Pemuda Kristen diajari pluralisme agama. Mereka diajarkan Islam dan diajak “magang” ke pondok pesantren. Upaya pembodohan masyarakat, dan adu domba sesama Muslim untuk menangkan opini dan aspirasi kristiani. Benarlah firman Allah: “Maka kamu akan melihat orang-orang yang ada penyakit dalam hatinya (munafik) bersegera mendekati Yahudi dan Nasrani…” ( Qs. 5:52).
THE Wahid Institute, sebuah LSM yang kerap meng-kampanyekan prinsip libe-ral Islam mengadakan ke-las tentang Islam dan plu-ralisme untuk kaum muda Kristen. LSM yang dipra-karsai oleh mantan pre-siden Abdurrahman Wahid ini bekerjasama dengan Crisis Center Gereja Kris-ten Indonesia (GKI) meng-adakan kelas itu dalam em-pat pertemuan.
Sebanyak 30 orang muda Kristen, termasuk mahasiswa, penulis, wartawan, penyiar radio, dan ak-tivis sosial, ikut meng-hadiri pertemuan pertama selama tiga jam tentang Islam dan Umat Agama lain, yang diadakan di aula dari institut yang terletak di Ja-karta Pusat itu tanggal 18 Januari lalu.
Pertemuan akan di-adakan setiap Jumat ma-lam dan berlangsung hing-ga 8 Februari 2008. Para peserta akan diajak lang-sung dalam program live-in selama tiga hari di se-buah pesantren di Yogya-karta. Pertemuan berikut-nya, kaum muda Kristen ini akan diajari mem-bicarakan “Peta dan Gera-kan Islam Kontemporer.” Yaitu, “Islam, Politik, dan Formalisasi Syari’at-Syari’at Islam; serta Islam dan Problem Keumatan.”
Koordinator training sinkretis ini, Moqsith Ga-zali yang juga salah satu missionaris Jaringan Islam Liberal (JIL) mengatakan kepada UCA News, “Kuri-kulum kelas itu dibentuk lewat konsultasi dengan beberapa staf Sekolah Teologi Protestan, Sekolah Tinggi Filsafat Driyarkara yang dikelola Yesuit, serta beberapa pendeta.”
Menurut Moqsith, maksud di belakang prog-ram yang merupakan salah satu media untuk mening-katkan dialog antaragama itu, adalah untuk mem-bantu orang non-Muslim yang mau belajar Islam dan pandangan Islam ten-tang pluralisme secara langsung dari tangan per-tama, kutip sebuah situs Kristen.
Bahan-bahan yang di-publikasikan oleh institut, yang memiliki moto See-ding Plural and Peaceful Islam (Menyemai Islam yang Damai dan Plural), itu mengatakan bahwa institut itu bertujuan untuk mewujudkan prinsip-prin-sip dan cita-cita intelektual Abdurrahman Wahid un-tuk membangun pemikir-an Islam moderat yang mendorong terciptanya demokrasi, pluralisme agama-agama, multikul-turalisme dan toleransi di kalangan kaum Muslim di Indonesia dan seluruh dunia.
Abdurahman Wahid dan Maftuh Kholil adalah pembicara pada pertemu-an pertama 18 Januari. Kholil, seorang aktivis dia-log antaragama, adalah ke-tua NU Kota Bandung, ibukota Propinsi Jawa Barat, tempat ia juga me-ngelola sebuah pesantren.
Izin Bangun Gereja
Sebagaimana dikutip UCA News, Abdurahman Wahid kepada kaum muda Kristen itu mengaku, ada pandangan pluralitas da-lam Islam. Ia mengutip da-ri al-Qur’an: “Bagi Kalian agama kalian, bagiku aga-maku.” Ini, katanya, “ada-lah esensi pluralisme –orang boleh menganut agama yang berbeda-beda.”
Situs itu juga mengu-tip, Abdurahman Wahid mengakui ia sendiri jika ia mengalami kesulitan me-mahami al-Qur’an. “Maka kalian juga harus meme-riksa Kitab Suci kalian dengan teliti. Tak bisa begitu saja,” katanya.
