JAKARTA (Arrahmah.com) – Mantan ketua umum PBNU, KH Hasyim Muzadi menyatakan kisruh masalah pengelolaan bahan bakar minyak sekarang ini merupakan efek dari regulasi yang memihak investor dan asing.
“Bagi mereka yang menguasai pengelolaan dan mengatur nigas, ini tidak berefek, justru mereka malah untung. Tapi, bagi rakyat, ini adalah penderitaan,” kata Kiyai Hasyim kepada arrahmah.com di gedung Pusat Dakwah Muhammadiyah, Jakarta, usai menghadiri diskusi dengan tema ‘Bersama Mahkamah Konstitusi Menegakkan Kedaulatan Negara’, Jumat (20/4).
Lanjut Kiyai Hasyim, UU Migas patut dibatalkan dan diganti dengan yang baru dan lebih memihak kepentingan dalam negeri. “Undang-undang yang mengamanatkan Migas dan kekayaan lain dikelola bangsa sendiri,” pungkas Hasyim
Sementarai itu, ekonom Sri Edi Swasono menilai undang-undang Nomor 22 tahun 2001 tentang Minyak dan Gas dinilai paling kontroversial di antara puluhan UU yang diidentifikasi bertentangan dengan konstitusi dan paling merugikan.
“Undang-undang migas cacat hukum dan seharusnya batal demi hukum,” kata Sri Edi Swasono.
Menurut Edi, konsideran yang tercantum dalam undang-undang tersebut palsu. UU tersebut mencantumkan ‘berdasarkan pasal 33 UUD 1945 yang diamandemen’. Padahal, kata dia, pasal 33 itu tidak pernah mengalami perubahan.
“Mereka (legislator) lengah, ini suatu kelengahan yang memalukan,” cetusnya.
Edi juga menambahkan ada sekelompok orang yang memang dengan tujuan tertentu menginginkan pasal 33 ini lenyap. Mereka bahkan nekat membuat UU Migas ini yang jelas melanggar konstitusi.
Oleh sebab itu, Ketua PP Muhammadiyah Din Syamsuddin, tokoh ulama NU, Hasyim Muzadi serta tokoh nasional lainnya beserta organisasi kemasyarakatan sepakat mengajukan judicial review UU Nomor 22 tahun 2001 ke MK. Draf permohonan uji materi sudah dimasukkan selasa 17 April 2012. (bilal/arrahmah.com)