Alis Najeeb Al-Omari berkerut saat ia duduk di tangga depan rumahnya di Ibb, Yaman Tengah. Dia tengah berfikir keras langkah apa yang harus ia ambil setelah AS menolak visa putrinya yang cacat mental dan fisik, di mana kondisinya semakin memburuk akibat perang yang hingga kini masih berlangsung di Yaman.
Al-Omari, seorang warga negara AS, telah berusaha untuk mendapatkan visa untuk putrinya Shaima (11), yang menderita cacat mental dan fisik, istrinya Asma, dan dua putrinya yang lain, Salma (8) dan Lamiya (6).
“Saya telah melakukan semua yang saya bisa, menjual semua yang saya miliki, mengetuk setiap pintu yang saya tahu,” ungkap Al-Omari sambil memegang Shaima di pangkuannya. “Larangan itu telah membuat kami putus asa. Kami benar-benar tidak berdaya di tengah perang yang sedang berkecamuk ini,” imbuhnya kepada Al Jazeera.
Keluarga Al-Omari adalah satu dari ribuan orang Yaman-Amerika yang terdampar di Djibouti selama berbulan-bulan dan terpaksa kembali ke Yaman yang dilanda perang karena AS menolak visa mereka. penolakan tersebut didasarkan atas larangan perjalanan kontroversial yang ditetapkan Presiden AS, Donald Trump, untuk negara-negara dengan mayoritas penduduk Muslim, sehingga sering disebut “larangan Muslim”.
Larangan tersebut pertama kali ditetapkan pada bulan September. Meski telah diajukan ke pengadilan, namun versi ketiga dari larangan tersebut mendapat legitimasi pada 8 Desember. Di mana larangan tersebut berisi pembatasan perjalanan bagi warga negara dari lima negara mayoritas Muslim (Iran, Libya, Somalia, Suriah, Yaman) serta beberapa individu dari Venezuela dan Korea Utara.
Pihak Administrasi pemerintah AS menyatakan bahwa pembatasan tersebut dimaksudkan untuk mengurangi jumlah imigran ke AS dan menghindari timbulnya ancaman terhadap keamanan AS. Namun kelompok-kelompok HAM dan lainnya berpendapat bahwa larangan tersebut secara tidak langsung menargetkan kaum Muslim.
Minggu ini, Mahkamah Agung akan mendengar argumen terakhir dalam peninjauan terhadap larangan tersebut, dengan harapan putusan atas masalah ini akan dicapai pada bulan Juni.
Banyak orang yang telah menunggu cukup lama dan menghabiskan biaya yang cukup besar dengan harapan bisa keluar dari Yaman. Namun sebagian besar dari mereka harus menelan kekecewaan ketika permintaan visa mereka ditolak.
Pada Desember 2017 hingga Januari 2018, hanya ada sekitar 100 keringanan – untuk warga yang membutuhkan perawatan medis yang mendesak atau karena kondisi lain yang akan menimbulkan “kesulitan” jika tetap di Yaman – menurut data Departemen Luar Negeri, yang diberikan kepada kantor berita Reuters.
Keluarga Al-Omari bukan salah satu dari mereka.
Perjalanan ke Djibouti
Sejak tahun 2010, ayah berusia 39 tahun itu harus membagi waktunya antara California, tempat di mana dia bekerja di sebuah pom bensin, dan kota Ibb, tempat istri dan tiga putrinya tinggal, ketika dia diberikan kewarganegaraan AS, 13 tahun setelah pindah ke AS.
“Saya senang anak-anak tumbuh di Yaman, kondisi Shaima stabil dan semuanya baik-baik saja,” kata Al-Omari kepada Al Jazeera.
Tetapi kondisi berubah ketika pasukan koalisi yang dipimpin Saudi menggelar kampanye militer pada tahun 2015 untuk memukul mundur pasukan teroris Syiah Houtsi yang telah mengambil alih di Sana’a pada tahun 2014. Sejak saat itu Al-Omari memutuskan untuk membawa keluarga kecilnya ke AS.
“Setelah perang dimulai saya kesulitan untuk menyediakan perawatan kesehatan yang dibutuhkan Shaima. Begitu banyak dokter yang pergi meninggalkan Yaman, sedangkan obat yang dibutuhkan Shaima tidak tersedia lagi,” ia menjelaskan.
Karena kedutaan AS di Sanaa ditutup sejak Februari 2015 karena pertempuran yang semakin memanas antara kelompok teroris Syiah Houtsi dengan koalisi pimpinan Saudi, maka Al-Omari harus membawa keluarganya ke Djibouti untuk mengajukan visa mereka.
