JAKARTA (Arrahmah.com) – Peneliti Senior LIPI Siti Zuhro menilai munculnya penambahan masa jabatan presiden dari dua periode menjadi tiga periode tidak relevan. Bahkan, menurutnya, hal tersebut tidak ada urgensinya sama sekali.
“Bagaimanapun juga kita harus menjadi bangsa yang taat pada konstitusi. Konstitusi mengatakan dua periode, ya sudah, bahwa akan ada amandemen konstitusi amandemen itu bukan untuk membahas perpanjangan waktu untuk presiden, karena kalau itu yang terjadi ini akan menjadi satu katakan preseden buruk,” ujar Siti di Jakarta, Ahad (24/11/2019).
Siti mengungkapkan, wacana tersebut bukan yang pertama. Wacana menambah jabatan presiden tersebut pernah dilontarkan kader Partai Demokrat di periode kedua Presiden Susilo Bambang Yudhoyono (SBY) meski pada akhirnya wacana mendapat berbagai penolakan.
“Jadi menurut saya apa yang sudah ada dalam teks, dalam konstitusi, itu yang harus diikuti, kalaupun ada pembahasan amendemen, amendemen itu membahas hal-hal yang tidak untuk memperpanjang periode presiden,” katanya.
Wacana penambahan masa jabatan presiden mulai mengemuka. Ide liar ini berembus ketika MPR dan pemerintah berencana mengamandemen terbatas Undang-Undang Dasar 1945.
Sejak tumbangnya orde baru dan masuknya reformasi, masa jabatan presiden Pasal 7 UUD 1945 yang isinya Presiden dan Wakil Presiden memegang jabatan selama lima tahun dan sesudahnya dapat dipilih kembali dalam jabatan yang sama, hanya untuk satu kali masa jabatan.
Bisa diartikan presiden dan wakil presiden bisa menjabat dua periode ketika mereka terpilih kembali dalam pemilu.
Tak jelas memang, siapa yang pertama kali mengembuskan wacana ini. Saling tuding antara politikus pun mulai terlihat.
Wacana penambahan masa jabatan presiden menjadi 3 periode disebut-sebut berasal dari Partai Nasdem. Hal ini diungkapkan Sekretaris Jenderal Partai Persatuan Pembangunan (PPP), Arsul Sani.
Ia meminta, semua pihak untuk menanyakan langsung pada partai yang mengusulkan wacana tersebut, yakni Partai NasDem.
(ameera/arrahmah.com)