BEIRUT (Arrahmah.id) — Mantan Ketua Partai Sosialis Progresif Lebanon, Walid Jumblatt, mengungkapkan bahwa negara-negara Arab, termasuk Arab Saudi, mulai merangkul rezim baru Suriah pasca runtuhnya kekuasaan keluarga Assad. Ia juga memperingatkan akan terjadinya perang panjang antara Amerika Serikat dan Iran yang dampaknya bisa meluas ke kawasan.
Dalam wawancara dengan Al-Arabi TV pada Kamis (17/4), Jumblatt mengatakan, “Ada dukungan Arab dan Saudi terhadap rezim (baru) Suriah, dan kunjungan Presiden Ahmad Asy-Syaraa ke Uni Emirat merupakan langkah positif.”
Namun ia menegaskan bahwa Suriah masih berada dalam cengkeraman sanksi internasional. “Pertanyaannya, dengan harga apa Amerika dan ‘Israel’ akan mencabut sanksi-sanksi itu? Bisa jadi penyelesaiannya mirip dengan Irak, yakni memberikan otonomi penuh kepada wilayah Kurdi dengan pembagian sumber daya alam,” tuturnya.
Sebagaimana diketahui, pada 8 Desember 2024 lalu, faksi-faksi perlawanan Suriah berhasil menguasai ibu kota Damaskus setelah merebut sejumlah kota penting lainnya. Perkembangan ini menandai berakhirnya 61 tahun kekuasaan Partai Ba’ath yang brutal dan berlumuran darah, serta mengakhiri dominasi keluarga Assad selama 53 tahun atas Suriah.
Jumblatt sendiri sempat melakukan kunjungan ke Damaskus pada 24 Desember 2024 dan bertemu langsung dengan Presiden Ahmad Asy-Syaraa. Menurutnya, Asy-Syaraa masih berada di awal perjalanan kepemimpinannya. “Jika ia mampu membangun legitimasi tertentu, sebagaimana yang terjadi di Irak, itu akan menjadi pencapaian besar,” ujarnya.
Ia juga menyinggung penangkapan jenderal intelijen berdarah dingin, Ibrahim Huwaija, yang dituduh terlibat dalam ratusan kasus pembunuhan selama rezim Hafez Assad, termasuk pembunuhan terhadap ayahnya, Kamal Jumblatt, pada 1977. “Dengan ditangkapnya Huwaija, keadilan akhirnya tercapai,” tegasnya.
Dalam konteks Palestina, Jumblatt menyatakan bahwa kelompok perlawanan Palestina tidak menduga besarnya respons militer “Israel” atas Operasi Thufan al-Aqsha. “Mereka terjebak dalam lingkaran neraka yang dimanfaatkan oleh ‘Israel’. Pendudukan akan terus menghancurkan dan menggusur seluruh rakyat Gaza. Setelah Gaza, giliran Tepi Barat akan tiba. Kehancuran itu akan menyebar ke sana,” ujarnya.
Sebagaimana diketahui, pada 7 Oktober 2023 lalu, faksi-faksi Palestina meluncurkan Operasi Thufan al-Aqsha sebagai bentuk perlawanan terhadap pengepungan Gaza selama 18 tahun dan rencana zionis untuk menguasai Masjid Al-Aqsha. Mereka berhasil menyerang 11 pangkalan militer dan 22 permukiman “Israel” di dekat perbatasan Gaza.
Sejak saat itu, dengan dukungan penuh dari Amerika Serikat, “Israel” terus melancarkan kejahatan genosida terhadap rakyat Palestina. Hingga kini, lebih dari 167 ribu warga Gaza gugur atau terluka, mayoritas adalah anak-anak dan perempuan. Sementara lebih dari 11 ribu lainnya masih dinyatakan hilang di bawah reruntuhan.
Menyinggung eskalasi geopolitik, Jumblatt menyatakan bahwa konflik strategis antara “Israel” dan Iran sangat mendalam. “Saya tidak melihat ada aliansi nyata antara Netanyahu dan Trump yang bisa membawa kita pada perdamaian,” ujarnya.
Ia menambahkan, “Saya yakin perang akan datang. ‘Israel’ tidak akan memulainya sendiri, tapi bersama Amerika, mereka bisa menyalakan api perang. Dan itu akan menjadi perang yang panjang.”
Amerika dan “Israel” terus menuduh Iran tengah mengembangkan senjata nuklir. Namun, Teheran menegaskan bahwa program nuklirnya murni untuk tujuan damai, termasuk pembangkit listrik. (Samirmusa/Arrahmah.id)
FOLLOW US
📢 Telegram Utama
🎥 Telegram Video
📸 Instagram
🐦 X (Twitter)
💬 WhatsApp Channel
🎵 TikTok
▶️ YouTube
🔴 Redz App