Sama seperti kebanyakan orang yang berharap bisa keluar dari Yaman, mereka membutuhkan biaya ribuan dolar sehingga Al-Omari pun menjual semua miliknya dan mengambil pinjaman di AS.
“Saya tahu saya membutuhkan sejumlah besar uang untuk membayar pengacara dan untuk biaya selama perjalanan. Saya bekerja siang dan malam untuk menyelamatkan keluarga saya,” katanya, sambil mengingat bahwa dia mendapat tawaran untuk membayar sebesar $ 12.000 agar seorang pengacara terkenal Amerika yang bermarkas di Djibouti bersedia melihat kasusnya.
Namun sebaliknya, Al-Omar mencari bantuan penasihat imigrasi yang berbasis di New York.
Mosheer Fattehey telah menyiapkan halaman Facebook khusus untuk memberi saran kepada imigran asal Yaman yang ingin melanjutkan perjalanan ke AS.
“Kami mendapatkan ribuan permintaan setiap hari dari orang-orang Yaman yang membutuhkan bantuan untuk mengurus visa mereka, jadi saya membuat halaman ini agar saya bisa membantu memandu orang sebanyak mungkin,” ujar Fattehey kepada Al Jazeera melalui telepon.
“Ketika dia (Al-Omari) meminta bantuan, maka saya memberi tahu dia tentang keringanan yang diberikan pemerintah AS – untuk warga yang membutuhkan perawatan medis mendesak – dan mengatakan kepadanya bahwa kesempatannya mendapatkan visa untuk keluarganya lebih tinggi dari yang lain karena kondisi medis Shaima.”
Untuk sampai ke Djibouti, keluarga yang terdiri dari lima anggota tersebut harus menempuh perjalanan selama 10 jam dan melewati beberapa pos pemeriksaan militer untuk sampai di Aden. Tetapi pada malam saat mereka tiba di Aden, tanggal 5 November, sebuah rudal milik teroris Syiah Houtsi yang diluncurkan ke Riyadh menyebabkan bandara ditutup dan penerbangan langsung dari Aden ke Djibouti dibatalkan.
Akibatnya mereka harus terbang ke dua tempat lain – Khartoum, Sudan, dan Addis Ababa, Ethiopia – sebelum mencapai Djibouti. Di mana setiap pemberhentian memakan waktu satu minggu dari sebuah perjalanan yang biasanya hanya membutuhkan penerbangan selama dua jam.
Tapi bagi Al-Omari, kata-kata Fattehey telah memberinya dorongan dan semangat untuk melalui semua kesulitan itu. “Dia memberi saya harapan, dan yang perlu saya lakukan adalah memberikan segalanya demi Shaima,” kata Al-Omari.
Penolakan dan kekecewaan
Djibouti, negara kecil di bagian tanduk Afrika kini menjadi rumah bagi lebih dari 40.000 warga Yaman yang telah melarikan diri dari negara mereka yang dilanda perang.
Meski pun kondisi ekonomi di Djibouti belum stabil, namun rakyat dan pemerintah di sana menyambut para imigran Yaman dengan tulus dan berharap kedatangan mereka dapat mendorong pertumbuhan ekonomi yang signifikan bagi negara.
Tetapi karena biaya hidup yang sangat tinggi di Djibouti – rata-rata $ 4.000 hingga $ 5.000 per bulan untuk kebutuhan dasar keluarga – maka banyak orang Yaman yang terpaksa kembali ke negara mereka yang dilanda perang.
“Ketika kami tiba di Djibouti, semuanya menjadi semakin sulit,” kata Al-Omari. Biaya sewa flat kosong seharga $ 1.000 per bulan dan dia harus melengkapi semuanya dari nol, kenangnya.
Namun, menurut Al-Omari, bagian terberat yang harus dia hadapi di Djibouti adalah panas yang menyengat dan kurangnya perawatan medis yang memadai untuk Shaima. “panas ekstrem dan kurangnya fasilitas medis untuk Shaima membuat hidup kami 10 kali lebih sulit.”
Istri Al-Omari, Asma, mengatakan kepada Al Jazeera, bahwa di Yaman mereka bisa menyelundupkan obat untuk Shaima ketika habis, sedangkan di Djibouti, tidak ada cara untuk mendapatkan beberapa perlengkapan yang dia butuhkan.
