Para ulama Fikih sepakat; boleh bahkan wajib menebus kaum Muslimin yang tertawan di tangan musuh, baik dengan harta selain senjata. Sebagaimana sabda Rasulullah shalallahu ‘alaihi wasallam:
Bebaskanlah tawanan, berilah makan orang lapar dan jenguklah orang sakit. (HR. Bukhari (3046).)
Boleh juga menebus tawanan dengan tawanan.
Bagi seorang mujahid yang mampu melarikan diri dari tawanan musuh boleh membunuh musuh yang mampu ia bunuh dan mengambil harta mereka.
Memata-matai kaum muslimin apapun bentuk dan sebabnya demi kepentingan musuh hukumnya haram. Hukumannya diserahkan kepada pemimpin mujahidin. Baik dibunuh bila memang diputus untuk dibunuh. Atau dengan hukuman lainnya yang paling sesuai dan peringatan bagi yang lainnya.
Mujahid Yang Raib Dalam Pertempuran
Para ulama Fikih sepakat bahwa seorang mujahid yang raib dalam pertempuran, harta bendanya belum bisa diwariskan kepada para ahli warisnya sampai bisa dipastikan keberadaannya. Masa untuk memastikan keberadaannya adalah empat tahun.
Seorang mujahid dibolehkan melakukan pernikahan dalam kawasan perang yang berlangsung antara kaum muslimin dan musuh. Namun bila sedang dalam kondisi tertawan ia tidak boleh melakukannya kecuali khawatir terjerumus dalam perzinahan dengan syarat tidak menghamilinya (azl).
Menurut jumhur ulama, seorang mujahid yang dengan sengaja membunuh orang yang haram dibunuh tetap mendapat qisas. Demikian halnya bila tanpa sengaja, ia tetap wajib membayar diyat.
Sebagian ulama berpendapat, hukum hudud tidak bisa diberlakukan kepada seorang mujahid yang sedang berada di kawasan musuh. Tapi hukumnya ditangguhkan sampai ia kembali ke negeri Islam. Ini adalah pendapat yang rajah,. pendapat Umar bin Khaththab dan beberapa shahabat lainnya dan tidak ada yang menyelisihi mereka.
Source : brainnews