DEPOK (Arrahmah.com) – Wali Kota Depok, Mohammad Idris menegaskan kembali pihaknya tidak akan mundur dalam melakukan pencegahan maupun penindakan terhadap perilaku LGBT.
“Bahwa tugas peran pemerintah adalah pemberdayaan. Kami akan berdayakan masyarakat menjadi orang yang baik, orang yang taat kepada negara ini berdasarkan Pancasila dan Undang-undang Dasar 45,” ujar Idris, Kamis (16/1/2020), lansir VIVA.
Jika mereka sulit diberdayakan, lanjut Idris, maka pihaknya terpaksa melakukan penindakan. Dan itu berlaku tidak hanya terhadap perilaku LGBT.
“Penertiban ini di mana pun pemerintah itu ada. Tidak hanya LGBT, tapi seluruh tindakan yang melanggar norma, baik norma negara, etnis bangsa, agama, itu ada ketentuan penertibannya,” tandasnya.
Mengenai kritikan yang dilayangkan oleh Komisi Nasional Hak Asasi Manusia (Komnas HAM), Idris mengatakan dirinya belum tahu hal apa yang dimaksud.
Dia juga belum mendapat surat penolakan razia LGBT dari Komnas HAM.
“Saya belum dapat suratnya secara langsung, surat dari Komnas HAM. Dan kalau katanya kita sudah mengeluarkan kebijakan, sama sekali Pemkot Depok, Pak Idris dalam hal ini wali kota, belum mengeluarkan kebijakan apa pun,” tuturnya.
Idris mengungkapkan, razia LGBT itu merupakan sikap yang dilakukan oleh Pemerintah Depok menyusul terjadinya kasus perkosaan sesama jenis yang dilakukan oleh Reynhard Sinaga, di Inggris.
“Jadi gini, kan ada peristiwa kemarin (Reynhard Sinaga), terus saya ditanya karena dia warga Depok. Depok kan punya program namanya pemberdayaan penertiban dan itu sudah lama. Kami titipkan ke Satpol PP sebagai penegak perda (peraturan daerah),” ujarnya.
Kemudian, lanjut Idris, pada saat itu muncul pertanyaan terkait upaya atau langkah yang akan dilakukan Pemkot Depok.
“Ya saya jawab, saya sudah perintahkan Pol PP dan Dinas Kependudukan untuk melakukan peningkatan pengawasan terhadap aktivitas di tempat-tempat kos dan apartemen,” paparnya.
“Saya tidak mengatakan penertiban LGBT secara khusus, mungkin di antaranya ada penyimpangan-penyimpangan seksual, tidak hanya LGBT. Periksa saja, edaran saja saya enggak punya,” imbuhnya.
Menurut Idris, jika apa yang dilakukan pihaknya dianggap mengganggu privasi, maka semua pihak punya hak secara pribadi.
“Oke, kita semua punya hak pribadi. Hak pribadi anda sudah harus setop ketika ada hak pribadi orang lain,” tandasnya.
“Misalnya yang dikatakan HAM di sini adalah saya berhak berteriak sekencang-kencangnya di sini, tapi hak saya berteriak terbatas oleh hak orang lain yang enggak mau mendengarkan teriakan saya di sini. Kalau bebas sebebas-bebasnya hancur dunia ini,” tuturnya.
Idris mengaku, selama ini pengawasan yang dilakukan di tempat kos dan di apartemen belum efektif. Sebab, peraturannya pun masih sangat umum yaitu ketertiban umum.
Karena itu, lanjutnya, dari sisi kependudukan, dan Pol PP dari sisi ketertiban umum berhak untuk melakukan penertiban.
Idris tak menampik jika langkah atau setiap kebijakan pastinya akan menuai pro dan kontra.
Namun dirinya menegaskan, hal itu dilakukan untuk kepentingan masyarakat umum.
“Apa pun yang kita lakukan, jangankan hal seperti ini (ketertiban umum), kebijakan saja kadang-kadang keberatan. Seperti kebijakan garasi, wajar, kan isi kepala kita berbeda,” pungkasnya.
(ameera/arrahmah.com)