“Shaima harus berada di Djibouti selama satu bulan penuh tanpa obat,” kata Asma. “Semakin hari kejangnya memburuk. Hatiku hancur melihat penderitaannya.”
Setelah upaya pertamanya gagal, Al-Omari mengunjungi kedutaan AS untuk kedua kalinya pada awal Februari untuk mengajukan permohonan. Pada saat itu Shaima telah menderita infeksi pada kerongkongannya dan kondisi kesehatannya secara keseluruhan semakin memburuk.
“Shaima sangat menderita, dia bahkan tidak bisa makan. Kami memberinya makan melalui infus atau memberinya seteguk susu,” kata Al-Omari. “Namun ini satu-satunya cara yang bisa kami lakukan sebelum kami dapat membawa Shaima ke tempat yang menyediakan perawatan kesehatan yang ia butuhkan.”
Hari wawancara pengajuan visa pun datang, Al-Omari sangat berharap bahwa visa untuk keluarganya akan disetujui, mengingat kondisi Shaima yang sangat mengkhawatirkan. Namun, ternyata pihak kedutaan besar AS menolaknya tanpa banyak pertimbangan.
“Dengan mempertimbangkan ketentuan Proklamasi, maka kami tidak dapat memberikan keringanan untuk kasus Anda,” tulisan yang terdapat dalam dokumen yang ditunjukkan Al-Omari kepada Al Jazeera.
“Begitu saya berjalan melewati pintu ruang wawancara dengan menggendong Shaima dalam pelukan saya, petugas kedutaan menyodorkan berkas tersebut dan memberitahu saya bahwa pengajuan visa saya ditolak,” kata Al-Omari. “Dia bahkan tidak melirik kami. Saya rasa dia tidak memiliki belas kasihan,” imbuhnya.
Ketika Al Jazeera menghubungi Departemen Luar Negeri AS untuk menanyakan kasus Al-Omari, salah seorang pejabat mengatakan bahwa mereka tidak dapat memberikan komentar apa pun terkait kasus-kasus yang bersifat individual.
Pejabat tersebut mengatakan bahwa petugas konsuler dapat “memberikan keringanan dan mengesahkan penerbitan visa jika pemohon dapat menunjukkan kepada petugas bahwa : a) penolakan atas masuknya pemohon akan menyebabkan kesulitan yang lebih buruk; b) masuknya pemohon tidak akan menjadi ancaman bagi keamanan negara atau keselamatan warga Amerika Serikat; dan c) masuknya pemohon memiliki kepentingan nasional.”
Seleksi acak
Menurut Fattehey, hanya segelintir orang Yaman yang mendapatkan visa dalam beberapa bulan terakhir.
“Setelah dia (Al-Omari) ditolak, saya mengirim email ke konsulat atas namanya. Dia telah menyiapkan paket keringanan sebanyak 39 halaman yang bahkan tidak dilihat oleh kedutaan,” kata Fattehey, menjelaskan bahwa untuk mempersiapkan paket keringanan menelan biaya hingga $ 6.000.
“Sementara kasus Al-Omari, yang putrinya sakit dan cacat, tidak dipertimbangkan, saya mendapati beberapa kasus yang telah mendapatkan visa untuk salah satu perjalanan melalui paket keringanan tanpa memenuhi syarat-syarat yang berlaku,” tambahnya. “Sepertinya prosesnya cukup acak dan sewenang-wenang.”
Menurut Departemen Luar Negeri, petugas konsuler selalu “berhati-hati dalam meninjau setiap kasus untuk mempertimbangkan apakah pemohon dapat termasuk warga yang mendapatkan larangan, dan jika demikian, apakah kasus tersebut memenuhi syarat untuk mendapat keringanan”.
Setelah menerima keputusan dari kedutaan, Al-Omari mengajukan banding, tetapi setelah beberapa minggu menunggu di Djibouti, tampak bahwa dia harus kembali ke Yaman.
“Kondisi Shaima semakin memburuk. Saya telah kehabisan dana yang saya miliki. Kami tidak punya pilihan lain kecuali kembali ke negara yang sedang dilanda perang dan kehancuran, kami tidak bisa melarikan diri,” katanya.
Bagi ibu Shaima, putusan Mahkamah Agung tentang larangan tersebut adalah harapan terakhir bagi keluarganya.
“Saya berharap dengan segenap hati saya bahwa kami bisa sampai ke AS dan menyediakan perawatan dan pengobatan bagi Shaima di sana,” kata Asma. (Rafa/arrahmah.com)