JAKARTA (Arrahmah.com) – Wahid Institute Jumat (21/8) mengeluarkan Monthly Report on Religious Issues (MRORI 21 Agustus 2009). Dalam laporannya, LSM berhaluan liberal ini mengangkat peristiwa bom di Hotel JW Marriott – Ritz Carlton sebagai topik utama dalam laporan bulan Agustus 2009.
Di samping bom, beberapa peristiwa akhir-akhir ini juga menunjukkan tren lanjutan, yang juga patut dikritik. Jika selama setengah tahun terakhir, dinamika keberagamaan sepi dari peraturan diskriminatif, namun nampaknya saat ini mulai merebak dan menjamur di berbagai daerah di Indonesia.
Beberapa di antaranya, DPRD Tasikmalaya yang saat ini tengah membahas perda bernuansa syariah, sementara Cianjur telah lebih dulu, bahkan telah merancang Gerbang Marhamah (Gerakan Pembangunan Berakhlakul Karimah) empat tahun lalu.
Di Konawe, Kendari (Sultra) melakukan pembahasan mengenai raperda zakat, sedangkan Kabupaten Bulukumba (Sulsel) bahkan telah merancang perda zakat enam tahun lalu. Demikian juga soal usulan memasukkan kewajiban memakai busana muslimah untuk siswa di Bangkalan, terkait raperda soal pendidikan yang sedang dibahas DPRD setempat.
Di Aceh, Qanun Jinayat akan menjadikan hukum pidana Islam sebagai hukum positif. Sementara pada beberapa bulan lalu Bogor berencana mencanangkan kota Bogor sebagai Kota Halal, dengan alasan selaras dengan semboyan kota tersebut sebagai kota beriman.
Dari serangkaian peristiwa yang terjadi belakangan, yang berhasil dicermati dan dihimpun Wahid Institute dalam laporan bulanannya dapat ditarik beberapa analisa antara lain; bahwa serangan di Hotel JW Marriott dan RitzCarlton, Kuningan, Jakarta, jelas menunjukan Indonesia masih belum sepi dari gerakan “terorisme”.
Yang lebih jelas lagi adalah, ideologi teror ternyata masih terus tumbuh dan bisa diterima segelintir orang di negeri ini. Lebih daripada itu, yang paling berbahaya adalah jika orang masih percaya bahwa terorisme itu dibenarkan agama. Oleh karena itu seluruh elemen bangsa ini harus mewaspadai ancaman ini.
Di lain pihak, gerakan formalisasi keagamaan yang meminjam tangan negara agaknya masih akan belum surut. Bentuknya bisa rancangan peraturan daerah bernuansa agama atau sekadar imbauan dari pejabat terkait, seperti Perda Larangan Miras di Subang, Perda Miras Parepare, Raperda Zakat di Konawe Kendari, dan Raperda yang mengatur soal perjudian minuman keras, dan adab berpakaian di Tasikmalaya.
Dengan status kekhususannya, DPRA juga tengah memperjuangkan pengesahan rancangan Qanun Hukum Acara Jinayat, yang juga mengatur soal minuman, judi, dan khalwat (bersunyisunyi), dan zina. Pelaku zina, misalnya, dalam rancangan qanun tersebut yang belum menikah akan diganjar seratus cambukan dan rajam.
Selain konteks Aceh, problem formalisasi sebetulnya terletak pada campur tangan negara terhadap kehidupan kelompok keagamaan tertentu, termasuk hasrat kelompok tertentu untuk meminjam tangan negara yang berpotensi mendiskriminasi kelompok keagamaan lain.
Dari beberapa analisa tersebut, Wahid Institute merekomendasikan beberapa hal. Pertama, dalam kasus terorisme, selain terus memburu pelaku dan otak intelektualnya, sebaiknya pula dibarengi dengan upaya meminimalisir pencitraan dan pandangan jika teror itu identik dengan agama.
Kedua, citra masyarakat internasional yang masih saja memberi stigma buruk atas Islam dengan teror, tentu saja akan memperburuk situasi. Karena itu usaha untuk terus menyebarkan doktrin agama yang toleran, menolak kekerasan, harus terus dikembangkan. Sebab jika masih banyak orang yang sangat percaya jika teror dibenarkan agama, sesungguhnya benihbenih terorisme itu masih sangat potensial dan sewaktuwaktu siap meledak.
Ketiga, pemerintah, khususnya Kementerian Dalam Negeri hendaknya lebih memberikan perhatian terhadap Perda dan Raperda, khususnya dalam upaya mengefektifkan proses harmonisasi hukum, apakah peraturan tersebut bertentangan dengan peraturan yang lebih tinggi atau tidak. “Ini adalah amanat UU No. 10 Tahun 2004 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang perlu dijalankan. Perlu juga diingat bahwa perda-perda bernuansa agama bisa problematik untuk membangun kehidupan masyarakat yang majemuk dengan beragam agama dan keyakinan.”
Dicatut
Wahid Institute adalah organisasi LSM yang didirikan oleh Abdurahman Wahid dan Direktur Eksekutifnya dipegang anaknya sendiri, Yenny Zannuba Wahid.
Dengan sponso LibforAll, sebuah LSM yang ditengarai milik Yahudi di Indonesia, Wahid Institute berada di balik peluncuran “Buku Ilusi Negara Islam”, yang kelak menui kontroversi karena beberapa nama yang dicantumkan mengaku telah dicatut seolah-olah pernah melakukan penelitian. Di antara nama yang dicatut adalah dosen Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta Abdur Rozaki. Dosen UIN ini merasa, tidak pernah menjadi peneliti buku tersebut, tapi namanya tercantum dalam buku yang memunculkan polemik tersebut.
Rozak mengaku, ia bersama 2 temannya, Nur Kholik Ridwan, dan Supardi pernah diajak untuk menjadi peneliti buku tersebut. Namun ia membatalkan kontrak karena Yayasan Fatsuna, yang menerbitkan buku itu menolak diajak debat tentang metodologi penelitian.
“Kami bertiga, saya, Nur Kholik Ridwan, dan Supardi mundur. Mereka katanya hendak melakukan riset perkembangan agama di Indoenesia, tapi diajak debat metodologi tidak mau. Ini aneh,” jelas Rozak dikutip detik suatu hari.
Menariknya, dua tahun setelah penolakan tersebut, buku Ilusi Negara Islam diterbitkan Wahid Institute pada 2009 dan nama Rozak beserta kawan-kawan tetap dicantumkan. (hidayatullah/arrahmah.com)