Oleh : Henny (Ummu Ghiyas Faris)
(Arrahmah.com) – Kasus video mesum pelajar di Jakarta menjadi perbincangan yang hangat di masyarakat. Video ini mendapat cemoohan dan kecaman dari masyarakat luas. Seperti yang sudah diketahui, beberapa waktu lalu masyarakat dihebohkan oleh kemunculan video mesum siswa SMP 4 Jakarta. Sepasang murid siswa dan siswi tampak bercumbu dan bermesraan di dalam kelas. Mirisnya, gadis tersebut tampak tidak merasa terganggu, hanya senyum-senyum dan cuek sekalipun dadanya dipegang-pegang. Parahnya lagi, kemesraan itu dilakukan di depan teman-temannya tanpa rasa malu. Hal ini menimbulkan komentar dari berbagai kalangan, dan menuntut perlu adanya sanksi bagi pelaku.
Dikutip dari republika.co.id (Jum’at, 25/10/2013) Kasus video mesum pelajar SMPN 4, Jakarta, masuk ke penyidikan kepolisian. Kabid Humas Polda Metro Jaya Kombes Rikwanto pun mengungkapkan kronologi peristiwa tersebut. Peristiwa asusila tersebut, terjadi pada Jumat 13 September 2013 lalu, tepatnya pukul 11.50 WIB. Polisi menyimpulkan aksi tersebut berdasarkan suka sama suka. Kedua pelaku terlihat tidak ada paksaan saat melakukan adegan yang terekam kamera ponsel tersebut.
Kasus video mesum ini sontak membuat kita kaget dan tentunya menjadi rambu bagi kita para orang tua dalam menjaga dan mendidik buah hati kita agar tidak terjerumus pada lembah dosa karena salah pergaulan. Hati orang tua mana yang tidak sedih saat mendapat putra-putrinya melakukan hal asusila seperti itu.
Akar persoalan
Melihat fakta di atas bahwa video mesum ini dilakukan dengan tanpa rasa malu dan ditonton oleh teman-teman pelaku, pertanyaan kita “ke manakah moral dan rasa malu itu?”. Bahkan nonton film porno, adegan intim dengan pacar sudah menjadi ‘tren’ di kalangan pelajar. Para remaja tidak lagi menjadi ‘korban’ video porno tapi menjadi pelaku dan produser video porno tersebut. Astagfirullah…!
Harus diakui, sistem kehidupan yang diterapkan di negeri ini telah sukses “memaksa” sebagian orang terjerumus ke dalam kubangan perzinaan. Sistem tersebut tidak lain berisi sekumpulan aturan/undang-undang yang mendukung sekularisme, liberalisme, dan kapitalisme di berbagai aspek kehidupan. Lihatlah bagaimana sistem yang bekerja saat ini menghasilkan generasi para pezina, bahkan dalam usia yang sangat dini, melalui beberapa hal berikut:
Pertama, Pendidikan sekular yang menjauhkan agama dari kehidupan. Pendidikan sekular ini nyata-nyata menjadikan para remaja kita dibuat tidak matang secara intelektual, emosional apalagi spiritual. Akhirnya, mereka mudah terombang-ambing dan terjerumus ke dalam lembah maksiat, termasuk perzinaan.
Kedua, Kemudahan mengakses sarana pornografi dan pornoaksi. Semua itu disediakan oleh raksasa industri yang menjadikan aurat dan syahwat sebagai core-business (bisnis inti) mereka dan dilegalkan Pemerintah. Para remaja terus-menerus dibombardir oleh berbagai sarana pornografi dan pornoaksi tersebut. Akibatnya, di tengah tidak adanya pegangan hidup yang kuat, hasrat seksual mereka pun tak terbendung. Saat sebagian dari mereka itu masih percaya dengan ikatan luhur pernikahan dan berniat untuk segera menikahi pasangan mereka, ironisnya pintu pernikahan dini pun ditutup rapat-rapat, dengan dibuat aturan yang menyulitkan. Yang melanggar bisa dipidanakan. Akhirnya, mereka pun mencari jalan pintas dan aman, yaitu: berzina.
