NEW DELHI (Arrahmah.id) — Sejumlah aksi unjuk rasa berlangsung di negara bagian Assam dan Tamil Nadu pada Senin (11/3/2024) malam, tepat setelah Undang-Undang Kewarganegaraan diberlakukan di India, menurut keterangan pihak berwenang.
Belum ada laporan soal kerusakan atau bentrokan dengan pasukan keamanan hingga Selasa (12/3) ini.
Pemerintahan India, yang dikuasai partai nasionalis Hindu Bharatiya Janata dan di bawah pimpinan Narendra Modi, pada Senin lalu menyusun peraturan untuk memberlakukan Undang-Undang Amandemen Kewarganegaraan (Citizenship Amandement Act, atau CAA) yang memudahkan para pengungsi non-muslim dari tiga negara Asia Selatan—Afghanistan, Bangladesh and Pakistan—yang mayoritas penduduknya beragama Islam, untuk memperoleh status kewarganegaraan India.
Pemberlakuan undang-undang yang disahkan pada tahun 2019 itu memicu demonstrasi besar-besaran dan kekerasan berbasis sektarian yang menyebabkan jatuhnya korban tewas, sehingga pemerintah India terpaksa menunda pemberlakuannya.
Pemimpin kongres oposisi, Shashi Tharoor, menegaskan ketidaksetujuannya atas undang-undang tersebut.
“Ini adalah pertama kalinya dalam prinsip kewarganegaraan, Anda menemukan sebuah undang-undang yang benar-benar diskriminatif, yang mengucilkan orang-orang dari agama tertentu,” ungkapnya, dikutip dari VOA (12/3).
Di Assam, para pengunjuk rasa membakar salinan undang-undang tersebut, dan partai-partai oposisi setempat menyerukan pemogokan di seluruh negara bagian India.
Di sana, banyak pihak khawatir pemberlakuan itu dapat meningkatkan arus migrasi dari negara tetangga India, yaitu Bangladesh, yang mayoritas penduduknya beragama Islam. Isu tersebut menjadi sumber ketegangan yang telah memecah belah negara bagian Assam selama beberapa dekade terakhir.
Sebagian lainnya, termasuk pengungsi beragama Hindu dari Pakistan seperti Mira, mendukung langkah itu.
“Kami ingin berterima kasih kepada pemerintah (India) karena komunitas kami telah bermukim di India selama 70 tahun, tetapi tidak ada yang memperlakukan kami seperti warga negara India. Semua orang biasa memanggil kami ‘orang Pakistan’, padahal kami adalah orang India. Kami menunggu hari ini tiba dan menginginkan kewarganegaraan India dengan cara apa pun,” katanya.
Para aktivis hak asasi manusia dan kelompok-kelompok muslim mengatakan bahwa undang-undang tersebut, ditambah usulan pendaftaran kewarganegaraan secara nasional, bisa mendiskriminasi dua ratus juta warga muslim India, yang merupakan populasi muslim terbesar ketiga di dunia.
Pemerintahan Modi menyangkal bahwa mereka anti-muslim dan berargumen bahwa undang-undang itu diperlukan untuk membantu kaum minoritas yang mengalami penganiayaan di negara-negara bermayoritas muslim.
Mereka juga menyebut bahwa undang-undang itu dimaksudkan untuk memberikan status kewarganegaraan, bukan mencabutnya, dan mengatakan bahwa aksi-aksi unjuk rasa yang terjadi bermotif politik. (hanoum/arrahmah.id)