SENTUL (Arrahmah.com) – Menutup Kongres Mujahidin IV pada 25 Agustus 2013 di Masjid Az-Zikra, Sentul, Bogor, Majelis Mujahidin menggelar Dialog Lintas Agama dengan tema “Mencari Solusi Mengatasi Kemelut Negara Indonesia” yang dihadiri perwakilan PGI Kristen Protestan & Pengurus Pusat Majelis Agama Buddha Theravāda Indonesia (Magabudhi).
Dari dialog tersebut terungkap bahwa konflik antar umat agama yang terjadi di Indonesia maupun di dunia internasional, akibat politisasi agama oleh kaum liberal dan sekuler.
Berikut ToR yang dikirimkan Majelis Mujahidin dalam undangan kepada beberapa perwakilan lintas agama:
Term o f Reference (ToR)
“Solusi Problema Kontemporer, Universal dan Domestik”
Sekularisasi kehidupan berbangsa dan bernegara dengan mengesampingkan agama terjadi hampir di seluruh dunia, baik di negara maju (the developed country) maupun negara sedang berkembang (the developing country). Indonesia, sebagai bagian dari dunia yang sedang dilanda apatisme, banyak tokoh yang hanya bisa mengkritik, bahkan mendistorsi ajaran agama, tetapi tidak mampu memberikan solusi, selain hanya mencaci.
Menghadapi kebobrokan yang sudah kronis, muncul orang yang mengadopsi slogan Islam, seperti jihad melawan korupsi, narkotika, yang menggambarkan sikap putus asa kaum sekuler, nasionalis dan liberal. Demokrasi yang dibanggakan sebagai ‘tuhan baru’ bagi dunia modern justru menambah rumitnya penyelesaian masalah, sebagaimana dikatakan Aristoteles.
“Bahwa demokrasi adalah sistem penyelenggaraan negara yang paling buruk, karena tidak memiliki sistem baku dan hanya mengandalkan kehendak mayoritas yang kuat. Kekuatan menjadi kebenaran, bukan kebenaran yang menjadi kekuatan.”
Berbagai problem yang mengancam eksistensi manusia dan kemanusiaan. Semua pihak sepakat ingin mencari solusinya yang praktis dan tepat guna. Untuk kepentingan ini, Majelis Mujahidin mengajak semua agama, semua ideologi, kelompok, komunitas gerakan politik maupun sosial, untuk berdialog guna menemukan way of life yang tepat guna.
Ajakan ini dilatarbelakangi oleh sikap permusuhan non muslim, sekuler, liberal dan nasionalis terhadap solusi Islami yang diajukan oleh umat Islam terhadap problem kemanu- siaan. Juga adanya kecurigaan terhadap Islam, yang diposisikan sebagai anti minoritas, intoleran, eksklusif, radikal dan memaksakan kehendak.
Ragam problema yang dimaksud antara lain: Kejahatan narkotika, korupsi, kejahatan perbankan, trafficking, eksploitasi anak, free sex, kerusakan lingkungan, dekadensi moral birokrat, penyalahgunaan kekuasaan, gratifikasi seks, kemiskinan, kebodohan, keruntuhan keluarga, kawin sejenis, kerukunan beragama, dan lain-lainnya.
Majelis Mujahidin, menaruh minat besar untuk menyelesaikan masalah ini secara konprehensif berbasis syari’at Islam. Kami terbuka tehadap aspirasi agama lain maupun ideologi lain, seperti golongan liberalisme, sekularisme dan komunisme. Oleh karena itu Majelis Mujahidin ingin mendapatkan jawaban obyektif terhadap pertanyaan: Solusi apa yang dapat diajukan oleh pihak yang menentang berlakunya Syari’at Islam di lembaga negara, guna mengatasi problem kemanusiaan, politik dan keamanan, yang kini sedang melanda Indonesia?
Dialog merupakan salah satu upaya sinergis untuk menggapai obyektifitas, ketepatan persepsi, kejujuran dan uji shahih pemahaman. Bagi umat Islam, peluang untuk berdialog dengan Non-Muslim telah digariskan di dalam Al-Qur’an:
“Wahai kaum mukmin, bila kalian berdebat dengan lawan-lawan kalian dari golongan Yahudi dan Nasrani, hendaklah dengan hujah yang lebih kuat. Sekiranya mereka berlaku zhalim ketika berdebat, kalian boleh bersikap keras dan katakanlah kepada mereka :“Kami beriman kepada semua kitab yang diwahyukan kepada kami dan kepada kalian. Tuhan kalian dan Tuhan kami satu. Kami selalu patuh kepada-Nya.“ (Qs. Al Ankabut, 29:46).
Oleh karena itu, keinginan untuk saling memahami dan membangun komunikasi yang harmonis, tanpa anarkhi ataupun diskriminasi, di antara pemeluk agama melalui dialog, patut dilestarikan.
Kita ingin membangun komunikasi sosial dalam masyarakat, tanpa cara-cara yang kaku, keras. Karena hal itu bukanlah pilihan yang tepat. Namun melalui argumentasi, perbincangan atau diskursus (discourse) guna mencapai konsensus yang rasional. Bisa juga dengan melakukan kritik, guna membahas persoalan norma-norma sosial yang dianggap obyektif.
(Ukasyah/Aql/arrahmah.com)