Ketiga, Sanksi hukum yang longgar. Hingga sekarang ini, dalam KUHP kita tidak ada satu pasal pun yang mengatur pemidanaan atas pelaku zina, selama dilakukan atas dasar suka sama suka! (Padahal mana ada orang berzina dipaksa?). Intinya, zina tidak lagi dianggap kriminal. Akibatnya, orang tidak akan pernah merasa takut untuk melakukannya. Seperti diketahui bahwa dalam menyikapi sanksi bagi anak yang melakukan tindak kriminal, asusila, dan sejenisnya tidak lain dan tidak bukan bahwa sistem sanksi dalam demokrasi memungkinkan adanya kompromi. Sehingga dapat menimbulkan kontradiksi di antara kasus itu sendiri.
Kasus-kasus kriminalitas, tindak asusila, dan sejenisnya yang melibatkan anak-anak (usia kurang dari 18 tahun) semakin marak, baik kuantitasnya maupun kualitasnya yang semakin banyak. Dalam persepsi hukum positif saat ini, yakni UU Perlindungan Anak, anak didefinisikan mereka yang berusia kurang dari 18 tahun. Definisi ini sejatinya bertentangan dengan fakta di lapangan. Terbukti saat ini usia 14-18 tahun itu sudah membentuk sosok tak ubahnya seperti orang dewasa, karena memang mayoritas usia inilah – bahkan lebih rendah lagi, telah mengalami pubertas sebagai tanda-tanda peralihan dari masa anak-anak menjadi dewasa. Sangat salah jika memposisikan mereka sebagai anak-anak, sehingga setiap perilakunya ditolelir. Berlaku kriminal pun dibela dengan memposisikan mereka sebagai korban. Karena itu, definisi anak-anak tidak relevan.
Selanjutnya, bagaimana Islam dengan tegas memisahkan kategori anak dan dewasa, yakni ditandai dengan masa pubertas/baligh. Tanda-tanda baligh itu antara lain itu ihtilam (mimpi basah) bagi laki-laki, atau haid bagi perempuan, serta perubahan fisik lainnya. Bagi yang belum baligh, dan jika melakukan tindak kriminal, orangtuanya yang dikenai sanksi, sementara anaknya yang melakukan tindak kriminal harus dibina/dididik. Bagi anak yang telah baligh konsekuensinya adalah taklif/pembebanan hukum syara’ sudah berlaku. Termasuk ketika melakukan tindak kejahatan, harus dihukum setimpal.
Syariah obat mujarab bagi penyakit sosial
Kasus video mesum pelajar ini adalah masalah kita bersama, pembelajaran bagi kita semua untuk lebih berhati-hati. Melihat kondisi ini perlu juga dukungan nilai-nilai Islam dalam pendidikan di sekolah dan di tengah-tengah keluarga agar pendidikan juga menjadi bagian dari tugas keluarga dalam mendidik anak-anak yang beranjak baligh menuju dewasa. Anak-anak juga harus dibekali standar kehidupan agar senantiasa menjadikan konsep halal-haram sebagai pertimbangan dalam berperilaku.
Di samping itu, negara menjamin keberlangsungannya dengan sistem penjagaan aqidah, sistem pergaulan, serta sistem sosial agar sesuai dengan Syari’at Islam.
Perkembangan internet dewasa ini membuka akses seluas-luasnya bagi semua pihak untuk dapat memanfaatkan teknologi informasi dan komunikasi tersebut dengan mudah, murah dan cepat, tak terkecuali anak-anak. Canggihnya dunia digital sekarang, setiap alat teknologi yang dibuat akan memiliki dua akibat yaitu buruk dan baik. Untuk itu diperlukan solusinya yang komprehensif dan membutuhkan mekanisme sistem yang integral. Dalam hal ini tidak bisa hanya diserahkan pada peran orangtua, sekolah/guru dan lingkungan. Semua pangkalnya adalah sistem kebijakan negara.
Unsur negara harus menjadi garda terdepan dalam memerangi kejahatan online seperti sarana pornografi, pornoaksi, dan lain-lain, jangan malah justru mensponsori terjadinya kejahatan tersebut. Ini yang seharusnya dibentengi.
Hanya dengan kebijakan negara-lah akses internet yang berbau pornografi bisa dihapuskan. Selanjutnya, sudah adakah kemauan dari penguasa negeri ini untuk itu? Wallahu A’lam Bis-Shawaab.
(arrahmah.com)