Oleh: AM Waskito
penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”
(Arrahmah.com) – Di pojok kawasan Tebet, bermarkas sebuahmedia online, namanya Merdeka.com. Media apa ini ya? Ia media online umum yang memuat aneka macam berita, mulai dari politik, kasus sosial, gossip artis, gaya hidup, olah-raga, otomotif, bisnis, dan lain-lain. Pokoknya sejenis media online umum, tanpa ciri keislaman tertentu.
Tetapi anehnya, media online yang koordinator liputannya bernama Anwar Khumaini ini sepertinya memiliki kavling khusus untuk membahas isu-isu seputar “Wahabi” dari perspektif orang-orang yang anti “Wahabi”. Banyak artikel yang berbicara tentang isu “Wahabi” dengan nada nyinyir, ketus, stigmatif, dan semacam black propaganda.
Uniknya, berita-berita instan dari Merdeka.com men jadi rujukan banyak orang untuk memandang isu “Wahabi”. Dalam sebuah perdebatan dengan seorang penganut Syiah, dia merujuk berita dari situs online itu. Di forum FB ada yang memberikan link ke sumber yang sama. Melalui email juga ada yang memberikan link ke situs tersebut.
Di sini terasa dilematik. Kalau kita anggap besar situs Merdeka.com ini, nanti akan menjadi promo tersendiri. Tetapi kalau didiamkan saja fitnah-fitnah atau black propaganda yang disebarkan, itu juga tidak benar. Mungkin sekali waktu kita perlu mengingatkan kaum Muslimin akan bahaya situs “recehan” semacam ini.
Salah satu artikel yang dimuat dalam situs itu judulnya: “Persekongkolan Bedebah Wahabi dan Bani Saud.”Dari model judulnya saja, kita bisa mencium aroma permusuhan layaknya kaum Syiah Rafidhah di balik tulisan ini.
Syiah Rafidhah dunia memang merasa perlu untuk memerangi dakwah Salafiy sebab mereka ini dianggap sebagai musuh paling sengit bagi Syiah Rafidhah. Agenda Syiah Rafidhah untuk menguasai negeri-negeri Muslim akan selalu terhalang, selama masih bercokol “Wahabi” disana.
Sayyid M. Saidi, seorang tokoh Syiah Iran, pernah terus-terang menunjukkan kebenciannya kepada “Wahabi”. Dia mengatakan: “Kami menghormati semua mazhab Islam kecuali Wahabi karena mereka menentang dialog ilmiah, logis dan argumentatif. Mereka membunuh Muslim tak berdosa dan merusak masjid-masjid dengan mengatasnamakan Islam. Pesan kami kepada kaum Wahabi adalah jika mereka memiliki dalil untuk membuktikan kebenaran mereka, maka sampaikan kepada orang lain sesuai dengan logika, prinsip-prinsip, dan argumentasi, bukan dengan radikalisme dan pembunuhan massal.” (hidayatullah.com, 23 September 2013).
Omongan sejenis ini kan tidak ada buktinya kalau dikaitkan dengan tulisan-tulisan stigma yang terus diproduksi oleh kaum Syiah seputar isu “Wahabi dan Saudi”.
Secara teori, mereka seperti pro dialog ilmiah dan argumentatif; tetapi secara kenyataan mereka menghalalkan penghancuran Ahlus Sunnah secara massif di negeri-negeri Muslim, seperti di Iran, Iraq, Suriah, Afghanistan, dan lain-lain.
Sayyid Husein Al Mausawi, tokoh ulama Syiah yang bertaubat, mereka bunuh. Dr. Ihsan Ilahi Zhahir asal Pakistan yang sangat anti Syiah, juga mereka bunuh. Banyak ulama/da’i Ahlus Sunnah juga mereka bunuh, pasca Revolusi Khomeini tahun 1979.
