Timur Tengah hampir sepenuhnya menguntungkan “Israel.”
“Israel” Keluar Lebih Kuat
Menurut Wall Street Journal, “Israel” keluar dari perang ini dengan posisi lebih kuat setelah berhasil melemahkan banyak musuhnya, meskipun ancaman dari mereka masih ada. Serangan besar terhadap musuh-musuh “Israel” dianggap sebagai pencapaian penting bagi bangsa itu, sekaligus menjadi kompensasi atas isolasi diplomatiknya di tengah kehancuran yang luar biasa di Gaza.
Perang Belum Berakhir
Namun, perang belum benar-benar berakhir. Netanyahu, yang menghadapi kritik dari rekan koalisinya yang berhaluan kanan ekstrem, masih menegaskan bahwa “Israel” dapat melanjutkan pertempuran setelah tahap awal gencatan senjata. Tuduhan saling melanggar perjanjian pun mulai muncul bahkan sebelum para tawanan pertama kembali ke rumah dari Gaza.
Selama berbulan-bulan, pemerintah “Israel” dan militer saling menyalahkan atas kegagalan menghancurkan Hamas. Para pemimpin militer senior mengeluhkan kurangnya rencana untuk menggantikan Hamas dengan otoritas alternatif yang mampu mengelola Gaza, sehingga upaya militer di medan perang sering kali dianggap sia-sia. Netanyahu sendiri beberapa kali memerintahkan penghentian operasi penghancuran Hamas dengan alasan bahwa solusi politik akan datang kemudian.
Banyak hal kini bergantung pada Presiden AS terpilih, Donald Trump, yang prioritasnya di Timur Tengah termasuk normalisasi hubungan antara “Israel” dan Arab Saudi. Namun, gencatan senjata di Gaza, seperti halnya gencatan senjata rapuh di Lebanon, mungkin hanya akan menghasilkan konflik berkepanjangan dengan intensitas lebih rendah, bukan perdamaian sejati.
Kehilangan dan Perekrutan Baru
Wall Street Journal melaporkan bahwa Hamas telah kehilangan ribuan pejuang dan sebagian besar pemimpin seniornya, tetapi mereka berhasil merekrut banyak anggota baru dari kalangan pemuda Gaza. Hamas juga berhasil membunuh puluhan tentara “Israel.” Menurut Yuli Edelstein, seorang tokoh senior dari partai Likud pimpinan Netanyahu, “Hamas di Gaza telah menerima pukulan keras, tetapi mereka belum hancur.”
Kekalahan Hamas sebenarnya tidak terjadi di puing-puing Gaza, tetapi di front lain “Israel.” Sekutu mereka dalam poros perlawanan yang dipimpin Iran mengalami serangkaian kemunduran besar. Hizbullah, misalnya, mengalami kerugian besar setelah “Israel,” memanfaatkan intelijen bertahun-tahun, menghancurkan banyak pemimpin dan persenjataannya. Pesawat-pesawat “Israel” juga berhasil melumpuhkan sebagian besar pertahanan udara Iran.
Tepi Barat: Front Berikutnya
Meski begitu, Hamas tetap menjadi gerakan dengan akar yang kuat dan dukungan luas di masyarakat Gaza. Kesepakatan gencatan senjata serta pembebasan ratusan tahanan Palestina dari penjara “Israel” kemungkinan akan semakin memperkuat posisi Hamas, bahkan jika mereka dikecualikan dari pemerintahan masa depan di Gaza.
Namun, saingan utama Hamas, Fatah yang bersifat sekuler, tercoreng oleh reputasi korupsi, otoritarianisme, dan kerjasama dengan pasukan pendudukan “Israel.” Akibatnya, “Rakyat Palestina kini terjebak antara kepemimpinan yang lumpuh di satu sisi dan kepemimpinan yang membawa kehancuran di sisi lain,” ujar Hussein Ibish dari Gulf States Institute, sebuah lembaga penelitian di Washington.
Dalam beberapa pekan terakhir, Otoritas Palestina melancarkan operasi militer di kamp pengungsi Jenin untuk meyakinkan Amerika Serikat dan “Israel” bahwa mereka layak memerintah Gaza. Namun, aksi tersebut hanya memperkuat citra Otoritas Palestina sebagai pelayan keamanan “Israel.”
Masa Depan Konflik
Wall Street Journal menyimpulkan bahwa Tepi Barat berpotensi menjadi pusat konflik “Israel”-Palestina di masa depan, terutama karena meningkatnya kekerasan oleh pemukim ekstremis “Israel” yang mengancam stabilitas di wilayah itu. Michael Milstein, mantan kepala urusan Palestina di intelijen militer “Israel,” mengatakan, “Sangat disayangkan, Tepi Barat akan menjadi front baru konflik ini.”
(Samirmuasa/arrahmah.id)