Kepada mantan pre-siden yang pernah dikejar-kejar masyarakat karena pembelaannya terhadap Yayasan Doulos Jakarta (2004), seorang peserta juga menceritakan tentang serangan terhadap gereja-gereja oleh kelompok Islam tertentu dan meminta ban-tuannya. Peserta bernama Renata itu, meminta agar Gus Dur dan NU melin-dungi kegiatan agama Kris-ten dan membantu umat Kristiani mendapat ijin untuk membangun gereja.
“Umat Kristen perlu dukungan umat Muslim,” kata wanita itu kepada Wahid, seraya berharap agar Gus Dur “membantu kami mengatasi berbagai masalah dalam meng-hadapi umat Muslim lain.”
Dalam ceramahnya, Kholil menjelaskan enam prinsip bermasyarakat Nabi Muhammad sebagai konsekuensi logis meng-hadapi masyarakat Madi-nah yang heterogen plura-listik: al-Musawa (keseta-raan) dan al-Ikha (persau-daraan), al-Hurriyyah (ke-bebasan), al-Tadafu (saling melindungi), al-Taawun (saling membantu), al-Ishlah (perdamaian), dan al-Tasamuh (toleransi).
Ia mengatakan aksi pertama yang dilakukan nabi itu di Madinah adalah mendeklarasikan Shahifah Madinah (Piagam Madi-nah), “yang intinya komit-men bersama bahwa se-luruh warga adalah berupa satu kesatuan masyarakat yang senantiasa bekerja-sama membangun dan me-ngatasi masalah-masalah sosial yang timbul di Madi-nah.”
Tapi tidak seperti ke-lompok JIL, Fahmina, dan oportunis lainnya, yang menjual agama serta men-jadi kacung Yahudi-Nas-rani untuk kepentingan perut. Di negara Madinah, Rasulullah dan kaum Muslim memiliki otoritas kekuasaan. Mengajak se-mua komponan negara -tanpa membedakan suku, agama- untuk membangun negara bersama guna me-negakkan Syari’at Islam.
Islam Ekslusif
Menurut Kholil, ke-tua Pengurus Besar NU, KH Said Agiel Siradj, me-ngatakan dalam akhir sam-butannya pada pertemuan 10 November itu: “Bagi NU yang mayoritas harus melindungi yang mino-ritas. Itu prinsip NU. NU siap menjadi tumbal ke-selamatan keutuhan Re-publik Indonesia.”
Kursus yang sedang berjalan saat ini adalah Kelas Islam dan Pluralisme keempat. Program se-belumnya diberikan untuk para pendeta dan teolog Protestan. Dalam sebuah makalahnya yang disam-paikan pada kaum muda Kristen, Marzuki Wahid, salah satu pemateri, mem-bagi Islam dalam beberapa kategorisasi. Ia membagi “Islam ekslusif” (tertutup) dan “Islam Inklusif” (oportunis).
Marzuki yang juga pemeluk Islam Liberal dari Fahmina Institute Cirebon ini memasukkan NU orga-nisasi senafas sebagai “Islam Inklusif”. Namun memasukkan Ormas-ormas Islam seperti; DDII, FPI, MMI, HTI, dan Persis sebagai “Islam Ekslusif”.
“Dalam bacaan saya, masuk dalam kategori ini secara umum adalah organisasi DDII, LDII, FPI, MMI, HTI, HT, Persis, dan sebagian orang Muhammadiyah. Kedua, Islam yang berorientasi pada kerahmatan semesta (rahmatan lil ‘âlamîn), yakni ”Islam Inklusif”. Masuk dalam kategori inklusif secara umum adalah organisasi NU, orang-orang (bukan ke-organisasiannya) Muham-madiyah, al-Washliyah, Perti, al-Kahirat, dan Nahdlatul Wathan,” katanya.
Artikel Ini Kerjasama antara:
Arrahmah.com dengan Risalah Mujahidin
http://www.arrahmah.com
The State of Islamic Media