Kembali ke artikel Merdeka.com di atas. Di sana dijelaskan beberapa poin, antara lain:
Muhammad bin Abdul Wahhab (sering dinisbatkan pendiri “Wahabi”) oleh gurunya disebut bodoh, arogan, suka melawan; Muhammad bin Abdul Wahhab menjalin aliansi dengan Muhammad bin Saud, aliansinya berlaku sampai sekarang; Kerajaan Saudi menyokong penyebaran dakwah “Wahabi” US$ 2 miliar setiap tahun; dan menyebutkan beberapa pendapat sumir dari sebagian ulama-ulama “Wahabi”.
Gaya tulisan demikian persis sekali seperti model tulisan Idahram lewat buku-bukunya. Tidak ada niat dialog atau diskusi, selain menyebarkan propaganda hitam belaka.
Nanti ujungnya mempromokan akidah Syiah Rafidhah; supaya umat manusia kembali ke zaman penyembahan manusia kepada manusia lainnya (baca: imam dan ulama Syiah), setelah Allah anugerahkan Tauhid kepadanya. Na’udzubillah wa na’udzubillah min dzalik.
Pendapat-pendapat yang sumir harus dilihat konteksnya secara lengkap, tidak bisa “main crop” begitu saja. Ada kaidah yang berlaku, bahwa pendapat yang mengandung syak (keraguan) harus dipulangkan ke pendapat yang tsabit (teguh).
Kemudian tentang tuduhan bahwa Syeikh Muhammad bin Abdul Wahhab rahimahullah itu bodoh, arogan, keras kepala. Ya, tergantung siapa yang memandang. Seorang ulama biasanya gurunya banyak; bisa puluhan, bisa ratusan. Kalau ada satu guru yang mencela, mungkin guru-guru yang lain memuji.
Lalu aliansi Muhammad bin Abdul Wahhab dengan Muhammad Al Saud pada tahun 1744 terus berlaku sampai sekarang. Hal ini dipertanyakan, sebab Kerajaan Saudi itu sifatnya jatuh-bangun hingga tiga kali.
Ketika Saudi Jilid I dilenyapkan, maka semua perjanjian yang berlaku saat itu otomatis berakhir. Begitu juga ketika Saudi Jilid II dilenyapkan, maka perjanjian-perjanjian di dalamnya juga berakhir.
Sebenarnya, dukungan Kerajaan Saudi kepada dakwah “Wahabi”, hal ini semata karena kesadaran mereka saja (atau pertimbangan politik karena melihat besarnya pendukung dakwah Salafiy di Saudi). Jadi tidak mesti dikaitkan dengan aliansi 1744 tersebut, sebab bukan rahasia lagi bahwa seringkali terdapat perbedaan persepsi antara ulama “Wahabi” dengan kebijakan kerajaan.
Sedangkan nilai dukungan Kerajaan Saudi hingga US$ 2 miliar (setara Rp. 18 triliun) per tahun; ya itu perlu dijelaskan kalkulasi keuangannya secara rinci, tidak bisa “main teplok” begitu saja.
Mungkin situs Merdeka.com mau berbagi kepada masyarakat tentang kalkulasi keuangan yang mereka ketahui. Termasuk juga mereka perlu membuat perbandingan kalkulasi keuangan anggaran-anggaran dari Iran untuk membiayai dakwah Syiah Rafidhah di Indonesia. Kalau mau fair, begitu kan?
Ya akhirnya, black propaganda seputar dakwah “Wahabi” ini perlu kita jawab dengan komitmen “Laa ilaha illallah” yaitu untuk menghidupan peradaban Tauhid dan membersihkan dunia dari segala bentuk paganisme (kemusyrikan); dan “Muhammad Rasulullah” yaitu menghidupkan Sunnah Nabi Saw dan menjauhi ajaran-ajaran bid’ah yang berpotensi merusak Sunnah-nya. Walhamdulillahi Rabbil ‘alamiin.*
AM Waskito, penulis buku “Bersikap Adil Kepada Wahabi”
(hidayatullah.com/arrahmah.com)