BEIRUT (Arrahmah.id) — Krisis ekonomi yang dialami Lebanon semakin parah. Menurut Wakil Perdana Menteri Saaedh Al Shami, Lebanon, sebagai negara telah bangkrut. Hal ini juga terjadi pada bank sentralnya.
“Negara telah bangkrut seperti halnya Banque du Liban, dan kerugian telah terjadi, dan kami akan berusaha untuk mengurangi kerugian bagi rakyat,” kata Al Shami, dikutip dari Anadolu Agency (4/4/2022).
Sejak akhir 2019, Lebanon telah bergulat dengan krisis ekonomi yang parah, termasuk depresiasi mata uang besar-besaran serta kekurangan bahan bakar dan medis.
Mata uang Lebanon telah kehilangan 90% nilainya, mengikis kemampuan orang untuk mengakses kebutuhan pokok, termasuk makanan, air, perawatan kesehatan, dan pendidikan. Sementara pemadaman listrik yang meluas sering terjadi karena kekurangan bahan bakar.
Dolar di bank menjadi tidak dapat diakses dan harga meroket di negara di mana hampir semuanya diimpor. Sebanyak 82% dari populasi sekarang hidup dalam kemiskinan, menurut PBB. Pengangguran diperkirakan mencapai 40%.
Krisis ini diperparah oleh pandemi virus corona dan ledakan besar-besaran di pelabuhan Beirut pada tahun 2020 yang menewaskan 216 orang, melukai ribuan orang, dan menghancurkan sebagian ibu kota.
Sementara sistem ekonomi runtuh, sistem politik tidak. Kepemimpinan yang sama, yang bercokol dalam kekuasaan, hampir tidak melakukan apa pun untuk mengatasi krisis. Menolak reformasi dasar, mereka tidak membuat kemajuan dalam pembicaraan dengan Dana Moneter Internasional (IMF).
Al Shami mengatakan situasi negara “tidak dapat diabaikan” sehingga penarikan bank tidak dapat dibuka untuk semua orang.
“Saya berharap kami berada dalam situasi normal,” tambahnya.
Penarikan tunai dalam mata uang asing di Lebanon telah sangat dibatasi sejak 2019 karena krisis ekonomi yang sedang berlangsung.
Dia mengatakan kerugian akan didistribusikan di antara negara bagian, Banque du Liban, bank dan deposan.
“Tidak ada konflik pandangan tentang pembagian kerugian,” tambahnya.
Kehancuran ekonomi Lebanon, yang dimulai pada Oktober 2019, adalah puncak dari era pasca-perang negara itu. Para pemimpin milisi perang menjadi pemimpin politik dan terus mengunci kekuasaan sejak saat itu. Mereka menjalankan ekonomi yang kadang-kadang berkembang pesat tetapi secara efektif merupakan skema Ponzi yang penuh dengan korupsi dan salah urus.
Skema itu akhirnya runtuh dalam apa yang oleh Bank Dunia disebut sebagai salah satu krisis ekonomi dan keuangan terburuk di dunia sejak pertengahan 1800-an. (hanoum/arrahmah.id)