Oleh Ine Wulansari
Pendidik Generasi
Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK) mengungkapkan bahwa anggota legislatif setingkat DPR dan DPRD terlibat judi online (judol). Ivan selaku ketua PPATK mengatakan, pihaknya telah mencatat ada sekitar 63 ribu transaksi dengan pemain mencapai 1.000 orang. Pemain tersebut berada di lingkungan legislatif mulai dari DPR, DPRD, hingga kesekjenan. Transaksi ini diduga mencapai 25 miliar rupiah. Oleh karena itu pihaknya akan melaporkan temuan judol di lingkungan legislatif ke MDK (Mahkamah Kehormatan Dewan).
Peneliti The Indonesia Institute Arfianto Purbolaksono menilai, temuan anggota DPR yang bermain judol adalah hal memalukan. Mereka sebagai wakil rakyat yang dipilih dan digaji oleh rakyat, sangat mencoreng Lembaga DPR maupun DPRD di hadapan publik. Ia pun berharap perlu konsekuensi tegas pada mereka yang terlibat, mendorong MKD mengungkap nama-nama para pemain judol di legislatif, dan meminta maaf pada rakyat. (tirto.id, 27 Juni 2024)
Kapitalisme Biang Kerusakan
Pelaku judol di tanah air tersebar di pelosok negeri. Menjerat masyarakat dari berbagai lapisan, mulai masyarakat bawah, ASN, pegawai BUMN, hingga para wakil rakyat. Baik laki-laki maupun perempuan, orang tua, dewasa, remaja, sampai anak-anakpun tak sedikit yang masuk lingkaran judol ini. Fakta keterlibatan para anggota dewan dalam pusaran judol tidak mencerminkan integritas mereka sebagai pejabat publik. Pejabat publik yang notabene adalah wakil rakyat dengan segala kriteria “kelayakannya” justru menampakkan perilaku tidak terpuji. Mereka yang diharapkan menjadi aspirator atas beragam kemaksiatan dan menyampaikan pada penguasa untuk bertindak dan memberi solusi, malah menjadi pelakunya.
Tentunya, para wakil rakyat ini bukan tidak tahu ada undang-undang tentang larangan berjudi berikut konsekuensinya. Salah satunya tertuang dalam Pasal 303 ayat (1) KUHP larangan judi di Indonesia dengan ancaman 10 tahun penjara. Adapun larangan spesifik judi online terdapat dalam UU ITE Pasal 27 ayat (2) dengan ancaman hukuman penjara paling lama enam tahun dan/atau denda paling banyak Rp1 miliar. Apakah ini berarti bahwa undang-undang tersebut tak berlaku pada anggota dewan dan pejabat hingga tindakan memalukan itu terjadi?
Semakin banyaknya para pemain judol di kalangan wakil rakyat, tentu akan sangat berbahaya dan bisa memengaruhi keberpihakan mereka terhadap regulasi judi online. Bisa saja anggota dewan yang terlibat judol akan berupaya melegalkan aturan ini demi mengamankan aktivitas mereka. Karena kabarnya legalisasi judol akan segera direalisasikan berdasarkan usulan dua pejabat publik, yakni Menkominfo Budi Arie Setiadi dan anggota legislatif Aziz Syamsudin.
Menkominfo Budi Arie Setiadi melontarkan usulan pungutan pajak judi online untuk mengurangi minat orang melakukan judol. Sementara Anggota Komisi XI DPR Mukhamad Misbakhun menjelaskan, harus dilakukan legalisasi judi terlebih dahulu apabila pemerintah hendak memungut pajak atas judi online.
Legalisasi judi bukan hal yang asing dalam negara yang menerapkan sistem kapitalisme sekuler. Sistem ini menjadikan manusia (pemerintah dan pejabatnya) menjauhkan agama dalam mengatur kehidupan. Akibatnya, judi yang merupakan aktivitas haram malah dihalalkan. Sebab sekulerisme menjadikan kewenangan berada di tangan manusia bukan pada Allah Ta’ala, Sang Pencipta manusia. Artinya, akal manusia dengan segala keterbatasannya seakan lebih layak membuat undang-undang ketimbang Allah Swt. Sehingga, para wakil rakyat bisa dengan mudah melegalkan keharaman judi sekehendak hatinya. Mereka yang membuat undang-undang, mereka juga bisa melanggarnya.
Ketika pejabat banyak yang terjerat judi online, negara justru gagap menangani masalah tersebut. Apalagi aturan yang ada ternyata longgar dan mudah diutak-atik, sehingga sangat memungkinkan untuk dilanggar. Misalnya pada pasal 303 KUHP terdapat frasa “kecuali kalau ada izin dari penguasa yang berwenang yang telah memberi izin untuk memberi perjudian itu.” Artinya, perjudian bisa jadi boleh ketika penguasa mengizinkan. Sehingga sangat wajar hal tersebut dilakukan oleh sekelas pejabat sebab penguasa secara tidak langsung melegalkannya melalui aturan tertulis. Ditambah lagi negara tidak memberi sansi menjerakan bagi pelaku judi. Maka dapat kita lihat, kasus judi online bukan berkurang justru semakin marak dan merebak hingga menjangkiti pejabat publik.
Inilah gambaran buruknya regulasi dan integritas dalam sistem demokrasi kapitalistik. Di mana aturan dapat diutak-atik sesuai kepentingan dan hawa nafsu manusia (penguasa). Harapan agar negara menghapus praktik judol dan memberi sanksi tegas bagi pelakunya, seakan hanya harapan semu tanpa titik temu. Bukti riilnya adalah pemerintah justru berencana memberi bantuan tunai (BLT) kepada pelaku yang terjerat pinjol dengan alasan yang tidak masuk akal.
Berantas Judi Online dengan Aturan Islam
Judi online merupakan salah satu akibat diterapkannya sistem kapitalisme, yang terbukti menyebabkan kesengsaraan dan kemiskinan pada rakyat. Memberantas judol sangat mudah dilakukan penguasa jika memiliki komitmen kuat terhadap syariat. Sebab Islam dan seperangkat aturannya konsisten mengharamkan judi dan setiap pelakunya akan diberi sanksi tegas karena telah melakukan perbuatan dosa.
Dalam Islam, judi jelas keharamannya. Setiap pelaku judi berdosa. Sebagaimana firman Allah Ta’ala: “Hai orang-orang yang beriman, sesungguhnya (meminum) khamar, berjudi, berkorban untuk berhala, mengundi nasib dengan panah, adalah termasuk perbuatan setan. Maka, jauhilah perbuatan-perbuatan itu agar kamu mendapat keberuntungan.” (QS Al-Maidah: 90-91).
Segala macam bentuk judi, apapun jenisnya, adalah perbuatan haram. Oleh karena itu, negara akan menutup semua pintu perjudian dan menyelesaikan judol dengan cara pencegahan dan penegakkan hukum yang tegas. Pertama, melakukan edukasi pada individu, keluarga, dan masyarakat. Caranya, menancapkan keimanan yang kukuh pada masyarakat dengan akidah yang lurus. Senantiasa mengaitkan agama dengan berbagai sendi kehidupan sehingga selalu sadar bahwa Allah mengawasi setiap perbuatan. Dengan begitu, tiap-tiap individu masyarakat secara sadar akan menjauhkan diri dari perbuatan tercela.
Kedua, menerapkan sistem ekonomi Islam dengan cara mengelola kekayaan milik umum secara mandiri oleh negara dan hasilnya digunakan untuk berbagai kebutuhan rakyat, sehingga tidak akan ada rakyat yang kekurangan dan mencari jalan pintas seperti judol untuk mencukupi keperluan hidup.
Ketiga, memberdayakan pakar informasi dan teknologi dan memberikan fasilitas serta gaji yang tinggi untuk menghentikan kejahatan cyber crime di dunia digital. Negara akan melakukan upaya maksimal memberantas judi dan kemaksiatan lainnya dengan melakukan kerjasama dengan para ahli teknologi. Termasuk di dalamnya menyaring semua informasi dan tayangan sebelum sampai pada masyarakat. Dengan begitu, rakyat akan aman dari berbagai tontonan, iklan, dan lainnya, sehingga terhindar dari aktivitas keharaman.
Keempat, penegakan hukum bagi pelaku judi dengan hukuman takzir sesuai dengan ijtihad khalifah. Dalam kitab tafsir Al-Jami’ li Ahkamil Qur’an oleh Imam Al-Qurthubi dijelaskan bahwa Allah Swt. menurunkan keharaman judi dan minuman khamar secara bersamaan adalah karena keduanya memiliki keserupaanyang membuat pelakunya kecanduan. Tindak pidana perjudian di dalam hukum Islam disetarakan dengan sanksi khamar, yakni sanksi berupa 40 kali cambuk, bahkan ada yang berpendapat sampai 80 kali cambuk.
Kelima, negara akan menyediakan lapangan pekerjaan seluas-luasnya. Sehingga rakyat bisa mencukupi kebutuhannya dan menjauhkan dirinya dari mencari cara haram dalam memenuhi kebutuhan asasi hidup.
Inilah beberapa cara pencegahan dan sanksi bagi pelaku kemaksiatan. Negara tidak akan memandang apakah pelaku rakyat biasa atau pejabat, semua akan mendapat sanksi yang sama. Demikianlah Islam menuntaskan berbagai persoalan termasuk judol yang meresahkan dan menyengsarakan. Hanya dengan menerapkan Islam secara menyeluruh maka segala problematika kehidupan akan tersolusikan secara tuntas. Sehingga kehidupan yang aman, tenteram, dan sejahtera bukan hanya angan-angan melainkan terwujud nyata dalam bingkai Daulah Islam.
Wallahua’lam bish shawab.